4 Meriam Di Tengah Pesta

"Teman-teman lu ke mana?" Yuni menutup buku yang sejak tadi dia baca,

"Kantin."

"Kenapa gak ikut?"

"Lagi males aja, kenapa?"

"Cowok alay lu ke mana?"

Wajah Yuni berubah seketika, "Dia tuh punya nama yah Dis."

"Cie di belain." Kata Distian sembari tertawa kecil dengan nada mengejek. "Kenapa?"

"Kenapa apa?"

"Kenapa lu gak suka sama dia."

"Yah karena emang gak mau,"

"Kenapa gak mau?" Distian melipat kedua lengannya di atas meja, mencondongkan sedikit badannya ke depan.

"Yah, karena---"

"Karena lu lesbi," potong Distian, Yuni membelalak. Ia bahkan tidak sempat berkata-kata.

"Jadi lu lesbi yah,"

"Gak lah,"

Distian bergumam."Udah pernah pacaran?" Yuni mengalihkan pandangannya.

"Gue sumpahin lu bisu,"

"Jangan dong."

"Jawab makanya."

Ia diam sejebak.

"G-ga-gak pernah," jawabnya terbata-bata dengan suara yang kurang jelas, Distian memiringkan sedikit kepalanya.

"Apa?"

"Gak pernah."

"Berarti lu emang lesbi,"

"Ih gak Dis!"

Distian teringat sesuatu, ia kembali ke tempat mengeluarkan pulpen dari dalam tasnya kemudian kembali ke tempat Yuni.

"Nih gue balikin, kemarin-kemarin gue lupa, padahal 3 hari yang lalu gue bilang bakal ngembaliin."

Yuni mendorong pelan tangan itu.

"Udah ambil aja," kata Yuni lembut dengan senyum terpapar di wajahnya.

Distian menatapnya beberapa saat, ada sesuatu terbesit dalam dirinya, sesuatu yang menenangkan, membuang sebagian pahit yang selama ini menggenang, mencipratkan kotoran-kotoran yang amat susah ia bersihkan. Senyum itu, senyuman cewek pendek dengan perawakan mungil, rambut panjang mengkilap, wajahnya yang bersih dan natural meredam sesuatu yang selama ini terus menerus mengganggu.

Fikar memasuki kelas, Yuni mendapati sosok yang di kenalnya berjalan ke arahnya saat ini. Distian menoleh setelahnya, ia mundur beberapa langkah. Fikar sempat melempar senyum kepadanya. Distian hanya menatapnya datar.

"Yun, kantin yuk?" ajak Fikar. Yuni mengaduk otaknya, mencoba memikirkan alasan.

Ia bergumam. "Maaf yah Fik, aku lagi gak enak badan." Bukannya kecewa, mimik wajah Fikar berubah khawatir.

"Kamu gak sakit apa-apakan? Kamu demam?" sembari memegangi kedua pundak Yuni.

Distian mendengus jijik, suaranya bahkan terdengar jelas di telinga Fikar dan Yuni.

Fikar menoleh menatap Distian yang saat ini sedang menutup mulutnya dengan tangan kanannya agar tidak tertawa, saat melihat kelakuan kedua orang itu di depan matanya.

"Kenapa bro?"

Distian menurunkan tangannya perlahan, terlihat ia masih menyeringai jijik.

"Gak, sorry ganggu." Ia pun beranjak keluar dari kelas, Fikar menatapnya tajam, Distian menoleh ke belakang menatap Fikar dengan tatapan dan senyum sinis.

Pada akhirnya Yuni tetap menolak ajakan Fikar dengan sopan. Tak berselang lama setelah itu, teman-temannya datang membawa sekantong cemilan.

***

Jemarinya yang panjang membuka halaman demi halaman novel yang sedang ia baca di pos satpam, dia tidak sendiri, seperti biasa Pak Haris selalu ada di sampingnya. Namun ada yang berbeda dari Pak Haris, biasanya sepuntung rokok melekat erat di sela-sela jemarinya. Sekarang tidak lagi, ia menggenggam sebuah buku. Dia terlihat membacanya dengan seksama, Distian yang meminjamkannya, sebagai pengisi waktu luang.

Menurut Pak Haris ide itu tidak buruk sama sekali untuknya. Keduanya fokus membaca buku mereka masing-masing, tak disadari waktu sudah berlalu 30 menit, bel sekolah berbunyi, bunyinya yang menggema seolah menarik Distian dengan paksa, dia berpamitan dengan Pak Haris. Setiap dia berjalan melewati manusia-manusia ini, dia selalu merasa muak.

Muak dengan kepalsuan mereka, lelah dengan tingkah laku mereka, membangun hubungan, persahabatan, pertemanan, bagi Distian itu hal yang memuakkan.

Baginya, pada akhirnya kau akan berpisah, sekuat apa pun kau membentangkan jala agar tidak ingin terlepas namun di ujung waktu.

Kau, dia juga mereka akan berjalan di jalan yang berbeda, bertingkah seperti orang asing.

Padahal kau, dia dan mereka pernah sedekat urat leher. Tak ada yang bertahan lama, bahkan hidup manusia memiliki batas, untuk apa menghabiskannya hanya untuk mendapatkan kepuasan sementara, menjalin hubungan hanya akan menambah masalah saja, terlalu merepotkan.

Dia tidak peduli dengan orang lain, orang akan menganggapnya seperti apa, persetan dengan mereka. kau ingin membentuk sebuah pola mungkin dia akan memberimu sedikit cela, tapi tidak dengan hubungan, terlalu berisiko.

Hanya akan membuang waktu dan tenaga saja untuk sesuatu yang tidak perlu. Distian hanya ingin melakukan yang secukupnya saja, tidak berlebihan, tetap pada takarannya, dengan cara ini dia hidup.

Dari jauh terdengar jelas di telinganya, kelasnya begitu berisik, bahkan dengan jarak kejauhan seperti ini, Distian bisa mengenali suara-suara yang menggema di udara sekarang ini. Dia masuk, menarik-narik daun telinganya.

Dia melihat ke arah meja guru, tidak ada seseorang dengan seragam coklat duduk dengan rapi di sana. Matanya tertuju pada seseorang, sebuah object yang tidak seharusnya duduk manis disana, Fikar.

Yah, Distian mulai muak harus melihat tampang keparatnya tiap saat di kelas ini, baginya sudah cukup dengan wajah-wajah yang dia lihat selama setahun terakhir. Yuni menyadari kedatangan Distian, dia menoleh, lagi-lagi pandangan mereka bertemu.

Yuni terlihat menikmati tiap bait bacotan yang diucapkan Fikar dari mulut keparatnya, dia tersenyum, tertawa, dari mata Distian. Dia terlihat sangat menikmati waktu berbincang dengan cowok itu. Tapi sesuatu yang berbeda sedang tenggelam jauh di dasar sana.

Fikar sudah meninggalkan kelas Distian sejak 45 menit yang lalu. Bel berbunyi, mereka meninggalkan kelas masing-masing, saat mereka sedang berdesak-desakan di pintu, Yuni mencoba mencari jalan agar cepat keluar dari kelas.

Tiba-tiba sebuah tangan menarik paksa ranselnya dari belakang, Yuni mundur beberapa langkah, dia mencoba melangkah maju. Namun tangan itu kembali menariknya. Ia berbalik ke belakang, emosinya sudah tidak tertahan lagi. Saat melihat wajah pelaku, dia mengurungkan niatnya. Dia tetap memaksa melangkah maju namun lagi-lagi tangan itu menariknya, hingga menyisahkan mereka berdua di dalam kelas.

"Apa sih Dis?" kata Yuni dengan nada tinggi, Distian melepaskan tangannya dari ransel Yuni, Yuni berbalik menghadap Distian, ia harus mendongkak agar tatapan tajamnya terlihat jelas di mata Distian.

"Kenapa gak to the point aja." Lagi-lagi Distian memulai tanpa pembuka.

"Maksudnya?"

"Kenapa harus nyiksa diri sendiri demi ngedengerin bacotannya dia,"

"Maksudnya apa sih Dis," Yuni benar-benar bingung,

"Kenapa gak jujur aja sama cowok alay lu itu, kalau lu gak punya perasaan sama dia." Yuni terdiam, ia menunduk, kemudian perlahan mendongkak, bibirnya hendak mengucapkan sesuatu.

"Karena penghargaan!!!?"

Yuni sempat kaget mendengar perubahan nada suara Distian, dia mengangguk.

"Jalan," kata Distian, Yuni terdiam bingung. "Jalan, budek lu!"

Yuni melihat sekeliling, dia baru sadar, ternyata benar hanya ada mereka berdua di dalam kelas. Cepat-cepat dia berjalan keluar, Distian menyusulnya di belakang. Yuni memperlambat langkahnya, benaknya bertanya-tanya.

"Lu bisu yah," ujar Distian yang sedang berjalan di sampingya dengan langkah selaras.

"Gak lah,"

"Terus kenapa diam aja?"

"Yah gue mau ngobrolin apa juga."

"Gak mau curhat gitu tentang cowok alay lu," kata Distian dengan tawa sinis.

"Dis!!!"

"Apa?" jawabnya mengejek.

Keduanya berjalan melewati kelas-kelas, satu dua orang melewati mereka di lorong sekolah.

"Sulit?"

"Iya."

"Kan tinggal bilang doang,"

"Tapi ini beda."

"Beda gimananya?"

"Beda Dis." Yuni menoleh ke arahnya dengan tatapan putus asa.

"Mau gue contohin," ujarnya, seorang cewek berjalan dari arah berlawanan. "Oi," panggil Distian ke cewek itu. "Kata dia, lu jelek."

Yuni sontak kaget, ia barulang kali meminta maaf kepada cewek itu, cewek itu hanya tersenyum tidak terlalu memperdulikan, kemudian berlalu pergi.

"Apa-apaan sih!!!" ucap Yuni kesal, ia melayangkan tinjunya ke lengan Distian. Distian mengelak.

"Gampang kan?"

"Gak gitu caranya Dis, gimana kalau orang tadi tersinggung, sakit hati dengan perkataan yang lu anggap becandaan doang, hati orang beda-beda Dis, kita gak tau apa yang mereka rasain."

"Di dunia yang kek gini, gak ada gunanya mikirin perasaan orang yang belum tentu mikirin perasaan lu."

Sebagian kebenaran dari kalimat itu membungkam Yuni. Distian meninggalkannya sendiri, perlahan punggungnya mulai menjauh, menjauh meninggalkannya yang masih berdiri terdiam gagu.

***

Yuni melepas sepatunya, meletakkannya dengan rapi di rak sepatu, pintu rumah sudah terbuka sejak ia sampai. Tapi, hening, tak ada suara dari dalam. Yuni mengetuk pelan, mengucapkan salam.

Berjalan melewati ruang ramu dan juga kamarnya, ia mendapati Lisa sedang duduk menonton TV, rok sekolahnya belum ia ganti, bajunya tergelatak di sofa, tasnya dan juga kaus kakinya bergelantungan di sandaran sofa. Yuni mendengus malas.

"Nanti di marahin loh, kalau mama pulang kantor ngeliat barangmu berantakan di sofa kayak gitu."

Lisa menoleh menatapnya dengan datar kemudian kembali memfokuskan pandangannya ke arah TV tanpa sepatah kata pun.

***

Distian membuka pintu yang masih terkunci, tak ada siapa-siapa di rumah, Tante Zelda dan Om Sul belum pulang dari rumah sakit, Ara mungkin ikut dengan kedua orangtuanya atau mungkin sekarang sedang asyik bermain di rumah Tante Ani.

Ia meletakkan ranselnya di ranjang, melonggarkan dasinya, berjalan ke dapur, mengambil piring dan makan dengan lahap, sendiri, seperti biasa. Setelah mengisi perut, ia melepas seragam sekolahnya, mengganti pakaiannya.

Mengambil novel yang belum selesai ia baca, lima belas menit berlalu, rasa kantuk mulai berangsur-angsur membuat kedua kelopak matanya tertutup perlahan.

***

Yuni, berbaring dengan tenang di kasurnya yang nyaman, lampu menyinari kamarnya yang rapi dengan terang, boneka di mana-mana, hampir semuanya berwarna pink dan biru.

Kamarnya begitu rapi, buku, baju, bahkan peralatan makeupnya tertata dengan rapi.

Suara ketukan pintu terdengar, ia cepat-cepat bangkit, membuka pintu kamarnya dengan tergesa-gesa, langkahnya terhenti saat melihat Ayahnya sudah lebih dulu berjalan ke pintu.

Terlihat sosok Aini di balik pintu. Aini menyalami Ayah Yuni dengan sopan sebelum di persilahkan masuk, Yuni berseru menyapa kemudian berlari kecil menyambut sahabatnya itu.

"Jadi nginap kan?" tanya Yuni penuh harap, Aini terdiam sejenak kemudian mengangguk mengiyakan.

Yuni menyeretnya ke dalam kamar.

"Jadi gimana Yun?" Yuni menaikkan alisnya bingung. "Fikar, gimana perkembangan kalian berdua." Yuni tersenyum menggeleng. "Kenapa sih Yun, dia udah baik banget loh," ucap Aini, sedikit kecewa, Yuni hanya menatapnya tanpa balasan. "Sejak kita kelas 10 loh Yun, dia udah ngedeketin lu dari tahun lalu."

"Gak bisa Aini."

"Gak bisa gimana?"

"Gue gak ada rasa."

Aini sedikit shock mendengar jawaban Yuni, sebelumnya ia tidak pernah memberi jawaban seperti itu, terkadang ia hanya terdiam atau menghindari pertanyaan atau hanya menjawab 'gak apa-apa'. Kali ini Yuni terlihat begitu jujur dengan perasaannya.

"Terus kenapa gak bilang aja?"

"Sulit Aini, tiap gue mau ngucapin kata itu sulit banget bagi gue, selama ini gue ngerespon dia karena gue berusaha numbuhin rasa. Tapi gak bisa. Gak ada rasa apa-apa." Hatinya seolah merintih. Memohon cinta agar didatangkan ke hatinya.

"Terus sekarang gimana?" Aini sedikit mendekat ke arah Yuni, terlihat sahabatnya itu begitu dilema, di genggamnya kedua tangannya erat-erat.

Yuni menaikkan kedua pundaknya, sungguh dia tidak tahu harus seperti apa.

"Gue denger, lu akhir-akhir ini katanya sering ngobrol sama Distian Yun?" Yuni mendongkak menatap sahabatnya itu.

"Iya."

"Yun, dia tuh gak sehat buat lu," kata Aini dengan nada memperingati, "Lu sama Distian tuh berbanding terbalik tau gak, lu punya banyak teman, dia? Sejauh ini gue liat di cuman ngobrol ama dua orang goblok di kelas sama si langganan ruang BK, lu punya banyak teman yang peduli sama lu Yun, dia gimana? Dia gak hadir aja kita udah senang setengah mati. Lu kalau ngomong lemah lembut, sopan, ngehargain perasaan orang. Dia? dia caci maki kita depan umum aja gak ragu, dia kalau ngomong pernah gak mikirin perasaan kita? Gak kan. Gue khawatir sama lu Yun, gue cuman mau lu senang."

"Distian kan gak ngedeketin gue," jawab Yuni. Aini memutar bola matanya.

"Intinya lu jauh-jauh deh sama dia." Yuni mengangguk.

***

Mereka berempat kembali ke kelas, setelah melepas rasa lapar, Asdar dan Topik berjalan beriringan, begitupun dengan Distian dengan Armin. Asdar dan Topik selalu tertawa entah sedang menertawakan apa, Armin berceloteh sedangkan Distian sebagai pendengar. Dari kejauhan terlihat di depan kelas mereka begitu ramai. Mereka berempat saling menatap, bertanya-tanya.

Ketiga orang itu berlari dengan cepat menuju ke arah kelas mereka, sedangkan Distian bertahan dengan langkah santainya, lagi pula dia tidak peduli dengan apa yang terjadi di sana.

Ketiga orang itu sudah tidak terlihat lagi, Distian yakin mereka menerobos masuk ke garis depan, Distian tidak tahu ada apa di balik punggung orang-orang ini. Suara riuh terdengar dari dalam. Distian mencoba masuk tapi terlalu banyak punggung yang menghalangi.

"Oi," seru Distian, 3 dari mereka menoleh, "Ini kelas lu gak?"

"Bukan."

"Kalau gitu minggir, ini kelas gue."

"Oh sorry," ketiga orang itu memberi jalan, mencolek teman-temannya yang berada di depan agar memberi jalan.

Distian akhirnya sampai di baris depan, banyak orang yang berkumpul hingga sudut ruangan.

Lagi-lagi wajah keparat itu muncul di tengah-tengah keramaian, berdiri dengan bangga dengan sebuket bunga di genggamannya, Yuni berdiri berhadapan dengannya. Distian menghela napas, wajahnya terlihat mual dengan pemandangan ini, dia tahu bakal seperti apa adegan ini 5 menit kemudian.

Fikar berjalan mendekati Yuni, langkahnya terhenti, jarak 1 meter memisahkan mereka, Fikar berlutut, menyodorkan sebuket bunga kepadanya.

Distian benar-benar harus menahan rasa mualnya di situasi ini.

"Kamu mau gak, jadi pacar aku." Seketika sorakan terdengar, banyak kaum hawa yang sedang menonton terlihat luluh dengan adegan yang mereka saksikan saat ini. Yuni tersenyum, tapi tak ada jawaban, ia bimbang, dilema, bingung.

"Jawab, jawab, jawab!" Seseorang menyerukan kata itu, perlahan semua orang di dalam ruangan persegi itu berseru bersama-sama.

Yuni, panik, bingung, terperangkap. Tak ada yang bisa ia lakukan, tidak mungkin ia menolak cowok yang sedang membungkuk di depannya ini di tengah-tengah situasi seperti ini.

"Jawab, jawab, jawab, jawab!" seruan itu mulai menggema dengan keras, Yuni masih terdiam, terdiam, terdiam.

"Yun?" seru Fikar di tengah-tengah sorakan itu.

"Jawab aja kali kalau lu gak suka sama dia." Kalimat itu perlahan menenangkan suasana, sorakan perlahan mereda, perlahan-lahan terdiam kemudian hening.

Suaranya tidak teralu keras, tidak terlalu pelan. Namun, terdengar jelas oleh orang-orang yang sedang berdiri di dekatnya. Yuni bahkan mendengar kalimat itu di tengah-tengah suara sorakan yang menggema. Fikar masih berlutut, ia menoleh ke arah Distian, begitu pun Yuni.

"Dis," seru Yuni, tatapan matanya seolah menyuruhnya diam, wajahnya seolah berkata, lihatlah keadaan. Tatapan Distian berkata lain, ia sudah muak.

"Bilang aja kalau lu gak suka sama dia, susah banget." Dia mengucapkan kalimat itu dengan enteng, di tengah keramaian, di pusat suasana romantis yang baru saja di tenggelamkan paksa.

Fikar berdiri, wajahnya merah padam. Suasana romantis yang membalut ruangan ini hilang seketika.

"Maksud lu apa!!!?" tanya Fikar dengan nada tinggi, suasana berubah tegang.

"Budek lu," kata Distian sembari mengarahkan telunjuknya ke telinganya. "Dia gak suka sama lu."

"Distian!!!!" seru Yuni, kali ini dengan suara yang lebih keras.

Distian menoleh ke arahnya, Fikar menoleh setelahnya, memandang Yuni dengan penuh pertanyaan. Mengharapkan jawaban. Nihil. Yuni terdiam kaku.

"Sampai kapan lu mau ngasih dia harapan kalau emang gak ada yang bisa dia harapkan!!!" bentak Distian, Yuni tersentak kaget dengan suara Distian.

Perkataannya benar, apa yang dikatakan Distian benar. Yuni menunduk, tak bisa berkata apa-apa. Di sisi lain, Fikar mengepalkan tangannya dengan keras, siap melayangkan tinju ke arah Distian.

"Berani banget lu yah, ngebentak cewek gue!

"Lu diterima aja belum."

Kalimat itu membuat emosinya memuncak.

"Anjing lu yah!"

"Babi lu," balas Distian.

Fikar melayangkan kepalannya, tiba-tiba tiga orang dari belakang menahan amukannya, Asdar, Topik dan Armin melompat ke arah Distian entah dari mana, mereka bersiap siaga menunggu Fikar maju ke hadapan mereka.

Fikar memberontak di sebalah sana, meronta, teman-temannya menahannya sekuat tenaga. Yuni berdiri kaku, semuanya kacau, kepalanya mulai terasa pusing. Otaknya tak bisa lagi memproses kekacauan ini.

Di hadapannya Fikar meronta, bunga yang indah itu kini tergeletak di lantai, hancur terinjak-injak.

Keindahan bunga yang memudar itu seolah menggambarkan keadaan Yuni sekarang. Ia menatap Distian lirih, Distian sedang berdiri dengan tenang, menatap Fikar yang sedang membabi buta, tanpa ekspresi, kekosongan terlihat jelas di matanya, rasa takut dan panik pun tidak tergambarkan. Malah ketiga orang yang sedang berdiri membentuk barikade untuknya yang terlihat panik.

avataravatar
Next chapter