webnovel

Baru Juga Mulai...

~Kerjakan apa yang ada dengan lapang dada. Maka, hasilnya akan buat kita puas dengan sendirinya~

Naraya menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya setelah baru saja kembali dari mengurusi acara musik yang saat ini sedang dia tangani. Acara benar-benar kacau. Naraya rasanya ingin menghentikan acara itu di tengah jalan tadi.

"Kak…."

Naraya kembali membuka matanya saat ada yang kembali memanggil. Padahal dia baru dua menit memejamkan matanya untuk menghilangkan emosi yang menggebu-gebu dalam kepala.

"Apa?" tanya Naraya dingin.

"Salah satu tamu ingin ketemu Kak Naraya. Katanya ada yang ingin dibicarakan," lanjut anak magang tersebut.

Gadis bersurai panjang itu kembali mendesah. Emosinya belum stabil, tapi dia harus kembali menemui para tamu hari ini yang menurutnya sangat sulit diatur. Apalagi seorang penyanyi solo yang baru debut dua minggu yang lalu itu.

"Mau apa lagi dia?" tanya Naraya ketus.

"Aku nggak tahu, Kak. Kak Mega minta aku manggil Kakak buat ke sana."

Dengan sangat terpaksa, Naraya kembali bangkit dan berjalan gontai kembali ke studio 5, tempat syuting acara musik yang sedang dia tangani. Seharusnya, tamu yang pertama kali tampil itu sudah pulang sejak tadi. Kenapa mereka masih membiarkan orang lain masuk ke studio saat acara sudah selesai?

Naraya mendorong pintu dan menghampiri Mega—sutradara—yang sedang mengobrol dengan laki-laki itu, juga ada Manager di sampingnya. Saat Naraya sudah ikut bergabung dengan mereka, perbicangan mereka pun terhenti.

"Wah… ternyata produser barunya cantik, ya? Saya dari tadi bertanya-tanya siapa sosok cantik di balik kamera itu. Ternyata produser baru," kata laki-laki yang memintanya untuk bertemu itu.

Dari nada bicaranya saja Naraya bisa menebak bagaimana watak orang itu. Dan laki-laki yang mengenakan rompi jeans itu adalah jenis orang yang paling Naraya benci. Orang yang terlalu sok dengan apa yang dia miliki.

"Ada perlu apa, ya? Acaranya sudah selesai, jadi area ini harus disterilkan lagi," ucap Naraya dingin dengan memasang ekspresi datar.

Laki-laki tersebut mengukir senyum lebar yang di mata Naraya malah terlihat mengerikan. Ingin sekali dia menampar wajah songong itu agar senyumnya hilang.

"Saya biasanya foto-foto kalo selesai nampil. Dan kebetulan sekarang sudah ada produser baru, jadi saya ingin foto dengan produser baru ini. Dua minggu lalu juga saya foto dengan Bang Eko sama Mega kok," papar laki-laki tersebut.

"Maaf, saya tidak biasa foto dengan orang asing." Setelah mengatakan kalimat penolakan itu, Naraya langsung berbalik tanpa mempedulikan teriakan-teriakan Mega ataupun laki-laki itu yang terus memintanya untuk kembali dan melayani permintaan tidak pentingnya itu.

Waktu 10 menit Naraya yang berharga seketika terbuang sia-sia hanya karena manusia songong itu. Kalau dia tahu laki-laki itu hanya ingin foto bersama dengannya, sudah pasti Naraya akan menolak keras.

Dia kembali ke meja kerjanya. Memeriksa konsep acara yang sudah dibuat tim kreatif, penulis naskah dan juga beberapa anak magang. Beberapa menit kemudian dia kembali bergeram kesal.

Tangan Derana reflek membanting polpen yang sejak tadi digunakan untuk mencoret-coret hasil kerja rekan kerjanya yang ternyata tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan.

Wanodya yang baru saja kembali dari ruang editing sempat terkejut karena tiba-tiba Naraya menggeram kesal di sampingnya. "Kenapa mukanya ditekuk gitu, sih? Salah makan?"

"Gue pengen ngumpat, Dya," ucap Naraya tiba-tiba.

"Ya udah ngumpat aja. Waktu dan tempat dipersilakan," balas Wanodya sambil memberi gestur tangan mempersilakan.

"Sialan!"

"Kurang, Nar. Sedikit kasar lagi coba," pancing Wanodya.

"Konsep anjing!" maki Naraya lagi dengan suara sedikit meninggi. Beberapa karyawan yang ada di ruangan itu seketika menghentikan kegiatannya karena tiba-tiba mendengar umpatan Naraya.

"Bagus. Rapat nanti usahakan lebih kasar dan pedas dari ini." Wanodya seperti paham semarah apa Naraya saat ini. Dia tidak ingin menahan temannya itu untuk memendam emosinya. Lebih baik dia keluarkan daripada harus ditumpuk. Lama-kelamaan nanti akan meledak dan lebih berbahaya dari ini.

"Gaga," panggil Naraya saat melihat salah satu anak magang baru saja duduk di tempatnya.

"Iya, Kak?"

"Panggil yang lain. Kita rapat sekarang," perintah Naraya dengan nada dingin. Detik berikutnya dia langsung melangkah ke ruang rapat sambil membawa beberapa berkas yang berisi konsep dari rekan kerjanya.

Untuk meredamkan emosinya, Naraya berusaha menghitung dari satu dan sampai sekarang sudah hampir angka 80. Tepat pada hitungan ke 95, beberapa rekan memasuki ruang rapat dan duduk di kursi yang kosong. Lima menit kemudia semuanya pun sudah berkumpul.

Sebelum menyemprotkan kekesalannya, Naraya kembali menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan. Detik selanjutnya dia langsung menggebrak meja dengan berkas-berkas yang dia bawa tadi. Hal itu sukses membuat semua orang yang ada di ruangan tersebut berjengit kaget.

"Konsep apa-apaan ini? Kalian pikir ini tugas kuliahan? Semua monoton dan tidak ada sisi kreatif sama sekali. Gue maklum sama hasil anak magang karena mereka mungkin belum mumpuni dalam hal ini. Tapi, untuk kalian yang udah bertahun-tahun ada di dunia ini, kalian nggak malu hasil kalian gini-gini aja? Nggak beda jauh dari yang biasanya tahu."

Napas Naraya memburu begitu dia menyelesaikan ucapannya. Ini belum semuanya. Ini masih pembukaannya. Inti dari hal konsep yang sangat dia sesalkan belum dia bahas dan itu lebih parah. Rasanya dia ingin membakar berkas-berkas itu di depan semua orang saat ini.

"Gue minta konsep yang berbeda untuk dua atau tiga minggu kedepan. Harus fresh. Bukan niru konsep acara sebelah. Kalian mau dapat gelar tukang plagiat? Kreatif bukan nyiplak," sembur Naraya lagi sambil menekan-nekan meja menggunakan polpen yang dia pegang erat-erat.

"Kita nggak plagiat, Kak. Kita hanya ambil re—"

"Referensi bukan sampai semua-semuanya mirip, Mega. Lo pikir gue nggak liat dan amati acara Tv sebelah? Kalian coba nipu gue? Kalian pikir gue baru anak kemarin sore di dunia ini?"

"Terus konsep yang Ka Naraya mau sebenarnya yang kayak apa, sih? Kita nggak ngerti karena memang selama ini kita nggak pernah pake konsep berbeda," tim kreatif menyahut.

"Lo nyuruh gue mikirin lagi soal ini? Ini tuh tugas kalian. Kalian sekolah dan kalian harusnya tahu bagaimana mengolah ide untuk sebuah karya. Kalau gue lagi yang ambil alih untuk urusan ini, terus kerjaan kalian apa? Gue minta kalian buat yang baru yang fresh. Nggak perlu terlalu bagus karena gue bakal ikut menyempurnakan hasil kalian. Gue bakal bantu tambal bagian-bagian yang kosong. Hasil kalian ini nggak bisa gue bantu sediki tahu nggak?"

"Kak, mending kita nggak usah berdebat soal ini, deh. Kita pake konsep yang biasa. Kalau gini terus, yang ada kita nggak akan pernah dapet hasil yang sama untuk semua kepala. Karena pada dasarnya, jalan pikiran kita beda sama Kakak," balas perwakilan tim kreatif.

Naraya bangkit dari duduknya. Berkacak pinggang dan menatap tajam mereka satu-persatu.

"Kalian benar-benar nggak bisa diajak berjuang. Kalian benar-benar nggak bisa diajak berkembang. Gue pengen ngajak kalian keluar dari semua kebosanan ini. Kalian harus sadar kalau karya kalian itu hampir ketinggalan zaman."

"Kak! Jangan seenaknya bicara soal karya orang lain. Aku dan teman-teman buat konsep ini bareng Bang Eko dengan susah payah. Karya orang beda-beda dan Kakak nggak berhak buat ngatain karya kami ketinggalan zaman."

Setelah mengatakan hal tersebut, satu persatu tim kreatif meninggalkan ruang rapat. Suasana di sana masih mencekam. Bahkan, anak magang sampai takut untuk bernapas.

Baru kali ini mereka melihat pertengkaran yang begitu sengit. Mereka tidak menyangka kalau Naraya adalah sosok yang keras dan tegas dalam sebuah keputusan. Tapi, di mata staff yang lainnya, Naraya hanyalah sosok egois yang memaksa kemauannya kepada mereka.

Padahal, mereka sudah dua tahu mengurus acara itu dan tidak pernah mendapati rintangan seperti ini. Semua yang mereka kerjakan sesuai dengan rencana dan tidak ada protes dari siapapun.

Jika melihat bagaimana kerasnya Naraya mengomentari hasil dari kerja rekan-rekannya yang lain, mereka tidak bisa untuk melihat Naraya sebagai sosok yang patut dikagumi. Harusnya Naraya yang beradaptasi dengan cara kerja di acara musik ini.

Rapat yang tidak memberikan hasil tidak baik itu akhirnya sampai di telinga sang Manager. Bahkan, kondisi dari staff penanggung jawab acara musik saat ini benar-benar mencekam. Terpantau ada tiga kubu yang sudah terpecah. Mereka adalah kubu yang menentang perintah Naraya, ada yang memilih berada di kubu netral saja, sementara Naraya berdiri sendiri dengan keputusannya sendiri.

"Naraya, ikut saya ke ruangan."

Naraya bangkit dengan ogah-ogahan dan berjalan ke ruang sang Manager. Dia sudah bisa menerka bahwa dia akan menerima teguran mengenai sikapnya tadi.