webnovel

Cerpen / Short Story

Beberapa cerita pendek yang idenya muncul setiap tengah malam. Tidak ada spesifik genre ataupun tema, beberapa mungkin terasa gelap (dark) namun beberapa mungkin terasa segar. Tulisan pertama penulis. Semoga suka dengan ini! - Bahagia, Itu Saja - Haru di Musim Dingin

peachvelvet73 · 現実
レビュー数が足りません
5 Chs

Talking with Strangers

Suara air dari keran yang terbuka menyadarkanku bahwa aku sudah berada di kamar mandi selama dua puluh menit. Ku basuh mukaku dengan air tanpa peduli dengan make up yang masih menempel pada wajahku. Menatap bayangan diriku pada kaca yang sedang menahan tangis dan emosi dalam diriku.

Aku beranjak pergi dan kembali ke kantor setelah membersihkan wajahku dengan benar. Berjalan seraya mencoba menegakkan kembali kepercayaan diriku yang beberapa saat lalu pondasinya diruntuhkan oleh atasanku.

"Benar, ini hanya hari yang buruk. Bukan hidup yang buruk." Ucapku pada diri sendiri.

Saat ku buka pintu bertuliskan Departemen Pemasaran, dua orang yang berada di dalamnya menoleh dengan cepat ke arahku.

"Bu Gina baik-baik saja?" Tanya Dewi yang merupakan tim senior yang sudah bekerja denganku selama tiga tahun. Di sebelahnya adalah William yang dua bulan lalu masuk sebagai tim kami.

"Aku baik-baik saja. Tidak usah khawatir." Jawabku dengan menampilkan senyum palsu yang ku buat agar raut kekhawatiran di wajah mereka hilang.

"Sudah jam pulang. Kalian tidak siap-siap?" Tanyaku lagi.

"Masih ada dua email lagi bu. Setelahnya kami akan pulang." William yang kini menjawabku.

"Oke, pastikan hanya dua email. Setelahnya kalian harus pulang, mengerti?"

"Siap bu!" Mereka menjawab bersamaan.

Aku meninggalkan senyuman pada mereka dan bergegas menuju mobilku. Aku tidak akan langsung pulang hari ini, aku masih harus bertemu dengan seseorang yang baru saja membalas pesan dari ponselku.

Mobilku terparkir di dekat sebuah taman yang cukup besar dengan beberapa gedung kantor yang mengapitnya. Aku memutuskan untuk menunggu di sebuah bangku putih sebelum akhirnya sosok pria dengan setelan kantor itu muncul dan berjalan menghampiriku. Dia berjalan agak cepat sembari melonggarkan dasi biru tua bergaris putih yang melingkar di lehernya.

"Sepertinya kau sibuk?" Tanyaku padanya yang duduk berjarak di sebelahku tanpa mengucapkan kata apapun. Bahkan tak ada kata 'halo', dia hanya menungguku untuk berbicara kali ini.

"Pekerjaanku banyak, jadi cepatlah." Hal yang aku harapkan darinya adalah dia dapat menenangkan diriku. Namun sebaliknya, dia pada akhirnya hanya membuatku merasa kesal.

"Aku tak masalah jika kau tak ingin mendengarkanku." Ucapku yang bergegas berdiri untuk pergi.

"Mendengarkan hal yang sama setiap saat, bukankah itu membosankan? Masalah yang kau ceritakan padaku pada dasarnya sama saja, Gina." Aku berbalik dan mendapati sikap angkuhnya saat mengatakan ini padaku.

"Aku kira kita masih bisa berbicara layaknya seorang teman setelah hubungan ini berakhir, tapi sepertinya aku salah." Kata-kataku membuatnya berdiri dan berjalan mendekat ke arahku.

"Kau selalu mengeluh soal pekerjaanmu. Banyak hal yang menurutmu tidak cocok untukmu. Banyak hal yang sudah kau lakukan tapi kau tetap mengeluh hal yang sama. Kau tahu? Masalahnya ada pada dirimu!"

Selama aku menjalani hubungan dengannya, baru kali ini dia membentakku seperti itu. Benar, kami putus karena dia sudah bosan denganku.

"Berhentilah bekerja jika tidak sanggup. Kau hanya memberatkan dirimu sendiri dan karyawan lainnya." Aku benar-benar ingin menamparnya sekarang, tapi ku urungkan niatku dan hanya berjalan membelakanginya tanpa menjawab ucapan sampahnya.

Seketika suasana hatiku kacau dan aku merasa tak ingin pulang ke rumah saat ini. Hingga pada akhirnya aku menyetir sampai ke daerah yang cukup jauh dari kota. Sekitar tiga puluh menit perjalanan untuk sampai di sebuah bar milik temanku, Angie.

"Gina!!" Serunya yang menungguku di depan pintu masuk. Ku peluk erat teman yang dekat denganku sejak kami berada di universitas yang sama. Angie mengantarku masuk lalu memberiku dua gelas bir. Aku membawa minuman itu dan bergeser duduk di sebuah kursi tepat di depan panggung yang digunakan untuk pertunjukkan band.

"Maaf, meja ini sudah dipesan untukku." Ucap seorang pria dengan tubuh yang cukup tinggi kepadaku.

"Oh maafkan aku." Ucapku padanya seraya menatap ke arah lain untuk melihat kursi kosong yang bisa ku tempati.

"Kau bisa duduk disini denganku, hari ini aku datang sendirian." Lanjutnya yang membuatku menatap senyum ramahnya. Dia lalu duduk dan memesan tiga botol bir yang membuatku hanya menatap ke arahnya terus menerus tanpa berbicara padanya.

"Baru pertama kali melihat seseorang yang minum banyak?" Kali ini dia mengatakannya sambil tertawa kecil.

"Tidak." Jawabku dengan membuang muka padanya.

"Hahaha." Aku menatapnya kembali dengan heran karena menertawaiku.

"Kau sepertinya sedang ada masalah."

"Jangan sok tahu."

"Aku hanya menebak. Dan aku rasa, aku benar." Aku tak menggubris ucapannya dan hanya memandang ke arah bar, berharap Angie datang melihatku jadi aku bisa berbicara padanya tentang apa yang aku lalui hari ini.

"Mereka sedang sibuk. Ada dua tamu VIP yang datang." Ucapnya yang membuatku meneguk sisa bir di gelas pertamaku.

"Kau bisa bicara padaku, jika kau mau."

"Aku bahkan tak mengenalmu." Jawabku ketus.

"Kau pernah dengar istilah talking with strangers?" Aku hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Kau bisa bicara apapun dengan orang yang tak dikenal. Beberapa orang merasa nyaman melakukannya." Jelasnya.

"Jadi?"

"Kalau kau mau, kau bisa bicara padaku soal apapun. Aku akan mendengarnya." Hal yang ada di pikiranku saat ini adalah pria ini sudah gila.

Tapi senyuman serta lesung pipi yang ditampilkannya membuatku mengubah pikiranku itu. Jadi aku mulai bicara mengenai semua masalah yang ku hadapi hari ini. Dari pekerjaan di kantor hingga mantanku yang mengabaikanku saat aku mencoba bicara padanya.

Mungkin kembali bertemu dengan mantan pacar untuk bicara tentang masalahmu terdengar bodoh, namun begitulah, aku masih merasa nyaman bicara dengannya hingga hari ini dia mengatakan dengan jujur bahwa dia sudah muak dengan itu.

Aku bahkan mulai mengeluh setelah beberapa saat aku bicara dengan pria asing ini. Dia tak banyak menanggapiku, hanya mendengarkanku bicara dengan kontak mata yang selalu diarahkan padaku.

"Kau sudah melakukannya dengan baik." Ucapnya. Itu adalah kalimat pertamanya setelah aku selesai bicara.

"Hah?"

"Kau sudah melakukannya dengan baik. Sebuah masalah yang muncul adalah suatu hal yang wajar. Mengeluh juga hal yang wajar."

"Aku tak salah dengar kan?" Ucapku lagi. Bagaimana bisa dia mengatakan bahwa mengeluh adalah hal yang wajar?

"Tidak." Jawabnya lalu tersenyum.

"Aku yakin itu hanya bagaimana seseorang mengekspresikan perasaannya. Dan aku yakin seseorang tidak akan menyerah begitu saja dengan suatu masalah." Aku menatapnya heran dengan ucapannya barusan.

"Jika kau bertemu masalah dan merasa ingin menyerah pada suatu hal, ingatlah seberapa keras kau mendapatkan hal itu. Seberapa besar usaha yang kau lakukan demi mencapainya." Lanjutnya seraya mendekat dan menatapku yang masih terdiam tanpa menanggapi satupun dari ucapannya.

"Tidak perlu setiap pagi mengatakan 'terima kasih' dan 'kau sudah melakukannya dengan baik' pada diri sendiri. Tapi cobalah mulai besok untuk mengatakannya pada dirimu sendiri, nona bir."

"Nona bir?" Tanyaku. Kita memang tak ingin menyebut nama masing-masing. Namun panggilan nona bir sepertinya sedikit berlebihan untukku.

"Sesuai dengan porsi birmu." Jawabnya yang sekarang menertawaiku dengan keras setelah aku menatap enam gelas bir kosong di depanku. Percayalah, aku benar-benar bukan peminum berat!

"Aku harus pergi. Sampai bertemu lagi!" Itulah kata-kata terakhir yang pria itu ucapkan padaku seraya pergi meninggalkan bar milik Angie.

Aku masih duduk dengan memegang gelas ketujuhku malam ini. Mengingat bagaimana hal-hal buruk yang terjadi di masa lalu.

Menyadari benar bahwa aku menemui beberapa teman untuk bicara tentang masalahku, mengeluh akan hal yang menjengkelkan, namun aku tetap melanjutkannya tanpa berpikir untuk berhenti. Itu karena pekerjaan ini adalah pilihanku, mimpi yang aku buat dalam hidupku dan ingin aku capai.

Seorang pelayan mendatangi mejaku dan memberiku sebuah kertas kecil berwarna biru. Dia mengatakan bahwa pria yang tadi duduk bersamaku sudah membayar tagihan minuman dan memintanya untuk memberi kertas ini.

"Kau tak perlu mengenalku, yang kau perlu lakukan adalah mengenal dirimu sendiri dengan baik. Cobalah cintai dirimu sebanyak kau mencintai orang yang kau sayangi.. Aku harap kita bisa bertemu lagi lain waktu!"

#PV

#IPS

9 August 2020