webnovel

Korban Tak Bersalah

Kita harus sembunyi, Mas!" Aku meremas ujung baju suamiku.

"Iya, ayo!"

"Jangan lari, Fira!" teriak Aki Tejo.

Aku heran, kenapa orang yang punya kekuatan supranatural seperti beliau, bisa dirasuki? Mungkin setan di sini benar-benar berenergi kuat. Aku semakin takut karena Aki terlihat lebih menakutkan. Dia mengejarku dan Mas Fadil yang terus menghindar.

Aku dan Mas Fadil berlari ke belakang rumah menuju gudang, kemudian aku masuk terlebih dahulu. Namun, saat Mas Fadil ingin menyusulku, pintu gudang tertutup sendiri dengan kencang.

"Firaaa ...!" Terdengar suara suamiku berteriak disertai gedoran yang kencang.

Aku yang mulai sadar dengan kejadian aneh ini mendekat ke pintu dan mencoba membukanya dengan segala cara. Akan tetapi, tak bisa.

"Mas Fadil, dobrak pintunya! Aku tak bisa membuka dari dalam!"

Suara Mas Fadil tak terdengar lagi, gedoran pintu juga tak terasa. Kemana dia? Apa dia tega meninggalkanku di sini. Bagaiman nasibku selanjutnya.

Aku berjalan menyusuri gudang, mencari barang berat yang bisa menghancurkan pintu itu. Aku harus keluar dan melihat keadaan. Aku memang benci dengan Mas Fadil, tetapi aku tak tega. Hatiku masih untuknya.

Sial! Tak ada barang yang bisa digunakan di sini. Hanya lemari berisi kumpulan kertas dan beberapa album foto usang. Pasti ini hanya kumpulan foto milik Pak Bayu, Bu Sinta dan Bu Putri saja.

Aku melihat sebuah balok kayu di dekat tumpukan buku. Iya itu pasti bisa menghancurkan pintu gudang. Aku berjongkok dan mulai mengulurkan tangan kanan, tetapi tidak terjangkau.

Tidak kehabisan akal, aku menarik beberapa buku di bagian bawah. Ternyata hal itu membuat tumpukan buku yang lain ambruk dan menimpa tanganku. Sakit sekali! Benar-benar merepotkan gangguan ini!

Mencoba tenang, aku mulai menetralkan napasku yang sejak tadi memburu. Aku menarik perlahan-lahan tanganku, tetapi tetap menjaga agar tak ada yang ambruk lagi karena kepalaku bisa tertimpa.

"Fira! Kau tidak apa-apa? Pintu gudang ini tidak bisa dibuka!"

Aku menegang mendengar teriakan dari luar gudang. Bisa kupastikan itu suara Aki. Jangan-jangan Aki mau menjebakku dan menghunuskan keris yang dari tadi beliau pegang. Aku memutuskan tak menjawab.

"Fira, Aki bisa jelaskan semuanya kalau—" Suara Aki terhenti, "Aaargh!" Selanjutnya tersengar erangan yang nyaring.

Aku panik dan makin menarik tanganku yang sudah setengah terlepas. Beberapa lama bersabar, tanganku bisa terlepas tanpa membuat buku atau barang lain ambruk. Segera aku mendekati pintu, langkahku mendadak berhenti ketika melihat cairan merah pekat mengalir dari bawah pintu.

"Jangan dekati pintu, Fira!" Terdengar suara Mas Fadil memerintah.

Aku menjauh, setelah itu pintu di dobrak dengan kencang. Mas Fadil menghampiriku dan memeluk tubuhku. Tubuhnya bergetar hebat. Dia menahan tubuhku yang penasaran melihat luar gudang.

Tak sabar, aku akhirnya melepaskan diri dan berjalan melewatinya. Saat sudah sampai di depan, tubuhku limbung mendapati Aki yang tergeletak dengan keris menancap di dadanya beserta darah yang terus mengalir dari luka tusukannya itu.

Mas Fadil menarik tanganku dan sekali lagi merangkul tubuhku, lalu dia mengatakan sesuatu yang membuat detak jantungku bertalu kencang.

"Aki ... sudah tiada."

Mendengar perkataannya, Aku merosot dalam pelukan Mas Fadil. Tubuhku luruh ke lantai, air mataku bagai sungai yang mengalir deras. Meratapi kepergian Aki tanpa bisa menolongnya lebih dulu. Aku tahu tadi beliau memang hampir membunuh kami berdua, tetapi harusnya dia bisa ditolong dengan disadarkan dari kerasukannya.

Mas Fadil memapah tubuhku keluar gudang. Kami berjalan sambil menghindari tubuh yang tergeletak dengan darah yang menganak sungai itu. Segera setelah sampai di ruang tamu, Mas Fadil meraih telepon rumah kemudian menelpon seseorang. Terdengar suamiku memanggil Pak RT.

"Kamu gak lihat siapa yang menusuk Aki?"

"Sayang, aku baru sampai setelah pergi mencari kunci cadangan di kamar. Aku memang gak menemukan dia di ruang tamu, makanya aku cepat-cepat masuk kamar. Pas aku kembali, beliau udah tergeletak di depan gudang dengan keris yang menancap dada kirinya." Mas Fadil menjelaskan secara detail.

Aku yang mendengarnya terpaku, detail itu bagus, tetapi sampai letak tusukannya saja dia tahu. Jangan-jangan ....

"Aku gak mungkin tega melakukan itu. Dia seperti orang tuaku sendiri," sanbungnya lagi.

Kata-kata Mas Fadil sepertinya keluar setelah dia menangkap gelagatku. Karena mulai mencurigai dia selain Bu Putri dan Pak Bayu. Ya, memang, semua semakin tak jelas dan semua bisa saja menjadi yang bersalah.

"Iya, aku percaya, aku syok melihat keadaan Aki," kataku, bohong.

Suara gedoran pintu terdengar, Mas Fadil segera membuka pintunya. Masuklah beberapa pria dari berbagai rentang usia. Ada yang muda sampai tua, kuhitung jumlahnya ada enam orang. Semua pandangan mereka tertuju padaku.

Seseorang dengan kaos berwarna biru dongker menunjuk wajahku. Dia berkata, "Dia ... Bu Sinta?"

Sisanya mengangguk dengan wajah pucat. Mas Fadil terlihat tersenyum tipis, terkesan memaksa. Dia merangkulku dari samping dan menjawab, "Dia istri saya."

"Apa?! Bukannya istri bapa itu Bu Adel?" si baju biru menyahut lagi.

Seseorang yang berkumis lebat menepuk kepalanya dengan kencang seolah-olah yang dia ucapkan adalah sebuah kesalahan besar. Mas Fadil yang ada di sampingku tak menepis omongan barusan, yang dia lakukan hanya mempererat rangkulannya.

"Saya sudah menelpon polisi, Pak. Kita tunggu sebentar lagi, ya," ucap seseorang dengan tampilan yang cukup formal; berbaju batik dan celana bahan. Mungkin beliau Pak RT.

Kami semua duduk diliputi ketegangan. Aku merasa gusar mendapati tatapan penasaran dari semua lelaki yang duduk di sekitarku. Mereka tak bicara sedikitpun, tetapi mata mereka berkata lain.

Aku memandang Mas Fadil yang terlihat mengantuk, dia beberapa kali menguap. Aku kembali mengingat omongan pemuda tadi, dia tak mengenalku sebagai istri Mas Fadil. Ini benar-benar menyebalkan. Akan kucari tahu masalah ini lewat warga lain. Karena kalau bertanya langsung ke suamiku, dia pasti mengelak.

Lama menunggu, sayup-sayup sirine polisi semakin mendekat. Kami bangkit bersamaan dan menghambur keluar rumah. Aku diam saja melihat semua petugas memasuki rumah dan melakukan tugasnya. Salah seorang dari mereka menanyakan beberapa pertanyaan tentang kematian Aki, dan aku langsung menjawab sesuai yang terjadi tadi.

Semua sudah selesai, Aki sudah di bawa ambulan karena dia akan dibawa ke kampung halamannya di desa sebelah. Menurut info dari salah satu petugas, keluarganya tak mau dia dimakamkan di sini.

Semua orang mulai berpamitan. Ketika pemuda berbaju biru dongker itu mendekatiku untuk bersalaman, aku menarik tangannya.

"Aku minta nomormu, ada banyak yang aku ingin kutanyakan," kataku sambil memberikan ponsel.

Dia menatapku sebentar kemudian seringaian kecil muncul dari bibirnya.

Dari sini aku sadar kalau informasi itu bisa saja bohong sebagai alatnya saja untuk menguras uangku, atau mengambil keuntungan dariku.