5 Sebuah Keegoisan

"Tittt.. Titttt."

Alarm dari ponsel membangunkanku tepat pada pukul enam pagi. Tanpa kegiatan  bermalas-malasan yang selalu ku lakukan saat bangun tidur, aku langsung menyambar handuk dan pergi mandi. Bernyanyi lagu favoritku dari salah satu grup band beraliran pop-rock sembari bersiul menunjukkan kegembiraanku.

"Prim, kau sudah bangun?" Kudengar suara ibuku sedikit kencang dari luar kamar mandi.

"Sudah bu." Jawabku yang tetap melanjutkan mandi. Aku rasa ibu heran karena aku bangun sepagi ini. Sekitar setengah jam ku habiskan untuk memilih baju dan berdandan, mempersiapkan diriku untuk pergi ke suatu tempat hari ini.

"Makan dulu. Jangan pergi tanpa sarapan." Ucap ibuku yang kini berada di depan pintu kamarku.

"Tapi nanti terlambat bu." Kataku seraya menguncupkan bibirku padanya.

"Tetap saja kau harus tetap sarapan. Ibu tak perduli hari ini adalah hari yang sangat spesial seperti yang kau katakan. Kau tak mau sudah dandan cantik tapi tiba-tiba pingsan kan?" Aku tahu ibu hanya mengkhawatirkanku dengan mengatakan hal itu, terlepas dia juga memarahiku sekarang.

"Bu, aku berangkat ya!" teriakku saat aku sudah berada di dalam mobilku untuk menuju ke bandara. Ku nyalakan musik untuk mengurangi rasa gugupku.

"Ah, jantungku lama-lama akan copot jika terus berdetak sekeras ini!" Ucapku pada diri sendiri.

Tak perlu menunggu terlalu lama untuk memarkirkan mobilku di area bandara karena aku datang di pagi hari. Merapikan sedikit ujung rambut yang ku bentuk ikal sebelum keluar dan menuju area kedatangan internasional.

Aku tak bisa menahan langkahku yang sedikit berlari dengan sebuah tas kecil berisi kado untuk Thara, sosok yang ku tunggu selama empat tahun lamanya. Aku berdiri tepat di sebelah area tunggu dengan jejeran kursi kayu tua yang khas sembari bergantian melihat ponselku dan ke arah pintu kedatangan. Tak satupun pesan muncul seperti yang ku harapkan, hingga aku berpikir apakah aku salah melihat tanggal kedatangan Thara?

"Kenapa cemberut gitu?" Suara yang sangat familiar terdengar di telingaku. Aku menoleh ke arah suara yang kini membuatku seakan ingin melompat kegirangan.

"Kak Thara!" Ucapku yang seketika memeluk pria tinggi itu. Memeluknya erat seakan aku tak ingin membiarkannya kembali masuk ke area keberangkatan.

"Kau menunggu lama?" Tanyanya. Aku menggeleng keras hingga membuatnya tertawa. Dia berada di sebelahku, mendengarkanku bercerita di sepanjang jalan menuju mobil. Hingga beberapa saat ku sadari hadiah yang ku bawa belum aku berikan padanya. Dia tersenyum setelah mengintip sedikit ke dalamnya. Saat aku ingin melanjutkan langkahku, dia menarik lenganku dan memutar tubuhku menghadap dirinya.

"Prim, terima kasih. Terima kasih untuk hadiahnya dan terima kasih telah menungguku." Kata-katanya membuatku terdiam sejenak.

Menatap kedua matanya yang mengingatkanku bahwa akulah yang menolak keras untuk bertahan pada hubungan jarak jauh ini. Empat tahun bukanlah hal yang mudah untuk menunggu seseorang tanpa kepastian yang jelas. Benar, kami bukanlah sepasang kekasih. Hubungan kami hanya sebatas dekat tanpa adanya suatu ikatan. Alasan terbesarnya adalah Thara yang tidak ingin terikat pada hal itu. Terdengar egois, namun aku menghormati keputusannya.

"Aku tahu itu sangat sulit untukmu, tapi seperti yang aku katakan bahwa kita akan melewatinya bersama." Ucapnya.

Kenangan - kenangan akan kebersamaan kami  seakan datang menghampiriku saat ini. Aku ingat betul bahwa dia memintaku untuk tetap disini melanjutkan studi tanpa harus ikut pindah ke Amerika bersamanya walaupun aku bisa melakukannya.

Thara mengatakan bahwa aku harus tetap memikirkan diriku sendiri, bukan egois namun lebih kepada mencintai diriku sendiri adalah sebuah prioritas. Dia tahu bahwa cintaku padanya juga penting, tapi masa depanku lebih penting darinya. Dia membuatku berpikir lebih terbuka, dan hal itulah yang membuatku semakin jatuh cinta padanya.

"Jadi Prim, maukah kau membuka lembaran baru kehidupan bersamaku mulai saat ini?" Lanjutnya yang seketika membuatku tersenyum. 

#PV #IPS

23 Jul 2020

avataravatar