Dua hari kemudian...
Sekitar 5 hari lagi, kapal kiriman organisasi penyihir akan sampai ke Pelabuhan Marua, dan Angele menggunakan waktu itu untuk kembali ke rumah. Rencananya, ia akan berbincang-bincang dengan ayahnya. Namun, ayahnya ternyata telah pergi menjalankan misi di Dataran Anser, jadi ia memutuskan untuk bersenang-senang bersama Maggie dan Celia. Tapi, ia meninggalkan sepucuk surat untuk ayahnya. Akhirnya, Angele tetap tinggal di sekolah dan mengisi waktunya dengan latihan berpedang dan memanah, sembari menunggu datangnya kapal kiriman organisasi penyihir itu. Ia juga bermeditasi setiap hari, dan ia merasa bahwa hidupnya berkualitas.
Setelah makan siang, Angele berjalan ke lapangan memanah. Rumput di lapangan itu terlihat bercahaya karena paparan sinar matahari, dan banyak sasaran yang dibangun dalam naungan sebuah tenda yang luas. Sasaran itu terbagi menjadi beberapa baris, dan tersedia busur di bagian sampingnya. Angin bertiup, namun yang dapat Angele rasakan hanya terik matahari.
Saat Angele tiba, sudah ada beberapa orang disana, dan ia memutuskan untuk berlatih di baris paling kanan seperti biasanya. Dia mengambil busur kayu berwarna cokelat di sampingnya dan menarik tali busur itu beberapa kali.
"Bagus, busur-busur ini terawat," kata Angele sambil mengangguk. Beberapa gadis berjalan masuk ke lapangan berlatih, tapi mereka malah mengobrol di sisi kiri lapangan. Angele masih bisa mendengar pembicaraan mereka.
"Mary, kau mau coba?" tanya salah satu dari mereka.
"Baiklah." kata gadis bernama Mary itu. Terdengar suara busur yang ditarik penuh, dan Angele melihat baris itu dengan sedikit rasa ingin tahu. Sebuah panah kayu terbang melewati udara, namun terjatuh ke tanah bahkan sebelum sampai 20 meter.
"Tembakan bagus!"
"Kau sangat berbakat!"
"Mary, kau hebat sekali!"
Sangat jelas jika gadis-gadis di sekeliling Mary terkejut dengan hasil itu. Mereka benar-benar mengira jika tembakan itu sangat hebat.
"20 meter adalah hasil terbaikku, tetapi Mary bisa mencapainya dengan mudah!"
"Aku juga!"
"Mary Sauron, kau adalah pemanah ulung!" Para gadis itu terus memujinya.
"Kalian bercanda, kan?"tanya Mary dengan santai.
"Tidak, kita serius. Haha." Para gadis itu tertawa.
"Jika saudaraku ada disini, setidaknya panah itu akan menancap sasaran. Bagi dia, sangat mudah menembak 100 meter." jawab Mary.
"Sama, saudaraku juga hebat. Dia bisa menembak cincin kelima dengan mudah." Sasaran memanah yang digunakan di sekolah ini adalah sasaran bercincin 9, dengan titik target di tengah-tengahnya. Jarang ada murid yang bisa mencapai target, namun orang yang bisa menembak tepat di cincin kelima akan mendapat nilai tinggi di kelas memanah.
"Omong-omong tentang memanah, kudengar Angele sangat pandai memanah. Dia nyaris selalu bisa menembak cincin kesembilan dengan tepat. Dalam 10 kali percobaan, ia berhasil menembak cincin kesembilan sebanyak 9 kali. Bahkan ada yang mengatakan jika ia adalah pemanah terbaik di sekolah. Benarkah itu, Caitlyn?" tanya salah seorang gadis.
"Benar, ia bisa melakukannya dengan mudah. Dia sering mengajakku ke lapangan memanah waktu kita kencan. Menembak cincin ke 9 dari jarak 100 meter tidak ada apa-apanya bagi Angele." Caitlyn menjawab dengan suara tenang, namun terdengar bangga.
Angele menjadi sedikit canggung saat mengenali suara itu, suara gadis yang pernah dicintai oleh Angele yang asli. Dia memutuskan untuk tidak lagi mendengarkan ocehan wanita itu dan fokus berlatih. Ia menarik panahnya pada busur, dan menembakkan panah itu. Angele bahkan tidak meminta bantuan chip-nya. Ia hanya mengandalkan intuisi dan kemampuan ototnya. Sebelumnya, ia bisa menembakkan banyak anak panah dengan sangat tepat dengan bantuan chip-nya. Sekarang, ia bisa menembak anak panahnya sejauh 100 meter, tepat di tengah cincin kesembilan sasaran, dengan kemampuannya sendiri. Beberapa murid bersorak untuknya, setelah akhirnya berkesempatan untuk melihat orang dengan tembakan setepat itu.
Angele tidak berhenti menembak, namun ia berhenti menargetkan cincin kesembilan dan memilih untuk menembak cincin ketiga atau keempat saja agar tidak terlalu menarik perhatian. Setelah Angele menembak beberapa anak panahnya, akhirnya orang-orang mengalihkan pandangan mereka darinya. Setelah 15 menit, panahnya habis, lalu ia mengelap keringatnya. Sekarang, Angele bisa menembakkan panah tanpa cincin pelindung di jempolnya, karena sekarang jarinya sudah sekuat jari ksatria.
Setelah puas berlatih, Angele meletakkan busurnya dan berjalan melalui lorong. Ia memutuskan untuk menyapa kelompok gadis itu nanti. Caitlyn adalah gadis idaman Angele yang asli, karena itulah setidaknya ia ingin menghilangkan kesalahpahaman ini. Angele berbalik dan berjalan ke arah kelompok gadis yang masih sedang berbincang-bincang dengan riang itu.
"Ada yang bisa kami bantu?" tanya salah satu gadis.
"Namamu Caitlyn, kan? Sudah lama tidak berjumpa. Bagaimana kabarmu?" Angele bertanya kepada seorang gadis berambut pirang sambil tersenyum lembut. Mereka berhenti mengobrol, dan saling pandang dengan tatapan bingung.
"Aku... Aku bukan Caitlyn. Ini yang namanya Caitlyn..." jawab garis pirang itu sembari menunjuk ke gadis pirang lain di sebelah kanannya. Ekspresi wajahnya terlihat aneh.
"Yah..." Angele berpura-pura terdiam sejenak, namun ia kembali tersenyum.
"Namaku Angele. Lama tidak bertemu, Caitlyn." Angele mengulang sapaannya kepada wanita pirang yang ada di samping wanita pertama itu. Wajah Caitlyn memerah, dan ia mengalihkan pandangannya dari Angele. Ia sadar bahwa kebohongannya sudah terbongkar, dan teman-temannya memandangnya dengan pandangan menghina.
Situasi menjadi semakin canggung, sehingga akhirnya Caitlyn kabur dari tempat itu. Angele pun tersenyum puas. Dengan begini, para gadis itu akan menyebarkan rumor akan kebohongan Caitlyn, orang yang menyebabkan Angele yang asli mati. Gadis itu bahkan tega meninggalkan Angele yang sedang terluka. Ia bahkan tak pernah mengunjungi Angele, dan membiarkan seorang pekerja mengantarkan Angele pulang sendiri dengan kereta kuda. Walaupun Angele yang asli telah mati, dan Angele yang sekarang adalah orang yang berbeda, Angele tak mau namanya dimanfaatkan oleh gadis itu. Angele masih marah atas kelakuan Caitlyn yang menggunakan namanya untuk menghindari Vivak.
"Angele, Caitlyn bilang bahwa kau adalah tunangannya. Apa itu benar?" tanya wanita berambut pirang itu.
"Tentu tidak." Angele menggeleng, "Kita hanya teman sekelas saat sekolah di Rudin dulu. Aku tidak tahu kenapa dia bilang begitu." lanjutnya sembari tertawa.
"Sudah kuduga. Angele, kau terkenal pandai berbahasa dan memanah." kata seorang gadis berambut pendek berwarna hitam bernama Mary. Angele berbincang-bincang selama beberapa saat, namun ia tidak ingin membuang-buang waktu bersama mereka. Ia segera kembali ke kamarnya.
Angele tahu bahwa Caitlyn adalah pencari muka yang ingin menggunakan Angele untuk meninggikan statusnya di sekolah. Kemungkinan besar, ia mengklaim bahwa Angele adalah tunangannya demi mendapatkan ketenaran dengan memanfaatkan cinta Angele yang asli. Ia pikir bahwa Angele masih mencintainya dan tak bisa hidup tanpanya. Namun, sekarang Angele bukan lagi playboy yang lemah. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Setelah rumor menyebar, tidak banyak yang berubah, namun orang-orang mulai menganggap remeh kedua Candia bersaudara beserta teman-teman mereka. Mereka menggosipkan mereka saat sedang makan malam. Walaupun sudah mendengar kabar itu, Vivak tidak menghajar mereka, karena mereka masih pernah berhubungan dengan Angele. Namun, Angele tak peduli dan tidak ingin terlibat lebih jauh.
Satu minggu berlalu, dan daya tahan Angele naik menjadi 2.9. Kapal kiriman organisasi penyihir akhirnya tiba di pelabuhan.
Di Pelabuhan Marua, jalan setapak dari batu hitam terhampar tepat di tepi laut, dimana ombak terus berderu menyirami pelabuhan. Di sana, Angele berdiri bersama 10 orang lain. Tubuhnya yang tegap dan berotot dibalut baju putih khusus berpedang, yang membuatnya terlihat mempesona. Ia membawa tas hitam di punggungnya, dan pedang crossguard perak tersemat di pinggangnya. Sementara itu, Adolf berdiri di belakang murid-murid lain bersama dengan kedua pengawal di sampingnya. Hanya mereka yang tahu kapal mana yang ditumpangi organisasi Penyihir, jadi Adolf ingin memastikan jika semua proses berjalan lancar.
Hari sudah siang, matahari yang menyinari tepat di atas kepala seakan-akan ingin membumihanguskan tanah. Panas menerpa bagai gelombang di lautan, sehingga semua tidak berhenti mengusap keringat di wajah mereka. Akhirnya, sekelompok kapal pedagang muncul di cakrawala dan perlahan mendekat ke dermaga. Seluruh kapal itu mempunyai bendera dengan lencana 'paus dan trisula'. Mereka membawa banyak kargo.
"Itu kapal pedagang milik Perusahaan Dagang Sea View. Pastikan kau naik kapal yang terakhir. Jangan membuat kekacauan." bisik Adolf ke telinga Angele dengan nada serius.
"Saya mengerti." Angele mengangguk.
Angele memandang ke arah kapal-kapal yang semakin mendekat. Laut seakan menyatu dengan langit dalam gradasi warna biru seperti batu safir. Kapal-kapal berwarna biru-putih itu semakin mendekat ke dermaga. Angin kencang meniup rambut Angele hingga berantakan. Ia bisa mendengar suara ombak yang menghantam dermaga.
Terdengar suara nyanyian burung camar yang beterbangan di atas kerumunan orang-orang yang sedang mengobrol. Sepertinya mereka akan naik kapal perusahaan dagang itu. Sekitar 100 orang berkumpul di jalan sepanjang 100 meter di dermaga itu.
"Berhenti memandang mereka. Orang-orang itu hanya di sini untuk memeriahkan suasana. Tidak banyak yang akan naik kapal itu." Adolf menepuk pundak Angele.
"Berapa orang seperti saya yang ada di sini? Apakah Anda tahu, Master?" tanya Angele. Ia mengerti apa yang Adolf maksud.
"Aku tidak tahu pasti, namun kemungkinan besar para remaja yang akan menaiki kapal terakhir itu sama sepertimu. Nanti kau akan tahu setelah kau naik. Akan ada orang yang menjelaskan semuanya padamu." Adolf menjawab sambil menggelengkan kepalanya. Kelompok kapal itu semakin dekat. Dari kejauhan, kapal-kapal itu terlihat seperti titik-titik, tapi saat mendekat, kapal-kapal itu terlihat sangat besar. Masing-masing seukuran kapal perang di bumi.
"Wow… Bagaimana bisa? Apa bahan bakar yang mereka gunakan?" Angele kaget melihat ukuran kapal-kapal itu.
"Mereka menggunakan bahan bakar spesial. Layar-layar di sana hanya dekorasi untuk menyimpan 'energi'." jawab Adolf sambil memandang kumpulan kapal itu.