webnovel

Cowok Hamil

Cowok hamil? mana mungkin. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia khayal. Yang tidak masuk akal, jadi terasa masuk akal di dunia imajinasi. Ini adalah kisah dimana anak laki-laki, hidup di jaman modern namun mempunyai rahim. Rio, remaja good boy, yang sangat membenci Jamal si remaja Bad boy sekaligus Fuck boy. Lalu apa yang akan Rio lakukan, jika anak dalam rahimnya ternyata dara daging Jamal. Bagaimana itu bisa terjadi? Ikuti kisah mereka? Jamal dan Rio.... Jangan lupa kasih power stone, vote dan komen kalian ya. Supaya dapet notif updet masukan cerita ini ke colletions kalian. terima kasih....

Altwp · LGBT+
レビュー数が足りません
107 Chs

Masih tidak enak badan

"Huuugh.... ehgh, hoooek.... hooekk..."

Entah sudah berapa kali Rio berusaha mengeluarkan sesuatu yang membuat perutnya terasa mual. Tapi hasilnya nihil, tidak ada sedikitpun muntahan yang keluar dari dalam mulutnya. Ia sudah terlihat sangat kelelahan, wajahnya pucat, dan keringat dingin juga sudah mengalir dibagian pelipisnya.

"Hooek... huuuugh... huuuuugh... eeghm..."

Seperti ada sesuatu sedang mengaduk-aduk isi dalam perutnya, membuat ia merasakan mual, dan kembali ingin muntah. Tapi pada saat Rio berusaha mengeluarkannya, hasilnya masih sama. Hanya sedikit ludah yang keluar dari dalam mulutnya.

"Ya ampuun, kamu kenapa sih, Ri?" keluh ibu Hartati sambil memijit-mijit tengkuk anaknya. Berusaha membantu Rio supaya bisa mengeluarkan muntahan.

Wajah ibu Hartati berkerut, menatap iba wajah anaknya yang terlihat lemah dan tidak berdaya.

"Ibu anter ke dokter aja yuk," tawar ibu Hartati sambil terus memijit tengkuk Rio, yang sedang merunduk menghadap wastafel. "Kemaren kan cuma ke puskes, kali aja kalo ke dokter bisa ketauan penyakitnya."

"Nggak usah deh, bu... cuma mual sama pusing aja kok. Nanti juga sembuh.." tolak Rio, sambil merundukan wajahnya di wastafel. Sedangkan pergelangan nya melingkari perutnya sendiri.

"Cuuh... hoooek, cuh..."

Selain mual, rasa aneh di mulutnya membuat Rio selalu ingin meludah.

"-masuk angin kali ya bu..." lanjut Rio dengan suara lemah.

Menggunakan punggung tangan, Rio mengusap peluh yang sudah membanjiri pelipisnya.

"Apa mau dikerikin?" tawar ibu Hartati.

Dengan tubuh yang lemah, Rio mengangkat wajahnya dari wastafel. Wajahnya yang pucat dan berkeringat menatap lelah, wajah ibunya. "Boleh deh, bu..." ucapnya.

"Yaudah kamu tunggu di kamar, ibu siapin minyak kayu putihnya."

Rio menganggukkan kepala, dengan langkah gontai ia berjalan menuju ke kamarnya sambil memegangi tengkuk dan perutny.

Sementara ibu Hartati mencari keperluan yang akan ia gunakan untuk mengerok tubuh anaknya.

"Keysaaa....! Afkaaar...!" Ibu Hartati berteriak memanggil kedua adik Rio yang sedang belajar di dalam kamar.

"Apa buk?!"

Keysa dan Afkar juga berteriak, menjawab panggilan ibunya secara bersamaan.

"Jagain warung! Ibu mau ngerikin kakak..."

Selain berjualan sembako di pasar tradisional, ibu Hartati juga membuka warung kecil-kecilan di rumahnya. Meski cuma melayani tetangg terdekat saja, tapi hasilnya lumayan buat menambah pemasukan.

"Ya bu!" jawab Keysa dari dalam kamar.

Di dalam kamarnya, Rio sedang menungguing, meringkuk di atas kasur__sambil memegangi perutnya. Sementara wajahnya ia tenggelam kan di atas bantal. Rio benar-benar merasa lelah dan putus asa. Berbagai macam gaya tidur sudah ia lakukan, guna mencari posisi nyaman. Tapi tetap saja, rasa mual, pusing, ingin muntah, membuat ia tidak bisa menemukan kenyamanan itu.

"Duduk Ri..." perintah ibu Hartati ketika ia baru saja masuk kedalam kamar Rio. "Buka kaosnya..."

Dengan rasa malas__akibat pusing yang terus melanda, Rio mengangkat tubuhnya, mendudukan dirinya di atas kasur. Sedangkan ibu Hartati berjalan menghampiri Rio, sambil membawa piring kecil, koin logam dan minyak kayu putih.

Setelah ibu Hartati mendudukkan dirinya di tepi dipan, terlihat Rio langsung membuka kausnya, lalu duduk bersila memunggungi ibunya.

Ibu Hartati menuangkan sedikit minyak kayu putih di atas piring kecil, mencampurnya dengan lotion supaya licin, dan tidak membuat Rio sakit pada saat dikerik. Menggunakan telunjuknya, ibu Hartati mencolek minyak kayu putih yang sudah di campur dengan hand body, lalu di oleskan di punggung Rio.

"Permisi...!"

"Permisi...!"

"Rio...!"

"Permisi... bu... Rio..."

Ibu Hartati mengurungkan niatnya yang akan memulai mengerik punggung Rio, saat ia mendengar suara berisik dari ambang pintu kamar Rio.

Rio dan ibu Hartati secara bersamaan menoleh ke pintu kamar. Kening mereka berkerut, menatap heran kepada remaja-remaja berseragam putih abu-abu, sudah berdiri di dalam kamar.

"Maaf ni bu, kita langsung masuk. Tadi di depan udah bilang kok sama adeknya Rio," ucap Indah yang tengah berdiri paling depan. Di tangannya sedang memegang bungkusan plastik kresek yang berisi buah-buahan.

"Kita mau nengokin Rio, bu," imbuh Irawan mewakili teman-temannya.

Ibu Hartati berdiri dari duduknya, lalu ia berjalan menghampiri teman-teman Rio. "Oh, mau nengokin Rio," ucap ibu Hartati setelah berdiri di hadapan anak-anak berseragam SMA tersebut.

"Iy, bu." Indah memberikan bungkusan kresek kepada ibu Hartati. Kemudian ia meraih pergelangan ibu Hartati, lalu mencium punggung tangan nya.

Di susul kemudian Irawan dan yang lain juga melakukan hal serupa yang dilakukan oleh Indah. Mencium punggung tangan ibu Hartati secara bergantian.

Di atas dipan terlihat Rio sedang memakai kembali kausnya. Lalu menyandarkan tubuhnya di kepala dipan.

"Kalo gitu, silahkan duduk dulu. Tapi maaf kamar Rio kecil..." ucap ibu Hartati yang langsung dituruti oleh tujuh teman Rio. "Ibu bikinin minum dulu..."

"Ibu aku bantuin boleh?" tawar Indah.

"Ekhem..." seorang remaja gemulai bernama Samsul berdehem, sambil melirik sebal ke arah Indah. "Caper...!"

Indah menjulurkan lidah ke arah Samsul, lalu mendorong pelan punggung ibu Hartati seraya berkata, "yuk bu, Indah bantuin. Jangan ladenin mahluk astral..."

"Nggak ngrepotin?" Ibu Hartati merasa sungkan.

"Enggak, santai."

Ibu Hartati tersenyum simpul, ia berjalan ke luar kamar sambil didorong punggungnya sama Indah. Semantara teman-teman yang lain berjalan ke arah dipan, menghampiri Rio.

"Lu sakit apa sih beb? gue kangen banget sama elu. Gila sepi banget sekolah enggak ada elu. Terutama gue, hati gue kesepian." cerocos Samsul setelah ia duduk di tepi dipan.

Terlihat Rio mengkerutkan wajah, rasa pusing di kepalanya semakin bertambah saat mendengar mulut Samsul berkicau.

"Lu udah berobat belum Ri?" ucap Heru yang sedang berdiri di samping kepala dipan, di dekat Rio. Telapak tangannya dengan lembut menyentuh kening, lalu turun ke bagian leher Rio. Memeriksa suhu badan Rio, sambil sedikit meresapi sentuhan telapak tangannya di kulit Rio. "Badan lu nggak panas, biasa aja."

"Gue cuma masuk angin kayaknya," aku Rio. "Udah ke puskesmas...juga." Rio mengedarkan pandangan ke arah teman-temannya, ada yang ikut duduk di kasur, ada yang mengambil kursi lalu duduk di samping dipan, dan ada juga yang masih berdiri, seperti Heru.

"-tapi thanks ya, kalian udah nengokin gue." Lanjut Rio.

Bola mata Heru kebetulan melihat piring kecil berisi hand body yang sudah dicampur dengan minyak kayu putih, lalu ada koin logam di sisi piring kecil tersebut. "Lu habis kerikan ya, Ri?" tebak Heru.

"Belum, tadi mau di kerik sama ibu. Trus kalian dateng. Jadi belum sempet." Jelas Rio.

"Oh... yaudah kalo gitu biar gue aja ngerik..." ucap Heru sambil berjalan mendekati piring kecil tersebut.

"Gue aja...!"

Heru menghentikan langkah, mendengkus kesal, lalu menyandarkan kembali tubuhnya di tembok. Ia terlihat kesal lantaran Samsul yang posisinya berada paling dekat dengan alat kerikan langsung menyambar nya.

Heru hanya bisa diam dan pasrah.

"-gue jago kok Ri, ngerok. Nyokap sama bokap kalo masuk angin pasti gue yang ngerikin." jelas Samsul penuh semanagat. "Sekarang buka kaos lu, biar gue kerikin."

"Nggak usah deh, biar ibu gue aja ntar..." tolak Rio. Ia tidak ingin kalau nanti Samsul mengambil kesempatan dalam kesempitan. Meraba-raba tubuhnya. Soalnya kalau di sekolah samsul suka seperti itu, tiba-tiba nemplok di tubuh Rio.

"Yah, kok gitu...?" Ucap Samsul kecewa. "Biar sembuh Ri, buruan bukak."

"Nggak, gue pingin ngobrol sama kalian. Kalo kerikan entar nggak konsen." Kilah Rio.

"Yaudah deh," Samsul mendengkus kecewa, sambil meletakkan kembali piring kecil di samping ia duduk.

Sementara Heru tersenyum simpul, ia merasa lega dengan penolakan Rio yang tidak mau dikerik sama Samsul.

"Ngomong-ngomong gimana kabar sekolah?" Terhitung dari mulai Rio mendapat skors selama tiga minggu, ditambah ia harus ijin karena sakit, sudah hampir satu bulan Rio tidak masuk sekolah. Oleh sebab itu ia sangat merindukan suasana sekolah.

"Sekolah biasa aja sih, Ri." jawab Irawan. "Tapi sejak ada si Jems, males gua."

"Iya gue juga tuh," timpal Samsul. "Habis si skors kan dia nggak masuk kayak lu, Ri. Gue kira dia mau keluar. Eh ternyata tadi gue liat di sekolah. Sebel gue. Untung muka dia cakep kalo jelek udah cakar tu anak."

"Mulut sama otak nggak pernab singkron." cibir Saripah sambil mendorong pelan kepala Samsul. "Bukanya tadi lu loncat-loncat gemes ya pas liat Jems masuk sekolah."

"Ih enggak kok," bela Samsul sambil menatap malu ke arah Rio. "Beneran kok Ri, gue nggak suka sama Jems. Sungguh Ri... lu percaya ama gue!" Tegas Samsul.

"Eh, monyong...!" Timpal Irawan. "Emang ngaruhnya apa sama Rio lu suka sama Jems apa enggak?"

Samsul tersenyum nyengir, wajahnya terlihat salah tingkah. "Yah, gue takut aja sih. Ntra mikirnya gue berpaling dari Rio. Padahal gue kan nggak suka sama Jems."

"Bisa nggak sih, jangan sebut nama dia depan gue?!" Geram Rio. Mendengar nama Jamal ia menjadi bertambah mual ingin muntah. Rio juga jadi teringat akan pengalaman buruk yang menimpanya. Rasanya ia jadi ingin segera pulih dari sakitnya, lalu memberikan pembalasan yang setimpal kepada Jamal.

"Jamaaal... tunggu pembalasan gue." Umpat Rio dan dalam hati. Rahang tegasnya mengeras, sorot matanya menatap tajam kedepan, sementara jemarinya mengepal kuat.