webnovel

#6 Aku

Sepanjang mengajar, rapat dengan dewan guru, makan siang di kantor, aku terus kepikiran tentang nasib Kang Sugi. Sebenarnya, cukup memalukan jika patah hati saja bisa sampai masuk rumah sakit. Kang Sugi seingatku tidak pernah secemen itu.

Dulu, Kang Sugi juga pernah suka dan pacaran dengan seorang perempuan. Namanya Alya, orangnya menurutku juga sangat cantik, selera Kang Sugi memang cukup tinggi untuk perempuan. Dia seorang guru di sekolah tempat ibuku mengajar. Kang Sugi juga sangat mencintainya, dan mereka putus karena yang perempuan pindah tugas ke Kalimantan. Kang Sugi juga sempat patah hati, tapi beberapa hari kemudian dah biasa saja lagi, tidak sampai terpuruk apalagi masuk rumah sakit seperti sekarang.

"Bu Dhila, ini tugasnya anak-anak, sudah saya koreksi, tapi nilainya masukkan sendiri, nggih." Kata Pak Awal, Guru Bahasa Indonesia mengagetkanku.

Aku memang wali kelas, jadi saat akhir tahun ajaran seperti ini, guru bidang studi menyetorkan nilainya padaku untuk diakumulasikan menjadi satu. Jadi tugasku lumayan menumpuk, selain itu ada tugas mata pelajaran yang kuajarkan, yaitu Bahasa Inggris.

Baru saja aku mulai konsentrasi menggarap nilai murid-muridku, ibuku menelepon.

"Dhil, nanti sepulang dari sekolah ke rumah sakit ya. Belikan Kakangmu es degan, katanya pengen es degan dan Mamakmu tidak bisa keluar untuk beli."

Kang Sugi selalu saja aneh-aneh, dari dulu kalau sakit memang minta yang tidak-tidak, sakit tifus minta makan rujak buah, padahal sana dokter dilarang. Sekarang, sedang demam, minta es degan. Kalau tidak dituruti, pasti tidak mau makan. Aku mendengus kesal sendiri.

"Kenapa?" Tanya Pak Awal, mungkin dia melihat wajahku yang mengkerut kesal.

"Kang Sugi aneh-aneh saja, dia minta dibelikan es degan, lagi demam tinggi kok minta es, kan bikin yang lain senewen."

Lalu kuceritakan pada Pak Awal bagaimana mulanya Kang Sugi bisa sakit, hingga pagi-pagi itu Mamak Mun histeris di depan rumah, dan pagi-pagi buta aku naik sepeda motor ke rumah Pak Dhe Ramlan.

Pak Awal adalah teman seangkatan satu kampus, bedanya dia jurusan Bahasa Indonesia, dan aku Bahasa Inggris. Bedanya lagi, dia sudah diangkat sebagai pegawai negeri, dan aku belum. Aku gagal di seleksi lanjutan kemarin.

Dulu, saat masih kuliah, aku memanggilnya Udin, karena nama lengkapnya Awaluddin. Tapi karena di SMP tempat kami mengajar sudah ada yang namanya Pak Udin, jadilah dia dipanggil Pak Awal. Dia juga satu-satunya guru yang masih muda selain aku, semuanya guru di sekolahku nyaris sudah mau pensiun semua.

Aku berjalan gontai menyusuri trotoar di dekat pasar kecamatan. Sejauh kata memandang, tidak ada nampak tukang es degan, kalau es tebu ijo ada, tapi Kang Sugi pesannya es degan, pasti dibelikan es tebu marah-marah dia.

Akhirnya, karena sudah capek, kuteleponlah Kakangku itu untuk membujuknya dibelikan yang lain saja.

"Kang!" Kataku menata bahasaku agar dia luluh mengikuti permintaanku.

"Ada apa, Dhil?" Jawab Kang Sugi dengan suara lemah, aku jadi kasihan mendengarnya.

"Es degannya nggak ada e, Kang." Kataku hati-hati.

"Nggak papa, Dhil. Nggak usah dibelikan."

Suatu kejarangan terjadi, Kang Sugi menurut begitu saja. Kesambet apa dia kira-kira mau menurut begitu.

"Di rumah sepertinya ada kelapa, Kang. Kakang mau air kelapa dikasih es?"

"Hey, Nduk! Jangan ditawari es lagi, dia sudah bilang tidak ada tidak apa-apa." Sahut Mamak Mun. Rupanya Kang Sugi mengaktifkan mode loud speaker sehingga Mamak Mun juga bisa mendengar perkataanku.

"Oh, iya, Mak, iya." Kataku segera.

Maksudku tadi, karena Kang Sugi menurut dan terdengar melas, akhirnya aku menawarkan alternatif yang lain. Karena itu tidak biasa, berarti hatinye memang sedang sangat sedih.

"Bawakan air kelapanya saja, Dhil. Nggak usah dikasi es."

"Iya, Kang." Jawabku, lalu kututup telepon itu.

Sepanjang perjalanan pulang, naik sepeda motor, aku terus kepikiran Kang Sugi. Dia menjadi aneh sekali, nada suaranya melas dan seperti tak punya lagi keinginan. Jadi aku semakin kasihan. Aku takut Kang Sugi jadi depresi karena patah hati.

Sesampainya di rumah sakit, aku lihat Kang Sugi tidak seperti orang sakit, tapi seperti orang depresi. Wajahnya tidak pucat lagi, tapi sangat murung seperti tidak ada cahaya. Dia terduduk menghadap ke jendela.

Kamar Kang Sugi adalah kelas ekonomi, satu kamar di isi empat ranjang yang juga ditempati orang sakit lain, hanya dibatasi oleh sekat kain. Sebenarnya, keluarga besar kami punya uang untuk mengupayakan di kelas nomer 2 yang paling tidak diisi dua orang. Namun Mamak Mun selalu saja sayang uangnya.

"Kang, ini air kelapanya." Kataku pada Kang Sugi, dia tidak menoleh, bahkan seperti tidak merespon panggilanku. "Kang!" Kataku lagi dengan sedikit lebih keras, kali ini Kang Sugi menoleh, hanya mengangguk pelan.

Begitu melihat wajahnya, rasanya aku ingin menangis. Dia benar-benar murung, sangat terlihat seperti orang susah. "Taruh meja, Dhil." Katanya kemudian, masih dengan pelan-pelan, lalu kembali menghadap jendela.

"Badannya sudah enak, tapi pikiran belum enak. Sama dokter sudah boleh pulang, tapi Mamak takut kambuh lagi karena belum mau makan dan minum." Mamak Mun mengeluh, duduk ngeleset di atas tikar.

Jadi memang tidak ada kursi di ruangan rawat inap itu. Kalau mau duduk, ya duduk di lantai beralaskan tikar bawa sendiri dari rumah. Sekarang, kasihan sekali melihat Mamak Mun. Pasti beliau sangat kebingungan harus melakukan apa.

"Kang, Dhila belikan kentaki, Kakang makan ya." Aku mencoba merayunya, Kang Sugi masih tidak merespon.

"Kakang mau apa? Sate? Soto? Bakso lontong?"

Kang Sugi masih menggeleng, aku ingin menesehatinya, tapi kutahan karena aku tahu, dia belum siap dan belum mau mendengar nasehat apapun.

Setelah lama membujuknya, aku akhirnya menyerah juga, apalagi ada saudara kami yang lain yang datang menjenguknya. Membawa aneka jajanan pasar. Aku lihat di meja sudah penuh dengan makanan yang mungkin sejak pagi tak tersentuh.

Aku kemudian pamit pulang, tapi Mamak Mun menghalangi, beliau mengajakku bicara berdua di luar kamar.

"Nduk, bagaimana Kakangmu itu, Mamak harus apakan lagi?" Tanya Mamak, wajahnya terlihat pasrah dan bingung.

"Mamak tunggu dulu sampai tiga hari di rumah sakit. Karena Kang Sugi tidak mau makan dan minum, daripada Kakang dehidrasi."

"Tapi kan biayanya makin besar, Dhil." Sahut Mamak Mun.

"Tak usah dipikirkan, Mak. Nanti biar dipikirkan keluarga di rumah sama-sama." Kataku.

Aku tahu, Mamak Mun bukan orang miskin. Sawahnya luas kalau diuangkan bisa milyaran. Tapi hidupnya selalu prihatin, lauk tempe tahu sudah sangat mewah, sehari-hari bahkan sering makan tanpa lauk. Aku sendiri heran, mengapa ada orang seiring itu.

Padahal setiap tahun tanahnya bertambah. Tapi sepeda motor juga hanya satu, itupun sudah butut. Kang Sugi ingin beli motor lagi, tapi dilarang karena kata Mamak Mun yang lama masih bisa dipakai.