webnovel

DEADLY LAGOM

Ada alasan kenapa sekumpulan manusia dikumpulkan dalam sebuah lingkaran yang sama. Entah itu karena persamaan nasib di masa sekarang, kisah di masa lampau atau bahkan takdir di masa depan. Seperti sebuah seni keseimbangan, Lagom, beberapa di antara mereka bersama untuk mengisi gelas tanpa kurang maupun lebih. Tapi beberapa di antara mereka juga menjadi Lagom sempurna yang justru berbahaya.

Gwen_Lightein · その他
レビュー数が足りません
7 Chs

PART 1 : STATUS

Kekasih? Pada beberapa orang keduanya menyampaikan status hubungan wajar antara laki-laki dan perempuan. Pada penjelasan yang jauh lebih benar, mereka hanya bergabung menjadi pasangan demi meraih tujuan masing-masing.

*****

Sekumpulan burung pada batang-batang pohon sedang menyesal menerima gambaran umum soal melodi indah dari kicauannya yang sering membuat manusia tersenyum tanpa sadar. Dentuman keras hasil permainan alat musik di atas panggung halaman Universitas Haewon bahkan mencuri penikmat nada-nada lembut dan manis.

Festival klub selalu berhasil mengumpulkan hampir seluruh mahasiswa, menumpahkan sejuta beban untuk sebuah hari langka di mana hiburan tersuguh menggantikan penjelasan panjang para dosen. Mayoritas penggantung mimpi tengah memamerkan jiwa liarnya pada musik bising di halaman utama. Meloncat lebih lentur dari per, tertawa lebih lebar dari robekan gorden perpustakaan, berteriak lebih lantang dari pemimpin upacara bendera. Burung-burung kecil penghuni pohon itu kecewa tak memiliki sisi liar untuk bergabung mengepakkan sayap secara gila.

Selera manusia selalu berbeda. Anggota kawanan serigala tidak selalu menyukai bagian daging rusa kegemaran sang Alpha. Mengelompokkan kepribadian seharusnya lebih rumit dari dua belas zodiak atau kualifikasi berdasarkan ilmu pemasaran. Hanya sekadar menepi—bukan lari—dari kerumunan orang-orang penuh energi yang berulang kali meminta tambahan lagu meski matahari akan segera meninggalkan singgasana, Mark Lee si mahasiswa populer berotak cerdas asal Kanada lebih bahagia menikmati udara berembus menerpa wajahnya ketika bibir mengapit rapat sebatang rokok. Di atap gedung fakultas seni dia kembali membiarkan gumpalan asap racun keluar membaur bersama angin, berharap penuh aroma khasnya terbang jauh-jauh sebelum hidung seseorang menemukan lebih dulu.

Hampir lima belas menit Mark Lee mendedikasikan waktunya mengawasi gerak-gerik sekumpulan mahasiswa di antara pepohonan maple taman belakang universitas. Satu yang diketahui bernama Bang Yedam terpaksa menanggung malu sebab kedatangan sang Alpha kampus—pimpinan kawanan serigala gila—baru saja melukai harga dirinya di depan banyak orang. Pilihan gadis pemilik bibir berbentuk apel tersebut tidak datang sekadar atas alasan hasrat bermain-main. Ketika tangan merengkuh kuat-kuat kerah kemeja Bang Yedam sementara satu kaki menekan bahu sempit Jeon Heejin yang telah tergeletak menyedihkan mencicipi tanah lembap, dia sudah tahu bahwa cepat atau lambat peringatan tentang cara bersikap akan kembali menghampiri. Terserah saja, dia hanya ingin menjelaskan seperti apa rasanya mendapat ganjaran.

Dedaunan maple selalu cantik memasuki musim gugur. Sebuah tampilan hangat sebagai kedok berlalu-lalangnya udara dingin menusuk tulang pantas disamakan dengan cara hidup seorang Mark Lee. Memperhatikan gadis pemilik bibir apel mengekspresikan emosi hati secara gamblang tidak pernah gagal membuatnya iri. Memanfaatkan kekuasaan, memperalat latar belakang, menggunakan kekuatan. Bahkan tanpa teknik tertentu gadis itu mampu memancing darah keluar dari tubuh seseorang hanya dengan mengandalkan tenaga serta cara paling kasar melukai manusia. Jika empat sahabat laki-lakinya tidak mencoba menahan, gadis itu pasti sudah membunuh Bang Yedam sejak tadi.

Anak-anak muda selalu tumbuh dengan berkelahi. Seorang dosen tua mengatakannya pada Mark Lee berulang kali, memintanya sedikit keluar dari garis aman berperilaku agar tahu seberapa berwarnanya dunia. Sebagai ikon kesempurnaan mahasiswa, usahanya sudah begitu besar menjaga citra selama lebih dari tiga tahun, dan sekarang dia merupakan mahasiswa tingkat akhir yang akan segera mendapat pertanyaan soal profesi. Sekali lagi, kebebasan beberapa junior seperti gadis berbibir apel dalam bersikap, sungguh membuat Mark Lee ingin mengulang waktu. Sayang sekali ini bukan alam penuh sihir. Selain perlu bekerja keras menyembunyikan iblis, Mark Lee perlu bekerja keras mengawasi Son Hyejoo atau jika tidak reputasinya akan hancur di tangan seseorang.

"Kau yakin kita tidak akan mendapatkan mayat hari ini? Sepertinya salah satu dari mereka akan mati." Mark Lee masih bisa tersenyum membayangkan malaikat maut tengah menunggu perdebatan antara mahasiswa-mahasiswa bodoh itu selesai sebelum jiwa ditarik bersama nyawa.

Gelembung terakhir hasil kunyahan permen karet baru saja pecah menimbulkan letupan keras. Rasa manis anggur sudah semakin memudar menyisakan kehambaran, maka pemuda bermata abu-abu membuangnya sembarang, lalu berbalik menyamakan posisi dengan Mark Lee dan meletakan kedua tangan di atas pagar atap gedung fakultas seni. "Tidak. Tidak hari ini," ucapnya.

"Kenapa? Karena gadis itu tidak mampu melakukannya?" tanya Mark Lee, membuat hipotesis kurang menjanjikan lainnya.

"Alih-alih membunuh, dia lebih suka menyiksa perlahan. Permainan semacam itu akan selalu memberikan efek yang lebih besar," jawab Byun Baekhyun, si pemuda bermata abu-abu, dalam sela-sela ketenangannya.

"Ini pertama kalinya dia peduli soal kasus perundungan. Kukira mereka baru mengenal, tetapi gadis itu telah mengambil hak melakukan perlawanan pada orang-orang yang mengganggu Kim Minju."

"Kim Minju benar hanya teman dan tim bisnisnya?"

"Tentu saja tidak. Kudengar ayah Minju bekerja di KS Group."

Berlindung di balik nama besar keluarga sepatutnya memberikan banyak keuntungan, juga beban untuk menjaga sikap lebih baik karena hasil pandang sepasang mata selalu dapat membuat mulut mengungkap berita-berita kurang sedap. Pasti sudah hampir penuh buku tempat penulisan daftar masalah yang diakibatkan oleh kurangnya kemampuan Son Hyejoo dalam  bersikap jika saja tidak ada perintah dari seseorang untuk melakukan pengawasan ketat, termasuk usaha mengurangi keonaran serta mengatasi berbagai kehebohan. Sekali lagi seorang dosen bernama Nam Woohyun menerima titah menyelesaikan pertengkaran yang melibatkan Son Hyejoo agar lubang-lubang mengerikan lain tak sampai mendengar.

Berurusan dengan mahasiswa tidak pernah berubah menjadi hal mudah apalagi menyenangkan. Pengawasannya hanya akan selesai sampai di sini setelah memastikan Woohyun mampu membungkus rapi-rapi sebuah kasus pertengkaran anak-anak muda di antara pohon maple taman belakang universitas. Meninggalkan Mark Lee bersama batang nikotin yang apinya semakin menyambar ke atas memperkecil ukuran, pemuda bermata abu-abu itu berjalan menuju pintu atap sambil menyembunyikan kedua tangan di saku jaket. Umpatan baru saja meluncur selicin belut saat tiba-tiba pintu atap dibuka dari luar dan Jung Jinyoung si dosen ramah kegemaran mahasiswa perempuan, datang membawa dua kaleng kopi.

"Sudah ingin pergi? Kau bahkan tidak mengucapkan terima kasih padaku, Byun Baekhyun," ucap Jinyoung.

"Terima kasih." Baekhyun berucap pelan sambil lalu, tak peduli meski dosen paling ramah Universitas Haewon itu datang semata-mata untuk menemuinya.

"Hey! Setidaknya bayar aku dengan membantu mendekati sekretarismu!" pekik Jinyoung.

"Kau hanya akan menjadi daging cincang di tangannya," balas Baekhyun di tengah-tengah langkah, tanpa sedikit pun menoleh apalagi sejenak berhenti.

"Astaga, dia itu ... benar-benar!"

"Apa sekretarisnya sangat cantik, saem?" Mark Lee yang rupanya sudah ada di sebelah Jinyoung, lantas bertanya. Melihat bagaimana kedua matanya memicing dan satu bibirnya terangkat sedikit, memberikan pengertian jelas bahwa dia tengah menggoda sang dosen alih-alih penasaran.

"Tidak, dia menakutkan," jawab Jinyoung ketus.

"Aku tidak suka mendekati perempuan yang lebih tua, saem. Tenang saja. Kenapa kau sangat sensitif?" cibir Mark Lee.

Dahi Jinyoung mengerut saat menyadari sesuatu. Tubuhnya sedikit mencondong mencari kebenaran. Hidungnya bekerja keras menemukan aroma tak asing, lalu bertanya, "Hey, kau merokok lagi, huh?"

"Satu batang untuk tiga hari terakhir." Mark Lee begitu santai menyahuti seolah-olah sosok di depannya hanya seorang teman.

"Aku benar-benar akan memberikan hukuman pantas jika melihatmu merokok lagi di area kampus, Mark Lee." Jinyoung memberi peringatan keras.

"Bukankah sebaiknya kau memperingati sahabatmu itu? Dia yang memberikanku kesempatan dan jaminan," balas Mark Lee.

"Dia seorang dosen kontrak di sini, bagaimana bisa kau selalu mempercayainya?"

"Dia tidak mengajar di fakultasku, saem. Aku hanya memandangnya sebagai seorang pengusaha gila yang—ah, bicara tentang usahanya, bukankah kau pernah bekerja di Studio Lightein? Apa dia selalu segila itu?"

"Itu sebabnya kau harus berhati-hati. Kau tidak tahu seberapa gilanya dia."

Mendapatkan kontribusi seorang ahli dalam dunia animasi pasti merupakan salah satu keuntungan besar bagi sebuah universitas. Studio Lightein bukan nama asing. Berada di jajaran perusahaan-perusahaan terbaik jelas menjadi hasil memuaskan atas usaha keras mengembangkan. Menciptakan seri animasi kegemaran remaja hingga dewasa, membantu membuat iklan-iklan produk ternama, melibatkan diri dalam mempercantik sebuah drama maupun film, hingga ikut meramaikan dunia webtoon. Para mahasiswa fakultas seni Universitas Haewon percaya bahwa sikap keras dan tak ada toleransi dari seorang Byun Baekhyun muncul karena pengalamannya berusaha membawa Studio Lightein mencicipi puncak sejak duduk di bangku kelas dua SMA.

*****

Anak-anak sering berharap tumbuh lebih cepat agar hidup bebas sesuai keinginan. Orang-orang dewasa ingin kembali ke masa di mana mereka hanya perlu bersandar pada pundak orang tua. Tidak ada waktu paling baik secara umum karena manusia selalu memiliki nasib berbeda. Son Hyejoo juga begitu. Masa kecilnya mungkin cukup menyenangkan, tetapi dia harus secara langsung melihat ayahnya kehilangan nyawa dalam sebuah kecelakaan tragis pada suatu malam beriring badai hujan. Entah apakah di masa depan nanti akan banyak datang kebahagiaan menggantikan berbagai kesedihannya sekarang. Tidak mudah menjadi anggota konglomerat yang menjunjung tinggi soal tingkat pendidikan serta profesi. Menepikan gambaran alpha mengerikan seperti di universitas, posisi Son Hyejoo adalah subyek yang akan terus menerima sindiran dalam keluarga besar.

Kadang tidak ada keberanian membuka telinga lebar-lebar mendengar paman dan bibinya selalu berceramah soal kepribadian buruk Hyejoo. Bahkan malam ini gadis berbibir apel itu perlu menghentikan langkah di balik dinding ruang tamu rumah mewah sang kakek saat tak sengaja mendengar beberapa anggota keluarga tengah bicara buruk tentangnya yang sering mendapatkan nilai rendah, kebiasaannya mengunjungi kelab bersama teman sampai mabuk, berkelahi macam perempuan tanpa tata krama hingga sulit diatur. Sejak awal Hyejoo sudah mengatakan kalau dia ingin berkutat dengan bisnisnya sendiri, bukan menggantungkan nasib pada nama besar sang kakek, tetapi keluarga selalu merendahkan usahanya yang tak menjanjikan.

Butuh waktu mengumpulkan kepercayaan diri untuk kembali lanjut berjalan, bergabung dengan hampir seluruh anggota keluarga yang sedang bersiap menikmati suguhan makan malam. Beberapa dari mereka sempat terdiam sejenak, berusaha mencari tahu siapa yang baru saja datang, apakah itu Son Hyejoo atau Cho Aerin karena keduanya memiliki rupa fisik serta wajah sama persis bagaikan anak kembar meski memiliki orang tua berbeda. Gaya berpakaian mereka adalah satu-satunya cara untuk membedakan, tidak seperti Kang Jaein—ibu dari Aerin—yang tahu persis rupa anak semata wayangnya. Kang Jaein dan sang suami adalah dua orang dengan pemikiran terbuka yang selalu menyayangi Hyejoo layaknya anak sendiri.

"Hyejoo-ya, kemarilah," ucap Kang Jaein seraya menepuk kursi makan tepat di sebelahnya.

Jauh lebih nyaman duduk mendengar dosen bicara panjang lebar dibandingkan bersanding dengan anggota keluarga tanpa ayah yang telah menempati sisi lain dunia, ibu yang koma sejak lima belas bulan lalu, serta seorang kakak yang mungkin sedang sibuk membantu klien keluar dari masalah hukum. Ada banyak hal untuk dibicarakan bersama menciptakan suasana menggembirakan. Entah bagaimana kedatangan Hyejoo selalu terasa membuat kehangatan hilang perlahan-lahan, berganti dengan topik sensitif paling menyebalkan tentang keseharian Hyejoo sebagai seorang mahasiswa dan pejuang bisnis.

"Paman dengar kau mencoba bisnis makanan. Dessert?" Seorang laki-laki bernama Son Gyunwoo memulai percakapan.

Setelah mencoba peruntungan dengan membangun bisnis skala kecil yang memberikan jasa merancang berbagai acara bersama dua orang lainnya dalam tim, sekarang Hyejoo juga mulai berani menciptakan usaha bidang kuliner yang fokus menawarkan berbagai jenis dessert buatan seorang wanita bernama Park Soyeon. Penghasilannya mungkin memang tidak cukup banyak untuk dapat membayar biaya pendidikan sendiri, tetapi usahanya tidak pernah putus. Bersama Dellion dia akan meraih mimpi menjadi seorang pengusaha besar.

"Sudah berjalan tiga bulan. Paman pasti sangat sibuk sampai telat mendengar beritanya." Hyejoo memberi balasan dengan intonasi teramat dingin, mengartikan rasa tak suka.

"Berjalan lancar?" tanya Gyunwoo.

"Tadinya aku berniat menggunakan kemampuan kakek agar semua berjalan lancar, tapi ternyata aku terlalu mandiri hingga melakukan semuanya sendiri," jawab Hyejoo.

Sebelum percakapan berubah menjadi perdebatan sengit, Son Kyungsan memasuki area dapur menggunakan sebuah tongkat yang membantunya berjalan lebih normal dan duduk di salah satu kursi paling ujung meja makan. Kedua mata pria paruh baya itu seolah sedang mengabsen seluruh anggota keluarga. Ada beberapa dari mereka yang telah memberikan informasi tentang ketidakhadiran sebab terhambat urusan lain, tetapi satu kursi kosong yang harusnya ditempati membuat Son Kyungsan bertanya-tanya. Kursi itu harusnya menjadi tempat duduk cucu kesayangan.

"Di mana Aerin?"

*****

Bar dan kelab malam seharusnya mendapatkan persepsi berbeda, khususnya bagi Bar Roshyn. Bukan sebuah tempat penyedia lantai dansa di mana pengunjungnya menari liar dengan iringan musik memekakkan telinga apa lagi penyedia ruang bagi pasangan-pasangan tanpa status, saling mendekat secara intim. Memasuki Bar Roshyn akan membawamu pada sebuah ketenangan berpadu keindahan dekorasi yang terkesan berkelas. Para pengunjung akan duduk tenang tanpa suara gaduh menikmati racikan magis bartender bersama musik klasik. Mereka adalah orang-orang yang paham bahwa segelas anggur merah tidak hanya sekadar minuman alkohol berwarna pemicu mabuk, tetapi sebuah karya penuh kompleksitas yang perlu lebih dihargai.

Sebagai seorang pimpinan, Son Aerin telah menentukan standar tinggi untuk Bar Roshyn yang bahkan tanpa sengaja mengumpulkan kelompok-kelompok dari kelas berbeda. Malam ini masih dengan menampilkan kesan elegannya dia mengunjungi bar hanya untuk memberikan sepuluh kotak pizza pada para karyawan. Sayang sekali minuman buatan Kim Myungsoo si bartender tampan tak dapat diteguk habis karena membantu pelayan termuda bar mengatasi kecerobohannya dalam memecahkan beberapa gelas adalah pilihan utama. 

Bunyi gemerincing lonceng menandakan dibukanya pintu bar. Kemunculan seseorang pasti lebih penting dari darah segar pada jari akibat tajamnya satu pecahan gelas kaca. Seluruh atensi Aerin jatuh pada pemuda yang baru saja masuk bersama seorang teman. Terpisah beberapa langkah, di bawah penerangan kuning lampu, keduanya saling bertukar pandang menyampaikan perbedaan emosi hati setelah hampir lima minggu tidak bertatap muka. Pertemuan itu akhirnya mendapat respons hangat dari Son Aerin yang mengembangkan senyuman tulus melihat wajah sang kekasih, Byun Baekhyun.

Kekasih? Pada beberapa orang keduanya menyampaikan status hubungan wajar antara laki-laki dan perempuan. Pada penjelasan yang jauh lebih benar, mereka hanya bergabung menjadi pasangan demi meraih tujuan masing-masing. Tidak ada romansa atau kisah-kisah manis. Semua tersusun seperti sistem kaku sebuah komputer multifungsi, dan mereka bertemu lagi untuk membicarakan beberapa hal terkait rencana gila pembalasan dendam.

Maka di balkon terbuka lantai dua Aerin mempersilahkan pemuda bermata abu-abu itu mengagumi keindahan langit bertabur bintang yang mengatapi keramaian kota Seoul, sementara Aerin sendiri sedang duduk membaca kertas informasi pemberian sang kekasih tentang latar belakang laki-laki bernama Jung Taewoo, pelaku penabrak sepupu malangnya yang kini mendekam di penjara.

"Ada lagi informasi lainnya?" tanya Aerin.

"Sepupumu," ucap Baekhyun.

"Hyejoo? Kenapa dia?" Aerin kembali bertanya.

Baekhyun berbalik, mengambil tempat tepat di sebelah Aerin untuk duduk bersandar pada kepala bangku. "Seperti sebelumnya, dia berkelahi lagi dengan rekan sesama mahasiswa. Selain itu ..."

"Selain itu?"

"Ada seorang mahasiswa yang mencoba mendekatinya. Kalau tidak salah namanya adalah Jaemin," ungkap Baekhyun.

"Itu berita baik. Sudah lama aku berpikir kalau Hyejoo bisa saja menjadi lebih lembut jika dia memiliki seorang kekasih," sahut Aerin.

"Lalu bagaimana dengan laki-laki itu? Tidakkah kau terlalu mengulur waktu? Aku mulai merasa bahwa kau sedang nyaman bermain-main dengannya." Baekhyun tiba-tiba mengubah topik pembicaraan, melenyapkan senyuman yang menghiasi wajah Aerin.

"Apa maksudmu?"

"Berhenti tamak akan informasi atau kau hanya akan masuk dalam bahaya. Kekasihmu itu ... Kwon Jiyong, bukankah kau ingin segera menyeretnya ke penjara?"

---To be Continued---