Sepuluh menit berjalan, akhirnya kelompok kapal itu menepi ke daratan. Para pekerja terus mengangkat kotak kargo kayu itu turun dari kapal dan mengumpulkannya di dermaga walaupun cuacanya sangat panas. Sementara itu, para pedagang yang berbalutkan baju mewah pun turun dan berbincang-bincang dengan petugas yang mengurus perijinan barang-barang yang baru datang itu. Mereka menunggu untuk memastikan jika semua berjalan dengan baik.
Kapal terakhir di kelompok itu berhenti tepat di dermaga tempat Angele berdiri, dan terlihat beberapa remaja yang terlihat seperti orang kaya mengintip Angele dan dermaga dari jendela kapal. Wajah mereka penuh rasa ingin tahu, namun ada kesombongan yang terlihat jelas di wajah mereka. Beberapa papan kayu selebar 7 sampai 8 meter telah diminyaki dan disusun di atas dermaga sebagai jembatan bagi para murid yang ingin menaiki kapal itu. Papan kayu itu berwarna hitam dan merah, dengan tebal sekitar 50 cm.
"Naiklah ke kapal!" teriak seorang pria paruh baya yang berdiri di dek kapal di antara beberapa orang pelaut. Mendengar teriakan itu, orang-orang mulai naik satu per satu. Sebelum pergi, Angele mengucapkan selamat tinggal kepada Master Adolf dengan mengangguk.
"Jangan lupa untuk mencari Nancy. Dia akan menjagamu." bisik Adolf lirih saat Angele sudah di tengah jembatan kayu itu. Saking lirihnya, sepertinya hanya Angele yang bisa mendengar ucapan Adolf. Angele pun mengangguk, tanda bahwa ia mengerti pesan Adolf itu. Sekitar 40 orang menaiki kapal itu, dan sebagian besar masih remaja, bahkan 7 atau 8 diantaranya terlihat sangat muda. Namun, mereka terlihat tenang dan mencari orang-orang seumuran mereka di antara kerumunan. Angele berpikir bahwa mungkin beberapa dari mereka benar-benar calon penyihir sepertinya, sementara yang lain hanyalah sebagai penyamaran agar fungsi asli kapal itu tidak diketahui.
Sebagian besar dari mereka pergi menurunkan muatan, dan hanya 10 orang remaja yang tersisa di atas dek kapal. Di sebelah Angele, ada seorang remaja tampan berusia sekitar 18 tahun berambut merah dan seorang remaja lelaki berambut pirang. Mereka sedang mengamati orang-orang di atas kapal itu dengan teliti. Di sisi kanan dek, seorang gadis berumur 14-15 tahun yang memakai terusan putih juga sedang mengamati para penumpang lain. Walau berpakaian cantik, penampilannya sangat mencolok dibandingkan dengan orang-orang lain di atas kapal.
Perhatian Angele tertarik pada dua orang remaja karena kekuatan aura mereka yang berbeda dengan yang lain. Salah satunya adalah seorang lelaki muda berambut pirang yang dikuncir kuda. Ia berpakaian jubah emas-putih khas bangsawan, dengan ekspresi bangga dan dagu yang sedikit naik, seakan ia ingin menjadi pusat perhatian. Sebilah pedang saber tergantung di pinggangnya sebagai hiasan.
Yang kedua adalah seorang gadis dengan ekspresi wajah serius. Sepertinya ia tidak suka terlalu banyak tersenyum. Angele menebak jika gadis itu adalah murid yang gigih dan bekerja keras. Gadis itu juga berambut panjang berwarna pirang dan berkuncir kuda. Badan kurusnya yang ideal itu dibalut oleh baju putih. Yang paling menarik perhatian banyak orang adalah pelindung tangannya. Banyak pria muda di sekitarnya yang tak bisa berpaling darinya, namun ia tidak menyadari betapa menariknya dia di mata mereka. Hal ini sangat jelas menunjukkan bahwa gadis itu kurang peka pada keadaan sekitarnya.
Angele jelas tahu siapa dia. Gadis itu bernama Nancy, dan dialah orang yang menurut Master Adolf akan membantu Angele. Menurut informasi yang Angele dapatkan, ayah Nancy adalah seorang duke di Aliansi Andes, sementara ibunya adalah seorang putri dari kerajaan kecil. Nancy terkenal di sekolahnya dan dihormati hampir semua orang di sana. Dulu, ia pernah bersekolah dan belajar bahasa Anmag dengan Master Adolf. Ia memutuskan untuk membantu Angele atas dasar rasa hormat kepada gurunya.
Nancy menyadari tatapan Angele, lalu ia langsung berjalan mendekatinya.
"Kau yang bernama Angele Rio?" tanya gadis itu dengan nada dingin.
"Iya, kau Nancy, kan? Aku mendengar banyak tentang dirimu di sekolah." jawab Angele dengan sopan. Saat Nancy mendekati Angele, tiba-tiba Zero melaporkan adanya radiasi yang kuat dari gadis itu, dan ada 79% kemungkinan bahwa radiasi itu berasal dari benda sihir. Saat ini, Angele tidak bisa melawan pengguna benda sihir, karena teknik berpedangnya tidak berguna melawan kekuatan seperti itu.
"Nancy? Aku pernah mendengar namamu sebelumnya." Seorang lelaki berambut pirang dan kuncir kuda itu berjalan mendekati mereka.
"Namaku adalah Ali Van Norman. Kalian pasti tahu siapa aku." lanjutnya.
"Iya. Ali, anak Pangeran Amn." jawab Nancy dengan sopan sembari berbalik menghadap ke arah remaja itu. Tidak ada yang berani mengabaikan seorang anak Pangeran.
"Jadi dia anak kedua sang Pangeran…"
"Sudah kuduga." Orang-orang di sekitar mereka mulai bergosip tentang Ali. Saat Ali mendekat, Zero lagi-lagi mengingatkan Angele bahwa kemungkinan besar Ali juga memiliki benda sihir seperti Nancy.
Dari tingkat kekuatan energi yang dapat diukur oleh Zero, benda sihir mereka memiliki kekuatan yang besar dan dapat digunakan kapan saja. Dengan memiliki benda sihir saja, kekuatan seseorang akan meningkat pesat hingga nyaris mencapai tingkat paling atas, jauh melebihi kekuatan siapapun di dek kapal ini. Benda-benda tersebut dapat mengubah alur pertarungan dalam sekejap. Angele mengingat saat ia melawan dua ksatria yang segera berusaha kabur saat Angele menggunakan cincin miliknya, namun akhirnya mereka terbunuh juga. Seorang Grand Knight mungkin masih bisa melawan pengguna benda sihir, namun kecil kesempatan bagi ksatria itu untuk bertahan hidup.
Ali dan Nancy mulai berbincang-bincang. Tak lama kemudian, beberapa anak bangsawan lain di kapal itu juga ikut bergabung. Namun, mereka hanya bisa mendengarkan dan jarang menambahkan sesuatu karena perbedaan status antara mereka. Perbincangan itu terus berlangsung selama beberapa saat, sebelum seorang pria berjubah hitam berjalan mendekati mereka, diikuti oleh para remaja yang ada di kapal itu sebelumnya. Hampir seluruh tubuh pria itu ditutupi oleh jubahnya, sehingga Angel hanya bisa melihat wajahnya.
"Murid-murid dari Marua, kalian sudah tahu peraturannya, kan?" tanya pria itu dengan santai.
"Iya, Master. Kerjakan tes dan tunggu instruksi dengan tenang sebelum turun dari kapal." Ali berjalan ke arah pria itu dan menunduk hormat. Sangat jelas bahwa selain Ali, tidak ada yang tahu apa yang harus dilakukan.
"Aturan di sini sederhana. Mungkin beberapa dari kalian benci satu sama lain, namun tidak boleh ada permusuhan di kapal ini. Jangan bertindak bodoh hanya karena kau tidak suka seseorang." kata pria berjubah itu sembari mengangguk.
"Pergilah ke aula di lantai empat." lanjut pria itu sambil menunjuk pintu di samping mereka.
"Ikuti aku." kata Nancy kepada Angele.
Angele mengangguk dan mengikuti Nancy. Bagi Angele, mengikuti Nancy adalah ide yang bagus, karena gadis itu memiliki benda sihir, jadi ia pasti akan menolongnya. Bersama calon murid lainnya, mereka berjalan masuk ke kabin, diikuti oleh pria berjubah itu. Beberapa murid berbincang-bincang dan tertawa, namun perhatian Angele tertuju kepada sepasang gadis yang sangat imut. Mereka terlihat seperti anak kembar. Sementara itu, Zero mengingatkannya beberapa kali tentang benda sihir yang dimiliki beberapa murid disana. Ternyata, ada orang lain yang juga sedang memperhatikannya.
Kapal itu terus berjalan dan berhenti di berbagai negara untuk mencari calon murid. Dari pakaian mewah yang mereka gunakan, sebagian besar dari murid-murid itu berasal dari keluarga terkenal. Bisa dikatakan bahwa organisasi penyihir memisahkan anak-anak biasa dari dunia mereka. Walaupun anak-anak dari keluarga biasa memiliki kemampuan untuk menjadi seorang penyihir, mereka tidak akan bisa masuk ke dalam kapal ini. Bahkan, Angele mungkin tidak akan pernah masuk ke kapal ini tanpa bantuan Adolf.
Sesampainya di dalam kabin, mereka berjalan turun melalui tangga, hingga sampai ke aula lantai 4. Aula itu berdinding redwood, dengan lukisan-lukisan indah tergantung menutupi dinding. Ada sebuah lampu kristal besar dengan lilin yang tidak dinyalakan di atasnya. Aula itu benar-benar kosong, bahkan tanpa kursi ataupun meja. Pria berjubah itu berdiri di tengah aula menghadap semua murid.
"Adakah calon penyihir tingkat tiga yang berumur di bawah 18 tahun di sini? Jika ada, kemarilah dan berdiri di belakangku." Pria itu berkata dengan lembut, seakan takut membuat para murid bertalenta itu tersinggung. Empat orang remaja berjalan ke depan dan berdiri di belakangnya. Dua di antaranya adalah Ali dan Nancy, sementara dua lainnya sudah dilihat Angele sejak tadi: seorang gadis berbaju terusan berwarna putih dan seorang anak laki-laki berambut hitam. Namun, lelaki itu mengenakan baju khas bangsawan kelas menengah, sehingga nyaris tidak ada yang menyadari keberadaannya. Angele pun tidak menyangka jika anak itu adalah seorang calon penyihir tingkat tiga.
"Nama dan umur?" tanya lelaki berjubah itu.
"Ali, 17."
"Nancy, 16."
"Gaben, 16."
"Jared, 14."
"Wow…" Mendengar perkataan anak berambut hitam itu, semuanya heran dan mengamatinya. Bahkan, pria berjubah itu juga sangat terkejut dan mendekati anak itu.
"Apakah kau benar-benar 14 tahun?" tanya pria itu.
"Iya, saya berulang tahun bulan lalu. Apa ada masalah?" tanya Jared dengan tenang.