webnovel

Flashback Masa Lalu yang Menyeramkan

Lagi-lagi aku tak mampu bergerak, hanya bisa menatap apa yang terjadi. Juga, entah mengapa mereka seakan tak melihat aku di sini. Apa mungkin ini semua hanya khayalanku saja.

"Kau tak pantas menjadi pasangannya. Aku harusnya melenyapkanmu dari awal! Aku menyesal menganggapmu orang baik. Putri!" Bu Sinta terlihat sangat frustrasi. Dia tak mampu melawan apa yang sekiranya akan terjadi kepada dirinya.

"Jangan banyak omong! Jelas-jelas kau yang merebutnya, kau yang membuat ikatan palsu ini terjadi! Aku tak rela! Aku membencimu dan semua ini tak akan berakhir dengan mudah. Kita akan melihat sekarang siapa yang akan selamat. Kau atau aku. Siapa pun yang bisa bertahan, dia akan menang dan berhak atas Mas Bayu!" 

Bu Putri terlihat sangat tak santai. Dia diserang amarahnya sendiri.

"Jangan Bu Putri. Tenanglah!" Aku mencoba lebih mengencangkan suara agar dua wanita yang masih kuragukan mereka manusia atau setan, tapi tak bisa aku sembunyikan rasa penasaranku yang terasa mulai terpengaruh dengan kejadian menegangkan ini.

Dari tempatku duduk, mereka terlihat saling diam. Tak ada kata-kata, dan terlihat seperti patung.

Aku semakin sadar kalau mereka berdua tak lagi bergerak. Lalu hanya ada dengus napas seseorang yang semakin mendekat.

Ini tak baik. Aku tahu, ini pertanda buruk bagiku yang masih setia di sini. Bukan, tapi bagiku yang masih terpatri di sofa ini tanpa bisa menyadarkan diriku sendiri yang tengah dilanda pengelihatan tak masul akal yang dipastikan adalah ghaib.

Akan tetapi, semua berjalan lagi. Mereka kembali bergerak, bersamaan dengan suara napas yang berhenti. Keributan itu terjadi lagi. Tengkukku mendadak merinding. Bulu-bulu di sana mungkin sedang berdiri tegak.

Aku tahu ini salah. Aku harus pergi, tapi entah bagaimana caranya. Ke mana Mas Fadil dan juga Aki, aku tak tahu keberadaan mereka berdua yang hilang bak ditelan bumi.

Pandangan Fira beralih ke kedua wanita itu lagi. Dia berpikir, kalau memang keadaannya tak diketahui oleh keduanya, dia akan diam sebentar sampai selesai. Setidaknya rahasia-rahasia tentang rumah ini, Bu Putri, Pak Bayu, orang yang mirip denganku, akan selesai dalam damai. Setidaknya ada hal yang bisa dia ambil dan dia katakan kalau dia tahu apa jawaban yang pantas dan bisa menuntunnya ke dalam hal lebih benar.

"Aku sudah memberi kau kesempatan untuk pergi bersama putramu. Namun, kau malah menantangku untuk mempertahankan hubungan kau dengan Mas Bayu. Kau benar-benar wanita tak tahu diuntung!" kata Bu Putri penuh emosi. Dia terlihat berkali-kali menghunuskan kerisnya ke arah dada Bu Sinta. Dia tampak bersemangat dan matanya dipenuhi sorot dendam.

"Kau yang tak tahu diri. Mas Bayu sudah lebih dulu menikah denganku. Kau hanya wanita selingannya, dia tak benar-benar mencintaimu, Putri!" Sambil menghindari tusukan keris, Bu Sinta berkata dengan lantang. Dia menepis tuduhan dengan kata-kata yang bernada kesal.

Bu Putri tampak menegang, dia menatap bengis ke arah Bu Sinta.

"Kau salah, aku lebih sayang Putri. Kami saling mencintai sejak SMA. Aku terpaksa menikahimu demi uang, Kau adalah tumbal pertama kami, Sinta. Selamat tinggal!" Terdengar suara seorang lelaki demgan jeans dulu kebalik, sekaeang bisa nulia lagi.

Aku memandang seorang lelaki tegap dengan rambut hitam legam mendekati dua wanita yang sedang bersitegang itu. Dia Pak Bayu. Orang yang tadi kutemui, orang yang lembut penuturannya ternyata sanggup melukai hati wanita yang membuat senyumnya merekah tadi sore.

Bu Putri mencengkram tangan Bu Sinta. Lalu, mendorongnya sampai menubruk kursiku dengan kencang. Bu Sinta meringis kesakitan, dia hendak mengambil pisau yang ada di bawah kursi, tetapi tak jua menemukan benda tajam itu.

Bu Putri dan Pak Bayu mendekat. Mereka memegang keris dengan ke dua tangannya. Tanpa tedeng aling-aling, mereka menancapkan keris ke dada Bu Sinta sampai sang empu tak berdaya.

Wanita yang sangat mirip denganku itu, tersungkur tepat di kakiku. Matanya menerawang ke atas. Nafasnya putus-putus. Aku merasa Bu Sinta melihatku. Tapi mana mungkin.

"Selamatkan dirimu sendiri ...," katanya ke arahku, lalu matanya tertutup rapat.

Jadi ... dia tahu aku ada di sini?

Apakah kata terakhirnya untukku?

***

"Firaaa ...!"

"Fir!"

"Sadar, Firaaa ...!"

Semua yang kulihat menghilang, aku seperti ditarik kembali ke akal sehatku, ke dunia nyata. Di samping kanan dan kiri Mas fadil serta Aki Tejo memandangku. Mereka menepuk-nepuk bahu dan tanganku.

"Kamu kenapa dari tadi bengong terus, aku sama Aki udah ngelakuin apa aja buat nyadarin kamu Fira."

"Sudahlah, Fadil. Apa yang istrimu lakukan, sudah pasti ulah Putri."

Mas Fadil mengangguk mendengar kata-kata Aki. Suamiku memberikan segelas air putih, dan aku langsung meminumnya sampai tandas tak tersisa. Aku mencoba tenang, menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Mencoba mengumpulkan kepingan kejadian mistis yang baru saja dipertontonkan.

"Ki, tadi saya ngeliat bagaiman Ibu Sinta dihabisi. Bukan hanya bu Putri pelakunya tapi ... Pak Bayu juga ikut. Dia—"

"Cukup!" sergah Mas Fadil.

Lelaki yang memakai kaus putih oblong itu bangkit dari duduk. Dia terlihat menyeramkan, tangannya mengepal sampai buku-buku jarinya memutih. Rahangnya tampang bergemeletuk, dengan urat di sekitar leher yang menegang.

"Jangan-jangan istrimu belum mengetahui apapun?" tanya Aki. Matanya menyipit dengan kerutan di samping kanan dan kiri mata.

Lelaki tua itu menghampiri dia dan menggiringnya menjauhiku, memasuki kamar tidur kami. Ada apa dengan mereka? Apa yang dirahasiakan? Aku tak tahan untuk menguping, tetapi pembicaraan mereka sangatlah kecil. Sepertinya pembicaraan ini sangat penting.

Nekat, aku menghampiri keduanya di dekat pintu kamar. Perlahan, aku menempelkan kupingku rapat-rapat di pintu. Belum berhasil mendengar apa pun, kenop pintu berputar. Sontak aku berbalik badan dan cepat-cepat kembali ke tempat semula.

"Sayang, maaf lama ya, tadi aku emosi aja dengar Pak Bayu salah satu dalangnya. Orang yang aku pikir baik ternyata tidak sesuai dengan ekspektasiku sendiri," kata Mas Fadil. Dia duduk di sampingku.

Aki Tejo duduk di seberang kami seperti semula.  Dia kembali menyalakan dupa yang sempat padam. Aku dan Mas fadil duduk lebih tegak, mencoba memahami semua mantra yang terasa tidak jelas dirapalkan olehnya.

Aki memejamkan matanya, dan bersamaan dengan itu, angin bertiup. Perlahan-lahan angin yangbterasa sejuk menjadi panas, aku merasa sesak dan terbelenggu. Kutengok keadaan Mas Fadil, dia terlihat mengelap keringat di dahinya. Itu bearti dia merasakan hal yang sama.

Saat kami berdua mulai fokus dengan ritual ini. Mendadak Aki terdiam, dia membuka matanya yang terpejam. Pandangannya tertuju ke arahku.

"Minggat kau setan!" hardiknya nyaring.

Aku tersentak dan memeluk lengan Mas Fadil yang juga sedang memandangku dengan sorot takut. Dia mencoba menarikku berdiri dan menghindari Aki yang mulai menghampiri kami. Wajahnya pucat, kakinya berjinjit, dengan suara tulang yang patah.