Sunyi. Teramat sunyi. Ada begitu banyak rute jalan dapat dilalui hanya untuk sekadar menghirup udara malam musim semi. Rembulan memamerkan keindahan cahayanya memandikan sederet pohon cherry blossom dengan bunga-bunga berwarna merah muda merona. Aroma lembap masih begitu terasa sebab hujan belum lama bertandang membasahi sebagian kota Seoul, meninggalkan genangan air di sekitar aspal yang terabaikan dinginnya oleh telapak kaki tanpa alas seorang gadis bergaun putih. Bukankah Seoul tidak akan tertidur ketika jam masih menunjukkan pukul setengah dua belas malam? Akan lebih wajar melihatnya menempati salah satu bangku kelab malam atau menunggu botol minuman keras lain di kedai-kedai pinggir jalan, bukan menyeret sepasang kaki jenjang sambil berharap sebuah tangan terulur menariknya pergi.
Sudah kusut gaun putih berlengan panjang itu. Seperti menambah kesan berantakan rambut acaknya yang tak lagi membentuk kepangan cantik berpita biru pastel. Seiring kaki melangkah tanpa arah, terus jatuh tetes demi tetes darah kental dari pergelangan tangannya, melewati sela-sela jari dan bergabung bersama sisa-sisa air hujan. Manusia biasa menyebut perasaan itu sebagai kesedihan. Begitu banyak anak panah tak kasat mata mendarat menusuk hatinya sementara sesuatu yang lain sedang coba meremas jantungnya keras-keras. Sakit sekali bertahan dalam kejamnya dunia saat tidak ada bahu untuk bersandar atau telinga mendengar kisah. Tapi sekarang gadis bergaun putih itu menolak kembalinya pemikiran bunuh diri.
Kemampuan melihatnya baik-baik saja sebelum ini. Sekarang memandang jelas sebuah gereja tua dengan pintu koyak dan jendela kaca pecah saja hampir tidak mungkin dilakukan. Percayalah, linangan air matanya bukan ekspresi kekecewaan terhadap hilangnya kemampuan melihat, melainkan ingatan akan betapa kotor dia sampai tidak berani memanjatkan lebih banyak doa pada Tuhan. Jika saja boleh mendapatkan satu kali kesempatan mengulang, ingin sekali gadis bergaun putih itu memperbaiki diri demi mendapatkan kehidupan normal seperti perempuan-perempuan pada umumnya.
Semakin deras tangisan kala melihat seorang biarawati paruh baya keluar dari gereja membawa alkitab. Lentera api di sudut kanan atas pintu lantas diambilnya sebagai penerang jalan menuju kediaman. Rencana awal memang seperti itu sampai akhirnya biarawati terdiam memperhatikan dari kejauhan bagaimana tangan gadis bergaun putih bergetar hebat. Muncul sesimpul senyum. Senyuman tanpa kebahagiaan yang semakin jelas terlihat karena pencahayaan silau lampu mobil mewah dari arah berlawanan. Deru mesin memecah keheningan malam. Sang biarawati terlambat sadar tujuan mobil mewah tersebut melaju kencang. Matanya melebar dan lentera api sontak terjatuh karena terlalu terkejut mendapati gadis bergaun putih tergeletak berlumur darah.
Penabrak melarikan diri lebih cepat dari dugaan. Perlahan kesadaran gadis bergaun putih mulai berkurang dengan adanya pendarahan pada kepala. Masih jelas terdengar dalam telinganya suara derap langkah kaki serta teriakan biarawati meski dia tahu bahkan semut saja tidak akan mampu membantu. Jadi ini alasan Tuhan kembali menurunkan tetesan air hujan sementara rembulan berbentuk sempurna masih bersinar teramat terang dan ribuan bintang berkilau menghiasi langit. Beberapa burung juga mulai berkicau. Bunga-bunga cherry blossom tidak pernah gagal tampak cantik jatuh menyentuh aspal. Sungguh atap serta alas yang menawan.
Memanfaatkan detik-detik terakhir kehidupan, Park Hyomin bersusah payah membelai perut di mana ada manusia lain yang seharusnya bisa mencicipi dunia. Berulang kali kata maaf terucap sebagai penyesalan atas kegagalannya berusaha lebih keras bertahan agar nanti bisa membangun keluarga kecil penuh kebahagiaan bersama sang anak. Kesempatan itu telah hilang. Satu tarikan nafas terakhirnya terjadi seiring bisikan kalimat sumpah dalam hati dan dia benar-benar pergi dengan upacara indah makhluk-makhluk tak berakal.
Kalian tidak akan hidup tenang.
*****
Son Aerin—begitulah huruf-huruf menyatu dengan gaya cantik menghiasi jari tengah tangan kiri seorang perempuan dalam balutan gaun sutera pendek berpotongan dada rendah, paduan jaket kulit kebesaran serta topi pelaut beraksen mutiara sebagai penunjang penampilan. Kedua mata tanpa lensa itu menatap sentimental bulir-bulir air hujan yang mengetuk jendela kaca ruang psikolog tempatnya duduk penuh keanggunan. Sungguh sebuah sapaan menenangkan pada orang-orang yang mungkin terlalu sibuk mencari kebahagiaan kompleks. Senyuman merekah, membuktikan wajahnya bisa lebih menawan dibandingkan sepasang anting panjang di masing-masing telinga. Bukan pada bagaimana Tuhan mendatangkan hujan menemani sore hari musim semi, tetapi penjelasan sang psikolog perihal keadaan salah satu pasien.
Memuja seorang lelaki tidak pernah semudah merawat anak kucing liar. Memberikan sebidang tanah berbunga, mengaliri literan air kehangatan, hingga menghadiahkan kumpulan bintang berkelip. Sejak awal seharusnya perlu diingatkan bahwa seekor kucing liar bisa kabur melihat pintu terbuka lebar saat masa berahi datang. Kang Sunghoon si psikolog menyesal tak dapat lebih cepat memulihkan keadaan seorang pasien yang terus mengeluhkan perilaku kasar kekasihnya. Bukan hanya kumpulan kata-kata umpatan, tetapi kekerasan secara fisik pemicu munculnya beberapa lebam pada tubuh. Sayang sekali lebam tersebut tidak dapat menjadi bayaran agar sang kekasih bersedia mengakui anaknya sendiri. Hanya jika masih memiliki waktu menapaki tajamnya tanah bumi, pasien tersebut pasti akan mengatakan pada seluruh hawa bahwa hampir tidak ada kebaikan dalam menjadi selingkuhan.
Denting keras hasil pertemuan tiba-tiba garpu dan piring kecil yang menjadi alas sepotong kue berbahan cokelat, mengejutkan perawat pembawa map tempat penyimpanan hasil pemeriksaan pasien bernama Jang Dohyun. Satu blueberry melesat meninggalkan piring sebab garpu tak mampu menusuk buah biru penghias tersebut. Terlalu licin mungkin, maka potongan kecil kue adalah pilihannya memanjakan lidah yang hampir terasa sangat pahit seperti kehidupan seseorang. Begitu jelas terdengar Son Aerin menghela berat nafas sebelum menoleh menjatuhkan seluruh pandang pada si psikolog dan melempar senyuman kecil lagi. Dua insan manusia itu sudah tujuh kali bertemu membicarakan kondisi terakhir pasien tertentu, tetapi Kang Sunghoon selalu kesulitan menahan diri tak jatuh dalam pesona perempuan elegan pemilik Bar Roshyn tersebut.
"Seberapa jauh kau sudah melangkah, Aerin-ssi?" tanya Kang Sunghoon.
"Tidak jauh. Atau lebih tepatnya belum," jawab Aerin.
"Lalu sekarang apa lagi? Ruang mana lagi yang ingin kau jelajahi?" lanjut Kang Sunghoon. Air mukanya menampakkan sesuatu yang sering orang-orang sebut sebagai kegelisahan. Pertemuan mereka selalu lebih dari sekedar bercakap mengenai kondisi psikologis sehingga ada kalanya pria itu ingin berteriak meminta Aerin berhenti sebelum terlambat.
"Rumah. Ada rumah yang ingin aku jelajahi," ungkap Aerin.
"Kau tidak pernah tahu seperti apa jalanan di depan sana. Melangkah seorang diri hanya akan—"
"Aku tahu, tapi aku tidak sendiri. Bahkan jika aku harus melangkah mundur, akan ada orang-orang yang terus maju menggantikanku."
"Apa kau yakin ini yang diinginkan sepupumu?"
"Ini yang aku inginkan untuk membalas rasa sakit Hyomin-eonnie."
Jarum jam dinding ruang psikologi masih berputar sesuai sistem sebelum tiba-tiba berhenti tepat pada angka enam. Jendela kaca hanya meninggalkan sisa-sisa air hujan yang tak lagi mengetuk menyampaikan suara penuh nada. Seberkas cahaya matahari menjadi alasan terbesar Son Aerin beranjak dari ruang psikologi meninggalkan kue cokelatnya yang hampir terlihat seperti baru. Sambil mengenakan kaca mata hitam perempuan itu mengetukan sepatu tumit tingginya melewati koridor gedung praktik si psikolog Kang Sunghoon, menjawab dengan senyuman sapaan dua orang perawat, lalu berdiri di ujung pintu memperhatikan gumpalan awan putih. Jika surga benar ada, Aerin ingin agar sepupunya yang bernama Park Hyomin menikmati kehidupan indah bersama sang anak di sana dan melupakan betapa kejamnya dunia.
*****
Bukan hanya kekecewaan. Juga terasa kesedihan meliputi apartemen mewah berfasilitas lengkap yang kehilangan penghuninya sejak beberapa minggu lalu. Sebuah rak buku dalam kamar khusus anak adalah tujuan selanjutnya Son Aerin menjelajah, mencari-cari potongan puzzle lain untuk melengkapi papan kebenaran. Bocah laki-laki hasil hubungan pemilik apartemen pasti sangat suka mendengar ibunya menceritakan kisah-kisah fantasi tentang sekumpulan binatang cerdas atau manusia berkekuatan super. Di antara benda-benda penuh huruf tersebut ada satu yang sepatutnya tak disuguhkan pada anak-anak. Diari. Bersampul tebal dengan lukisan bunga, menyembunyikan kertas-kertas yang menuliskan berbagai kisah menyedihkan dari seorang perempuan bernama Kim Taeyeon. Kisah-kisah itu berhasil membuat Aerin hampir membuka mulutnya karena terlampau terkejut.
Masih banyak kertas menunggu giliran. Pasti masih banyak kisah menanti pembacanya. Memasuki apartemen tanpa izin adalah pilihan buruk mengorek informasi seseorang meski memang itu yang baru saja Aerin lakukan demi memenuhi rasa penasaran. Jari-jari tangan terpaksa berhenti sejenak membuka lebih banyak jawaban ketika pintu apartemen memunculkan suara pertanda terbuka, menghadirkan seorang pemuda yang hampir membuat Aerin kesulitan menjelaskan bahkan pada diri sendiri. Perawakan fisiknya memperlihatkan ciri khas darah Korea. Surai hitamnya tertata rapi bergaya comma hair. Wajahnya memberikan kesan lembut namun memiliki garis-garis yang tegas. Son Aerin berani bertaruh, ada pesona penuh kemurnian bagai anak anjing jika saja tatapan seolah tak fokus dan ekspresi dingin itu berhenti menyampuli.
Lebih. Lebih dari sekadar kelopak mata sipit yang tak sepenuhnya terbuka menyampaikan sorot tak berselera atau kejengahan. Lebih. Lebih dari kemeja putih dengan sepenggal kalimat bertinta hitam sebagai pemanis yang dua kancing paling atasnya sengaja tak ditutup. Sepasang mata bertanda bahaya pemuda itu memiliki pupil berwarna abu-abu bukan atas pertolongan lensa kontak. Pertemuan mereka harusnya saling mengejutkan, tetapi si pemuda tampak tenang melangkah melewati Aerin dan duduk di salah satu kursi makan, meletakan sebuah amplop coklat sebelum menuangkan air mineral ke dalam gelas kaca.
Permintaan duduk terdengar seperti perintah. Terlalu banyak hal memutari otak Aerin sejak pemuda bermata abu-abu memasuki apartemen. Ada pertarungan sengit antara keputusan segera pergi dan mencoba tenang yang membuatnya semakin dilema hingga saat kertas-kertas keluar dari amplop coklat. Bukan jawaban hasil ujian atau tulisan mentah bahan membuat novel apik, tetapi penjelasan mendetail mengenai kisah kehidupan seorang Son Aerin mulai dari tubuhnya merasakan suhu ruang persalinan sampai detik di mana dia berdiri kebingungan membuat keputusan. Pemuda bermata abu-abu sempat membasahi bibir bawah ketika mencoba mencerna satu penggal penjelasan yang hendak dibacakan keras.
Deringan ponsel dalam kantong jaket Aerin memecah keheningan. Berulang kali suaranya muncul meminta jawaban dari sang pemanggil, tetapi tidak ada waktu untuk memedulikan Oh Sehun—asisten kepercayaan yang baru saja mencari mati karena gagal menjaga pintu masuk apartemen. Mewaspadai seekor singa di depan mata tentu selalu menjadi masalah utama. Di kali kelima deringan ponsel membaur bersama suasana tegang, pemuda bermata abu-abu menyandarkan punggungnya pada kursi dan menoleh, menikam dalam-dalam indra penglihatan Aerin hanya menggunakan cara pandangnya.
"Tidak ingin menjawab?" tanya pemuda bermata abu-abu.
"Tidak lebih penting." Aerin bersahut ketus.
"Kau tampak gelisah dengan kehadiranku, tapi bahkan tidak bertanya—"
"Byun Baekhyun," sela Aerin. Bukan sebuah tebakan. Satu-satunya hal mengejutkan adalah soal kemunculan seseorang, bukan betapa asingnya pemuda bermata abu-abu. Ketika pemuda itu tanpa sadar memilih diam dan berkutat dengan pencarian jawaban akan alasan namanya sudah diketahui, Aerin yang telah merenggangkan seluruh otot wajah lantas lanjut berkata, "Saudara ipar Kwon Jiyong yang bahkan tidak akur dengannya. Kau pikir aku tidak mengorek informasimu?"
"Sebanyak apa yang kau dapat?"
"Banyak. Termasuk kedai minum Hanaya dan rumah mengerikan yang pernah kau tinggali dulu."
Dengusan lolos begitu sempurna. Umpatan hampir tak terdengar meski Aerin tahu betapa kasarnya itu. Kegagalan rencana awal membawa pemuda bermata abu-abu pemilik nama Byun Baekhyun itu merancang cepat cara lain, maka dia bangkit dari kursi, memberikan seluruh atensinya pada sang pimpinan Bar Roshyn sementara pinggang bersandar pada meja makan. "Apa kita berada di kapal yang sama?" tanyanya.
"Tidak. Tapi sepertinya kita membenci kapal yang sama," jawab Aerin.
"Itu sebabnya kau mencari seorang rekan."
"Hanya bisa jika kau memberi tahu apa keuntungan yang kau inginkan."
Kebencian. Binar manik mata perempuan itu menyampaikan sebuah kebencian pada tingkatan hampir serupa dendam. Semakin dalam Baekhyun menyelami, semakin kuat keinginannya untuk mempercayai. Lalu dia berkata dengan sangat hati-hati, "Kemenangan atas sengketa tanah dengan KS Group dan akuisisi Studio Ragnar."
"Kau mempercayaiku?"
"Bukan aku, tapi kau yang mempercayaiku, jadi katakan apa hal pertama yang harus aku lakukan."
"Jadilah kekasihku."
---To be Continued---
.
Teruntuk kalian yang telah menyempatkan waktu untuk membaca karya ini, terima kasih banyak dan semoga kalian memiliki waktu-waktu luang lain untuk tetap membaca kelanjutannya ^^
Semoga hari kalian menyenangkan.