Sudah sepekan Kang Sugi menginap di rumah sakit. Kukatakan menginap karena sebenarnya dia tidak sakit, kalau sakit kan dirawat. Dia di sana juga diinfus dan diberi obat antibiotik, tapi tubuhnya tidak sakit apa-apa, hanya tidak mau makan dan minum.
Setiap hari Mamak Mun meminta ibuku memberi makan ayam-ayamnya, mengambil telur ayam itu, lalu menjualnya di Yu Marti. Kalau Bapakku di sela mengurus sawahnya sendiri, beliau kebagian tugas untuk ikut mengurus sawah Kang Sugi, apalagi sebulan lalu baru saja panen dan baru saja tanam benih padi, jadi harus sering-sering ditengok.
Kalau Budhe Tutik, tugasnya adalah memasak. Sedang aku, setiap berangkat sekolah dari mampir ke rumah sakit dulu mengantar sarapan untuk Mamak Mun, dimana jarak rumah sakit dengan sekolahku adalah lima kilometer.
Hari ketujuh melakukan itu, rupa-rupanya lama-lama kami gerah. Kalau aku sebenarnya, enjoy saja. Pak Dhe Ramlan yang paling gencar protes. Malam ini beliau dan istrinya datang ke rumahku dengan wajah bersungut-sungut.
"Kita paksakan saja pulang, makin lama makin tak karuan urusan semua orang dibikin Sugi." Kakak tertua ibuku itu berkata dengan geram. "Seperti anak kecil saja dia merajuk. Toh, itu bukan salah kita, salah dia sendiri yang berharap."
Mendengar itu, rasanya hatiku ikut sakit. Aku tahu ini salah Kang Sugi, tapi aku yakin Kang Sugi sendiri tidak ingin dan tidak berniat berakhir seperti ini. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya mendengarkan saja. Bapak Ibuku yang ikut terbawa geram oleh Pak Dhe.
"Iyo, Kang. Apalagi yang direpotkan itu bukan Mamaknya sendiri. Kita juga ikut repot. Aku pun setiap sebelum berangkat ke sekolah harus menengok rumahnya, melihat ayam-ayamnya, membersihkan kandang, dan menyapu lantainya." Kata ibu ikut berapi-api. Aku paham, ibuku mungkin capek, ini memang sudah keterlaluan.
"Apalagi biayanya itu lho." Tambah Bu Dhe Tutik.
Bapakku hanya diam saja, memperhatikan dua bersaudara beradu argumen. Aku yang juga duduk diantara mereka juga hanya diam.
"Ya sudah, besok aku jemput, mau tak mau harus pulang. Nanti kalau tetap tidak mau makan pasti akan tetap mau, masak mau mati dia."
Aku sedih mendengar kalimat Pak Dhe ku, seperti sama sekali tidak ada rasa empati. Dan ini memang yang sering terjadi di lingkungan desa kami. Jarang orang mau menjaga perasaan orang, bicara sesukanya, terserah mau menyakiti atau tidak. Orang yang sakit hati disebut baperan. Aku juga maklum sih, pengetahuan mereka tentang kesehatan mental memang masih terbatas.
Dan benar, hari ini, pagi setelah sarapan Bapakku langsung cabut ke rumah Pak Dhe Ramlan. Katanya mereka sudah janjian hendak menjemput paksa Kang Sugi dari rumah sakit.
"Bu, aku boleh ikut tidak?" Tanyaku pada ibu yang hari itu masih sibuk di dapur, beliau sedang menyangrai kopi.
"Tanya Bapakmu, susul sana!" Jawab ibu cepat. Aku juga cepat-cepat bangkit dari kursiku dan meninggalkan meja makan yang kotor begitu saja.
Dengan sepeda motor, aku menyusul Bapak ke rumah Pak Dhe. Dan rupanya, mereka sudah naik ke mobil dan siap berangkat.
"Ada apa?" Tanya Bapak melongokkan kepala dari jendela mobil yang terbuka, begitu melihatku datang.
"Aku mau ikut, Pak." Jawabku. Aku ingin membela Kang Sugi jika semua orang memojokkannya, itulah niatku. Aku kasihan dengan Kang Sugi.
"Buat apa, Nduk?" Tanya Bapak lagi, aku terdiam.
"Ya sudah, naik-naik." Kata Pak Dhe Ramlan dari balik kemudi.
Aku segera menaikkan sepeda motorku ke atas teras rumah Pak Dhe, dan berlarian menuju mobil. Bapak duduk di depan, di sebelah Pak Dhe yang menyetir, aku duduk di bangku nomer dua sendirian karena Bu Dhe Tutik tidak ikut.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Pak Dhe terus berkeluh kesah tentang Kang Sugi, padahal Bapakku yang diajak bicara tak begitu merespon. Bapak tidak suka ghibah, beliau tipe yang kalau tidak suka isi pembicaraan maka akan banyak diam, sama sepertiku. Meskipun begitu, Pak Dhe tetap semangat mengomentari Kang Sugi.
"Sugi itu cara mikirnya terlalu tinggi. Makanya saat dia jatuh, ya benar-benar kebanting. Makanya to, jadi orang harus sering-sering ngaca, dia itu pantasnya sama siapa."
Aku lebih memilih bermain handphone daripada mendengarkan ceramah tidak bermanfaat itu. Tak lupa, aku kabari Kang Sugi, agar dia menurut saja diajak pulang.
Sesampainya rumah sakit, kami semua langsung menuju kamar rawat inap. Kang Sugi sedang tidak ada di kamar, hanya ada Mamak Mun. Kemarin beliau bilang tidak usah diantar makanan karena ingin makan nasi rames beli di kantin rumah sakit. Dan sekarang, saat kami datang, beliau sedang makan.
"Mun…mana anak laki-lakimu?" Pak Dhe langsung berkata seperti itu ketika masuk, tidak salam, tidak permisi dulu. Aku tetap salam. Mamak Mun menjawab salamku dulu, baru menjawab pertanyaan Pak Dhe Ramlan.
"Di taman, Kang. Cari udara segar katanya."
"Cari udara segar? Hallaah, cari udara segar ya di sawah, di rumah sakit mana ada segar-segarnya."
Mamak Mun langsung terdiam, kulihat beliau sudah tak berselera meneruskan makanannya yang masih tersisa separuh. Aku mendekati beliau untuk memberikan dukungan.
"Dhil, panggil Kakangmu." Kali ini Bapakku yang bicara, aku segera mengangguk dan berjalan keluar.
Awalnya aku langsung ke taman rumah sakit seperti kata Mamak Mun. Tapi rupanya Kang Sugi sudah tak ada di sana. Aku lalu terus berjalan ke arah yang lain, menelusuri setiap koridor rumah sakit. Aku menuju kantin, barangkali Kang Sugi ingin makan.
Tapi dari beberapa orang yang makan di kantin, atau sekedar duduk-duduk minum kopi, tidak ada Kang Sugi di sana. Lagian, akan aneh juga rasanya pasien dengan infus makan sendiri di kantin, kelihatan kalau tidak sakit.
Aku cara di depan rumah sakit, di mana ada taman kecil dengan kolam ikan koi. Tapi Kang Sugi juga tidak ada di sana. Aku mulai panik, kemana kira-kira perginya Kang Sugi. Aku mulai berpikir jangan-jangan Kang Sugi kabur. Karena hampir di setiap tempat di rumah sakit ini sudah kudatangi dan dia tidak ada di sana.
Aku berjalan lunglai hendak kembali ke kamar rawat inap. Dan entah, ketika berpapasan dengan petugas kebersihan yang sedang menyapu lantai, aku kepikiran untuk bertanya, barangkali tadi Kang Sugi lewat sini.
"Permisi Mas, lihat pasien laki-laki berjalan sendirian bawa infus nggak? Badannya tinggi besar?" Tanyaku pada petugas itu. Dia tampak berpikir sebentar. Lalu mengangguk.
"Lihat tadi sepertinya." Jawab petugas itu dengan masih mengingat-ingat.
"Kemana dia berjalan, Mas?"
"Sepertinya ke arah sana, Mbak."
"Makasih, Mas."
Aku berlarian menuju arah yang ditunjuk petugas kebersihan tadi. Dan dari jauh, aku sudah bisa melihat. Kang Sugi sedang duduk bersandar pada tiang penyangga, tiang infus berdiri di sampingnya. Dia sedang menerawang ke arah luar, di teras masjid.