"Arka?" suara panggilan dari Yera sukses membuat Arka menoleh. "Aku gak bisa tidur," lanjut gadis itu.
"Mau makan sesuatu dulu?" tawar pria itu. Arka kira setelah menghirup udara segar mampu membuat gadis itu mengantuk, nyatanya sama saja.
Yera menggeleng.
Pria itu menghela nafas sebelum akhirnya naik keatas ranjang memposisikan tubuhnya disamping Yera. Untung saja ranjang itu masih muat untuk dipakai dua orang.
"Saya temani kamu tidur," ucap Arka langsung pada inti tujuannya.
Yera tak bisa menahan senyum.
"Kayak gini boleh?" tanya gadis itu ketika menyimpan kepalanya diatas dada kiri Arka yang tengah menyender.
"Terserah kamu," balas Arka dengan tangan kirinya memegang bahu Yera agar gadis itu nyaman.
Yera kembali tersenyum lantas memeluk perut Arka, gadis itu memejamkan matanya.
Ini malah membuatnya semakin tak bisa tidur karna jantungnya berdetak sangat kencang.
Arka mengelus punggung Yera guna membantu gadis itu untuk cepat tidur.
Arka rasa sekarang ia akan mulai memprioritaskan Yera dihidupnya, karna ia ingin mencintai dan memiliki gadis itu seutuhnya.
Arka memeluk Yera ketika nafas gadis itu mulai teratur menandakan bahwa ia sudah mulai tertidur.
-[]-
"Yera? Lah mati kayaknya ini anak."
Yera mengerjapkan matanya karna mendengar suara berisik itu.
Yera mendengus ketika mendapati kakak keduanya tengah memandangi gadis itu dengan ekspresi panik.
"Syukur deh buka mata, gue kira lo mati," Albara mengelus dadanya sembari menghebuskan nafasnya lega.
"Ngapain sih kesini? Bikin gue tambah sakit aja," dengus Yera membuat Albara menggeleng tak percaya.
"Lo bukannya berterima kasih karna gue jauh-jauh naik pesawat buat jenguk lo ya, cuman sayang banget gak mati-Aww!" Cowok jangkung dengan kulit pucat itu meringis ketika kepalanya dijitak oleh seseorang dari belakang.
"Pas ketemu damai aja bisa gak sih kalian?" tanya Lian si kakak pertama yang selalu menjadi penengah ketika kedua adiknya selalu adu mulut.
"Tahu tuh Kak Bara masa pengen aku mati sih," Adu Yera yang dibalas cekikikan dari kakak tengilnya itu.
"Udah bagus lo gak usah balik dari Belanda," ucap Lian membuat Albara melotot.
"Punya saudara hasil give away gini banget," ucap Albara sembari melengos pergi menuju sofa. Ia langsung pergi ke rumah sakit begitu sampai di bandara Indonesia dan dijemput oleh Lian. Albara juga katanya mumpung libur semester dan memilih untuk pulang.
"Arka mana?" tanya Yera ketika gadis itu baru sadar tidak ada sosok Arka diruangan itu.
"Dia ada meeting, tadi kami sempet ngobrol dulu sebentar," balas Lian sembari membenarkan rambut adik bungsunya yang berantakan itu tiap kali bangun tidur.
"Gimana sekarang keadaannya?" tanya si sulung dengan lembut.
Lian bersikap sangat lembut kepada Yera berbanding terbalik dengan sikapnya terhadap Albara karna cowok itu selalu saja membuat ulah. Namun Lian tetap menyayangi kedua adiknya itu.
"Agak lemes, tapi dikit sih."
"Yaudah sarapan dulu ya abis itu minum obat, kamu lap dulu mukanya pakai ini," Lian mengusap wajah Yera menggunakan handuk basah lantas pria itu mengambil tisu kering dan kembali melap wajah adiknya itu dengan lembut.
Setelah itu Lian menarik meja diatas ranjang Yera lalu menaruh semangkuk bubur diatasnya.
"Jiah sarapannya bubur, cuman orang lemah yang makan bubur-Aduh!" Albara kembali mengaduh ketika handuk basah sukses mendarat diwajahnya ketika Lian melemparkannya.
"Jangan dengerin anak pungut itu."
Yera mengambil suapan pertama, nafsu makannya lumayan membaik dibanding hari sebelum-sebelumnya.
Sembari menunggu Yera selesai makan, Lian izin pamit keluar sebentar untuk menemui sekertarisnya yang menunggu di lobi.
"Eh minggu lalu ada yang mati karna makan bubur, hati-hati aja lo," peringat Albara sembari mendekat. "Soalnya makannya dikandang beruang haha."
Yera menatap kakaknya itu dengan prihatin. "Kasian banget obatnya habis ya? Soalnya stres gitu."
Albara mendengus kesal.
"Gak bosen apa? ke mall yu," ajak cowok itu. "Gue traktir deh serius."
"Nanti kalo kak Lian ngamuk gimana?"
"Bilang aja lo pengen shopping biar gak stres," jawab Albara tanpa ragu.
"Kan lo yang ngajak bodoh." Yera sudah capek dengan kelakuan kakaknya itu.
"Gue bawa play station deh kesini, gimana?" Albara kembali bertanya membuat Yera mendelik.
"Heh Albara sekalian aja sekamar-kamar lo bawa, gue ada disini tuh karna sakit dan gak boleh berisik."
"Dih gak sopan manggil nama, gue bilangin Lian ya."
"Dih sendirinya manggil nama kak Lian."
"Yaudah damai hehe."
"Cupu," ledek Yera membuat Albara menjepit kepala Yera menggunakan tangannya membuat gadis itu berteriak minta ampun.
"Albara adek lo lagi sakit," Lian segera berjalan lantas memukul lengan adik laki-lakinya itu.
"Dia ngatain gue cupu, Kak."
"Kan lo emang cupu," balasan Lian sukses membuat Yera terbahak.
"Diem lo pada ya gue gak akan ngomong lagi," Albara berbalik lantas cowok itu kembali menduduki bokongnya di sofa.
Pintu ruangan terbuka menampilkan Arka disana.
"Katanya meeting? Kok sebentar?" tanya Yera ketika Arka mengantungkan jasnya digantungan baju.
"Sengaja," balas Arka membuat Yera tersenyum.
"Oi sini," panggil Albara mengangkat tangannya menunjuk Arka.
"Sopan dikit Bar," tegur Lian.
"Dih kenapa harus? Walaupun tuaan Arka, dia tetep adik ipar gue ya. Iya kan Arka?" jelas Albara membuat Arka terkekeh.
"Saya gak masalah kok selagi kamu nyaman," balas Arka tenang.
"Lo mah cocoknya jadi dosen gue, jangan formal banget napa. Gue Kakak ipar lo, bukan klien lo," tutur Albara.
"Maklum aja ya, adik gue yang itu rada stres jadi jangan terlalu dianggap," ucap Lian sedikit menurunkan volume suaranya.
"Gue denger ya lo ngomong apa, Kak," ucap Albara kesal.
"Duduk sini, gue pengen mengenal lebih dalam tentang adik ipar gue," kata Albara yang dituruti oleh Arka.
Memang, Arka belum mengobrol secara langsung dengan Albara dan hanya mendengar sekilas tentang kakak kedua Yera itu. Albara tak bisa menghadiri acara pernikahan adiknya karna tengah melaksanakan ujian.
"Masih gantengan gue ternyata," ucap Albara setelah beberapa saat memandang wajah Arka membuat Lian dan Yera ingin muntah karna percaya diri saudaranya itu.
"Umur lo dua puluh empat tahun kan?" tanya Albara yang dijawab anggukan oleh Arka. "Gue dua puluh satu, tapi enjoy aja ya kalo gue manggil lo dengan nama. Ya kali adik ipar dipanggil kakak."
"Saya tidak mempermasalahkannya," jawab Arka.
"No," Albara menggeleng. "Gak usah formal banget bisa gak sih? Kita bakal akrab kalo lo ngomongnya lo-gue. Kalo Saya-kamu kesannya kayak lagi ngobrol sama dosen pas mau bimbingan skripsi."
"Iya, Kak,"
Albara menepuk jidatnya. "Gak perlu manggil gue kakak, geli."
"Serba salah," protes Arka membuat Yera tertawa. Semoga Arka bisa tahan dengan kelakuan Albara. Semoga.
"Lo gak terima hah?" tanya Albra dengan nyolot.
"Ish Kak Bara udah deh jangan galak-galak," rengek Yera.
"Gak bisa Ra, harusnya nih gue ngelakuin ujian apakah dia pantes jadi adik ipar gue atau bukan," Albara tetap ngotot.
"Albara, lo jetlag. Mending tidur aja."