Sudah seminggu sejak kejadian itu, Fikar tidak pernah lagi muncul di kelas Distian dan itu membuat perasaannya lega. Hampir semua orang di sekolah menatapnya penuh dengan tatapan tidak mengenakkan, gosip mulai menyebar ke mana-mana. Bahkan sebagian dari orang-orang yang ada di kelasnya ini menatapnya dengan penuh rasa jijik. Orang-orang mulai menggunjing yang tidak-tidak tentang dirinya. Selama seminggu ini Yuni sering mendengar cerita-cerita yang tidak mengenakkan tentang Distian, banyak orang beranggapan dialah penyebab utama Fikar tidak berhubungan lagi dengan Yuni sejak saat itu.
Beberapa cewek terlihat sedang bergunjing, Armin tahu apa yang sedang mereka gunjingkan di sana.
"Dis?" ujar Armin, Distian bergumam. "Lu diem aja?"
Distian menutup novelnya. "Peduli setan gue, Min. Gue hidup bukan dari omongan mereka."
"Kantin kuy, laper gue." Distian berjalan melewati kursi Yuni. Tapi tidak ada siapa-siapa disana.
Mereka berempat memesan bakso, sembari menunggu pesanan mereka datang, mereka menggunjingkan hal-hal yang tak penting.
Distian beranjak, melangkahkan kakinya ke gerobak Mba Rahma, mengatakan sesuatu. Kemudian ia mengambil langkah ke tempat Yuni. Ketiga orang yang sejak tadi bersamanya memandang Distian bingung. Awalnya mereka berpikir Distian hendak ke toilet.
Namun, langkahnya terhenti di meja Yuni dan teman-temannya, tanpa basa-basi dia langsung duduk berhadapan dengan Yuni di bangku yang panjang itu. Keempat orang itu tersentak kaget dengan kedatangan Distian yang tiba-tiba. Yuni terdiam, Distian meletakkan kedua lengannya di atas meja, melipat kedua lengannya, mencondongkan sedikit badannya ke depan.
"Dis," ucap Yuni terbata-bata.
"Yuni."
"Kenapa Dis," tatap matanya sayu. Di sebalah Yuni, mimik wajah Hikma terlihat geram.
"Mau apa lagi lu Dis!"
"Kok marah sih! Takut deh," ejeknya.
"Hikma." ucap Yuni berbisik.
"Mau ikut campur urusan orang lagi!!!"
"Hikma udah."
"Kalau lu-"
"Hikma," potong Yuni, ia menatap Hikma dalam-dalam.
Akhirnya Hikma menyerah, ia bergeser beberapa centi dari tempatnya sebelumnya, tidak ingin berdekatan dengan Distian.
"Kok gak di makan baksonya," tanya Distian memecah keheningan.
"Mie nya kebanyakan."
"Kenapa di beli?" Yuni cengengesan, kehabisan kata.
Mba Rahma berjalan ke tempat Yuni membawa semangkok bakso.
"Dimakan Mas," ucap Mba Rahma dengan dialek khasnya.
Distian mengangguk tersenyum. Ia mengarahkan sendok dan garpunya ke mangkuk Yuni, mengambil mie kemudian di pindahkannya ke ke mangkuknya, ia meyisakan sedikit untuk Yuni.
"Dis?" panggil Yuni, tangan kiri Distian yang sedang memegang garpu dengan mie yang bergelantungan terhenti di tengah-tengah suapan. "Itukan sisa gue."
"Terus?"
"Yah...."
"Katanya lu tadi gak bisa makan karena mie nya kebanyakan kan?" Yuni mengangguk. "Sekarang lu bisa makan." Yuni menunduk mengikuti arah sendok Distian menunjuk ke arah mangkuknya.
"Sekarang makan," perintah Distian.
"Eh."
"Sekarang lu makan," ucapnya penuh penekanan.
"Oh iya," jawab Yuni tanpa banyak protes lagi. Selang beberapa menit, ketiga orang yang di tinggalkan Distian menyusul.
Kehadiran mereka membuat suasana menjadi seru, tidak hening lagi, apa lagi ada Asdar dan Topik mengoceh tanpa henti. Yuni menghabiskan makanannya lebih cepat, teman-temannya sedang asyik mengobrol dengan Asdar dan Topik.
"Gimana sekarang?" tanya Distian. Yuni mengerti maksud dari pertanyaan itu.
Ia tersenyum pahit."Yah gitu,"
"Kesal gak sama gue?" Yuni mengangguk.
"Kesal banget. Tapi di waktu yang sama gue juga lega, gue gak terperangkap lagi rasanya."
"Gak susah kan?"
Yuni tersenyum kecil. "Bagi lu."
"Kenapa gak marah?"
"Kenapa harus marah? gue bebas kok sekarang, berkat lu," ia terdiam sejenak. "Tapi, gue tetap harus minta maaf ke Fikar." Matanya berubah sayu.
Distian mendengus sinis. "Gak ada gunanya minta maaf, dia juga udah terlanjur sakit."
Rasa bersalah tiba-tiba kembali menghantui Yuni. "Walaupun itu hampir semuanya salah lu, karena sedikit kesempatan itu. Bagi dia cuman ada dua pilihan, iya atau gak dan lu milih gak, walaupun sikap lu ke dia itu seolah ngasih dia jalan. Bersikap baik ke orang yang lagi ada rasa sama lu itu beresiko, walaupun menurut lu itu biasa aja."
"Jadi harus gimana?" Aini tiba-tiba nyeletuk. Distian menatapnya datar.
"Kalau gak suka bilang," jelasnya.
"Itu doang?" celetuk Aini, yang sedari tadi diam-diam mendengarka.
"Kalau lu mau nambahin garam juga boleh," kata Distian datar, lalu berlalu pergi.
"Kok garam sih, kan kita lagi gak bahas makanan."
"Kita, Yuni aja kali ama Distian, lu gak." Topik mengetok kepala Aini. Yuni dan teman-temannya tertawa.
"Bego," tambah Asdar sembari tertawa.
"Duluan yah," pamit Armin. Ketiganya berlalu menyusul Distian.
Mereka berempat berjalan menyusuri lorong sekolah, seorang cewek berjalan dari arah berlawanan merangkul sebuah buku, berjalan dengan gemulai dan anggun, dari kejauhan kecantikan nya sudah terlihat jelas, semua mata tertuju padanya.
"Dis," sapa Natasya.
"Nat."
Pertemuan yang singkat. Hanya sapaan saling menyahutkan nama.
"Sapa gue juga kek," celetuk Asdar.
"Ngarep lu," kata Topik.
***
Ia berjalan melewati kelas-kelas yang sudah hampir kosong, matanya menoleh ke kiri, dilihatnya sosok yang ia kenal. Distian mengubah arah langkahnya, ia berjalan mendekati sosok itu, yang sedang tertahan sesuatu. Yah Yuni, Yuni sedang berdiri disana bersama Fikar, Yuni berulang kali mencoba kabur, tapi dengan cepat Fikar menutup celah.
"Kenapa sih Yun, apa yang kurang dari aku?"
"Gak ada Fik, gak ada." Yuni melangkah namun Fikar tak memberi celah sedikit pun untuknya.
"Terus kenapa Yun?" Yuni terdiam, tak bisa berkata apa-apa lagi, ia sudah mengutarakan maksudnya, ia sudah menjelaskan isi hatinya dan juga meminta maaf sedalam-dalamnya. "Selama setahun ini bagi kamu aku itu apa?"
"Kamu, ka-ka-"
"Katanya lu mau balik bareng gue." Keduanya tersentak kaget, Distian tiba-tiba berdiri di dekat mereka, matanya menatap Yuni.
"Mau balik apa gak?" tanya Distian. Tak ada jalan lain bagi Yuni agar terlepas dari Fikar, inilah jalan itu.
"Iya mau," jawab Yuni, ia melangkah ke arah Distian, Fikar tak lagi menahannya.
"Oh jadi karena dia."
"Fikar!!!"
"Terus apa?"
"Aku udah bilang dia gak ada hubungannya."
"Udah jelas-jelas kamu balik bareng dia." Fikar menatap Distian tajam, ia mengepalkan tagannya, berjalan maju dengan wajah merah padam.
"Kalau sampai kamu nyentuh dia, aku gak bakalan maafin kamu seumur hidup," seru Yuni dengan tegas. Langkah Fikar terhenti.
"Sekarang kamu belain dia?"
"Terserah." Yuni menarik tangan Distian menjauh dari Fikar, tak sadar ia menggenggamnya sampai ke parkiran, Yuni cepat-cepat melepas genggamannya.
"Kok di lepas?"
Yuni tergagap, malu-malu. "Gak, sorry."
"Gue balik yah." Yuni menahan langkah Distian.
"Tunggu dulu."
"Kenapa?"
"Hari ini gue gak bawa motor."
"Mau di anterin pulang?" Yuni menunduk bingung.
"Nanti di jemput sih sama Ayah. Tapi, gue gak tahu dia bakal datang jam berapa," jelasnya, wajahnya menggambarkan seolah dia mengkhawatirkan sesuatu.
"Mau apa gak?"
"Gak usah deh, gue gak enak ngerepotin."
"Emang gue gak mau."
"Ha! Terus kenapa lu nanya?."
"Kan gue cuman nanya doang." Wajah Yuni berubah kecut.
"Lu takut dia datang lagi?" Yuni mengangguk.
"Sini ikut."
Novel keduanya ini ia baca dengan seksama. Pak Haris sepertinya sangat menghayati.
"Pak." Pak Haris menoleh, menutup bukunya.
"Hei, belum balik lu?"
"Belum nih." Distian terdiam sejenak. "Gue mau nitip sesuatu."
"Apa tuh?"
Distian menarik Yuni yang sedang berdiri di belakangnya. "Nih."
"Yah gue kira juga apa." Distian tersenyum.
"Kalau ada cowok yang nyariin Dia, ciri-cirinya itu .... Dia gak lebih ganteng dari gue. Pukul aja pake ini."
Ia menyodorkan balok yang sedari tadi ia genggam di tangan kirinya. Pak Haris menerimanya dengan penuh kepercayaan.
"Oke bossku." Yuni tertawa kecil.
"Kenapa?"
"Gak."
"Kalau gitu gue balik, lu disni aja, dia gak bakal nyamperin lu lagi kok."
Distian melepas genggamannya, berjalan ke arah motornya yang tidak jauh dari pos satpam, ia sempat membunyikan klakson sebelum menghilang di kejauhan.
Yuni duduk bersebelahan dengan Pak Haris, balok yang tadi Distian titipkan padanya bersandar di kaki kursinya.
"Nunggu jemputan yah?" tanya Pak Haris.
"Iya Pak."
"Kenapa gak balik sama Distian aja?"
"Dia-dia gak mau Pak." Pak Haris terkekeh.
"Emang rese dia." Yuni membenarkan. "Tapi dia baik, dia itu bisa dibilang teman cerita saya. Buku ini," Pak Haris mengangkat buku yang tadi di bacanya, "Dia yang minjemin ke saya, yah katanya buat ngisi waktu."
Sebuah mobil menghampiri, jendela mobilnya terbuka, Fikar menatap Yuni dari dalam sana.
Pak Haris teringat perkataan Distian, kalau Distian memang lebih ganteng daripada cowok yang menatap tajam Yuni dari dalam Mobil, Pak Haris merogoh balok yang bersandar di kaki kursinya, menatap Fikar dengan muka masam.
Fikar menutup jendela mobilnya perlahan. Mobilnya pun menghilang di kejauhan.
"Putus yah," tanya Pak Haris, saat merebahkan dirinya di kursi.
"Eh," Yuni tersenyum masam," gak Pak, dia bukan pacar saya."
"Ooooh."
Sebuah mobil berhenti di depan pagar sekolah, mobil yang berbeda dengan mobil Fikar. Pak Haris memerhatikan seseorang yang sedang menatap ke arah Yuni.
"Itu bukan Bapak kamu?" Yuni menoleh, senyumnya terlukis begitu indah saat melihat ayahnya melambaikan tangan. Ia lega.
"Saya duluan yah Pak, makasih yah," ucapnya sembari menyalim tangan Pak Haris.
"Iya sama-sama."
****
Distian masuk ke dalam sebuah rumah, bukan rumah yang biasa ia tinggali.
Rumahnya sederhana, dengan halaman kecil yang tak begitu luas, garasi di sisi kanan rumah kemudian teras.
Ia masuk tanpa mengetuk, membuka pintu, decitan pintu menggema di ruangan yang sunyi itu. seseorang berjalan keluar dari arah dapur. Seorang wanita paruh baya.
"Dis?" sapa wanita itu dengan senyum hangat.
"Tante." Balasnya, menghampiri wanita itu kemudian menyalaminya dengan penuh sopan santun.
"Bapak mana, Tante?" Matanya melihat sekeliling tak menemukan sesuatu yang ia cari.
"Biasa, keluar dia."
Matanya terlihat lelah, mungkin akhir-akir ini ia kurang tidur, tubuhnya semakin kurus tiap kali Distian datang berkunjung.
"Tante gak apa-apa?"
Wanita itu tersenyum. "Gak kok, sini masuk. Tante masakin makanan kesukaan kamu, ada ikan mujair, sayur kangkung di campur pete, sambel lalap juga ada."
Mereka berjalan masuk ke dapur, makanan itu sudah tersusun rapi di meja makan, Nasi nya masih mengeluarkan kepulan asap hangat. Tanpa basa-basi lagi Distian meletakkan ranselnya, mengambil piring, menyendok nasi, mengambil lauk-pauk dan menyantap makanannya dengan lahap.
"Tante gak makan?"
"Nanti aja, kamu makan aja dulu, Tante mau beberes dulu." Wanita itu melanjutkan tugasnya sebagai seorang istri, walaupun dia Ibu tirinya.
Distian selalu bersikap baik kepadanya, begitupun sebaliknya. Dulu wajahnya terawat begitu cantik, sekarang kecantikan itu memudar. Seolah beban bertengger begitu banyak di pundaknya, sesekali Distian menatap wanita itu, merasakan bebannya.
Matanya tergenang, hampir , ia mencoba menahannya. Tenggorokannya perih menahan rasa pedih. Distian melahap makanan yang sedap itu. Air mata itu tak terbendung lagi, ia menangis tanpa suara. Suapan demi suapan makanan masuk ke dalam mulutnya, bersamaan dengan tetesan air mata.
Ia menyantapnya dengan penuh rasa, makanannya begitu enak, meredam sedikit demi sedikit perasaan pedih.
Setelah menghabiskan makanannya, Distian permisi pulang. Distian tidak tinggal di rumah Bapaknya, melainkan di rumah Tante Zelda. Ia berpesan agar Tante Ica yaitu Ibu tirinya agar menjaga kesehatannya.
Sesampainya di rumah, baru saja Distian melangkahkan kaki ke dalam, Ara sudah berlari memeluknya. Distian menggendong tubuh mungil sepupunya itu ke dalam, menurunkannya kembali di sebelah ibunya.
"Makan gih," kata Tante Zelda.
"Udah tadi."
"Di mana?"
"Di rumah bapak, Tante Ica masak banyak tadi," jelasnya.
***
Petang menyambar dengan cepat, tak lama berselang gelap mulai menyusul. Yuni berbaring di kamarnya, perasaannya kini bebas, tidak terperangkap lagi oleh rasa tidak nyaman.
Distian mulai bermunculan di kepalanya, pertanyaan-pertanyaan yang harusnya tak pernah ada sekarang bersarang di benaknya.
Ia kenal dengan Distian sejak kelas 10, bukan hanya karena mereka memang sekelas sejak setahun yang lalu, tapi karena desas-desus yang beredar tentang Distian, tak ada yang baik, banyak orang yang mencoba menghindarinya sejauh mungkin, Yuni pernah merasakannya, ia bahkan menangis sendiri di dalam kamar mandi sekolah hanya karena di bentak oleh Distian saat presentasi. Sejak kecil Yuni tidak pernah mendapatkan perlakuan keras dari Ayahnya.
Ia sangat tidak suka di bentak, tanpa ia sadari air mata akan berjatuhan jika seseorang meneriakinya dengan kasar.
Hatinya lemah, begitu lembut. Ia selalu memikirkan orang lain di banding dirinya sendiri, ia selalu mendahulukan orang lain di banding dirinya sendiri. Rasa belas kasih dan juga simpati nya selalu melekat erat. Karena sikap itu Yuni di sukai banyak orang.
Seingatnya ia hanya bertukar sapa dengan Distian hanya beberapa kali saja, Distian bahkan masih sering lupa dengan namanya, atau tidak menukarnya dengan nama orang lain. Tapi entah kenapa Distian seolah berjalan ke arahnya, walaupun dengan cara yang tidak baik sama sekali, dia kasar, tak berempati, hanya memikirkan dirinya sendiri, semena-mena, temperamen. Hanya itu yang Yuni tahu tentang Distian.
Namun, sejak kejadian seminggu yang lalu, saat suasana romantis yang dalam waktu hitungan detik berubah menjadi suasana perang.
Yuni sadar, Distian membantunya saat itu, hanya saja dengan cara yang sangat berbeda, bukan dengan masukan atau motivasi-motivasi yang di susun dengan kata-kata indah yang begitu bermoral dan berisi, tapi dengan kenyataan yang pahit, ucapan yang pedas, tak berperasaan. Tapi menunjukkanmu arti bebas sebenarnya. Sekarang ia terbebas dari belenggu Fikar, belenggu rasa tidak enaknya kepadanya dan katidakjujurannya hanya karena tidak ingin menyakiti perasaan orang lain.