webnovel

Apapun Itu

~Lakukan apa yang bisa dilakukan sekarang~

"Pagi…," seru Kak Sita dengan begitu semangatnya. Dia seperti itu karena kemarin acaranya baru saja mendapatkan rating tertinggi dari semua acara yang ada di perusahaan ini. Ya, walaupun ratingnya belum mengalahkan rating acara yang dulu dibuat Naraya.

"Orang yang baru aja rating tinggi semangatnya bukan main, ya?" timpal salah satu anak magang yang saat itu sedang menunggu hasil printnya di mesin printer yang ada di sudut ruang divisi produksi.

"Oh, iya dong harus semangat. Masa iya acaranya lagi naik daun produsernya harus bersungut-sungut, sih?" balas Kak Sita.

"Bau-bau traktiran makan malam, nih, kayaknya," goda Kak Dede yang baru saja kembali dari kamar mandi."

"Asiiiikk. Jajan lagi deh," seru Wanodya ikut dalam keseruan pagi itu.

Beda dengan suasana bahagia Kak Sita dan yang lainnya, Naraya malah menekuk wajahnya karena sebentar lagi dia akan melaksanakan rapat dengan staff dari acara musik.

Membayangkan saja rasa semangat Naraya sudah menguap tidak bersisa. Tempat itu benar-benar takdir yang tidak pernah diharapkan Narata. Tapi, dia bisa apa? Selain harus dengar apa kata atasan, dia juga harus bersikap profesional dengan apapun tanggung jawab yang diamanahkan kepadanya.

"Kak Naraya, ruang rapatnya udah siap," kata Edu—salah satu staff acara tersebut.

Naraya mengangguk sekilas lalu mengambil notebook khusus rapat miliknya. Sebelum dia berhadapan dengan hal yang tidak dia sukai, ada baiknya dia minum sekotak susu coklat terlebih dahulu. Biar dia tidak stres nantinya.

Naraya mengembuskan napas kasar dan bangkit dari duduknya. Langkahnya terhenti saat Wanodya dengan menyebalkannya memberi semangat kepada Naraya. Padahal kan bukan itu yang dibutuhkan Naraya saat ini.

"Jangan dijudesin anak-anaknya, Nar. Nanti kabur, lho," tambah Wanodya.

Naraya mendengus dan melanjutkan langkahnya pergi ke ruang rapat. Tidak banyak ternyata staff yang bertanggung jawab dalam acara tersebut. Meja rapat yang panjang itu bahkan tidak terisi penuh.

Naraya menarik salah satu kursi yang paling dekat dengan papan putih besar. Sekali lagi dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa pekerjaan ini sama pentingnya dengan pekerjaannya yang lain, jadi dia harus bersikap profesional dan adil dalam menyikapi pekerjaan yang ada.

"Sebelum kita mulai rapat hari ini, ada baiknya kenalan dulu, kan? Soalnya kalian semua anak baru saat aku cuti. Jadi... mulai dari siapa, nih, yang mau memperkenalkan dirinya?"

Seorang cowok yang duduk di kursi ketiga darinya langsung mengangkat tangan sambil tersenyum lebar. "Saya, Kak."

Perkenalan pun berlanjut sampai ke staff yang terakhir. Setelah mengetahui nama dan tanggung jawab mereka, rasanya Naraya ingin berteriak saat ini juga karena kesal. Tapi, dia berusaha menahan emosinya itu karena tidak ingin membuat rekan-rekannya itu tersinggung.

"Jadi, sebagian dari kalian ini anak magang? Udah lulus kuliah atau gimana, nih?" tanya Naraya dengan berusaha keras mengontrol nada bicaranya untuk terdengar biasa saja.

"Hanya satu orang saja yang masih kuliah, Kak. Yang lain udah lulus dan lagi cari pengalaman kerja," jawab Eri, asisten produser.

Naraya berusaha mengulas senyum walaupun rasanya berat. Dalam hati dia mengumpat Pak Cecep dan Managernya karena menempatkan Naraya di tempat yang banyak sekali anak baru yang minim pengalaman.

Dia tahu, dia tidak bisa bersikap seperti ini. Tapi, rasanya Naraya sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah diberi tanggung jawab terhadap apa yang dia tidak sukai plus bersama orang-orang yang masih butuh pengarahan. Apakah ini artinya dia punya kerja ganda setelah ini? Jadi produser sekaligus mentor buat anak magang?

"Oke. Sekarang kita mulai rapatnya." Naraya langsung mengalihkan pembahasan ke inti rapat. Dia tidak boleh berlama-lama memikirkan betapa sialnya dia saat ini. "Jadi, konsep acara yang selama ini berjalan seperti apa? Apa masih seperti yang gue liat di TV itu?" lanjut Naraya yang sudah memasang ekspresi serius.

Setelah itu, asisten produser dan perwakilan dari tim kreatif menjelaskan konsep yang selama ini mereka jalankan. Mulai dari pemilihan tamu sebagai pengisi acara. Kegiatan lain yang dilakukan di atas panggung saat break dari penampilan. Sampai ke tempat siaran yang belum pernah dikunjungi Naraya.

Naraya kembali mengembuskan napas kasar setelah pemaparan mengenai acara musik itu selesai. Kekesalannya naik dua kali lipat dari yang tadi. Untung saja dia tidak menggebrak meja ketika rekan kerjanya itu memaparkan hal yang menurutnya tidak patut untuk dibahas karena sia-sia.

"Jadi… selama ini kalian hanya menggunakan satu konsep saja? Apa kalian tidak pernah memikirkan konsep lain selain ini? Kalian tidak bosan apa dengan tampilan yang begitu-begitu saja setiap minggunya? Para penonton bukan hanya liat siapa yang tampil saat itu, tapi juga hal-hal pendukung lain. Tatanan panggung, lighting, penonton langsung, games, dan yang lainnya. Kalian pernah nonton acara kalian ini di TV, nggak? Pernah nggak kalian ada di posisi sebagai penonton? Jujur, gue pernah liat acara kalian selama gue cuti dan gue langsung pindah chanel belum sampai lima menit."

Akhirnya Naraya mengutarakan apa yang membuatnya kesal dari tadi. Memang seharusnya dia begini, kan? Apa gunanya memberi apresiasi pada hasil yang sangat mengecewakan.

Ada yang bilang, jangan hanya lihat dari hasilnya, tapi juga pada prosesnya. Perjuangan yang sudah dilakukan untuk menghasilkan suatu hasil. Tapi, jika hasilnya seperti ini apakah masih bisa prosesnya dihargai? Bukankah hasil yang berkualitas rendah itu buah dari proses yang tidak sungguh-sungguh?

Dan Naraya melihat hal itu dari bagaimana acara musik itu muncul di layar televisi. Dia tidak bisa melihat adanya secuil kesungguhan di sana. Yang bisa dia simpulkan dari hasil dari program ini adalah hanyalah sebuah kewajiban menjalankan tugas dari atasan, bukan sebagai bentuk berkarya dan berproses.

"Jawab dong. Tim kreatif. Coba jelasin kenapa kalian tidak kepikiran untuk mengupgrade konsep kalian ini?"

"Ini semua demi efisiensi, Kak. Kalau kita harus ganti konsep setiap minggu, pasti akan memakan biaya lebih besar dan juga kelimpungan karena belum terbiasa dengan konsep baru," jelas Abe, salah satu perwakilan dari tim kreatif.

Naraya mendesah. Jawaban yang hanya akan diberikan oleh seorang pengecut. Menurut Naraya.

"Kalian kenapa harus mikir anggaran? Emang kita pake anggaran pribadi? Itu urusan perusahaan. Tugas kita buat hal yang lebih bagus dan lebih fresh dari yang biasanya. Dan juga, kalian takut kelimpungan dengan konsep baru? Hey, kalian tidak mau berkembang? Mau ketinggalan zaman? Kalian mau acara ini akhirnya terpaksa dibubarkan karena penonton yang sudah tidak ingin lihat hal yang tidak menarik lagi?"

Naraya tidak bisa lagi untuk membiasakan nada bicaranya. Bahkan setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu disertai dengan gembrakan meja. Untung saja ruangan ini kedap suara, jadi tidak akan sampai terdengar sampai ke luar. Tapi, Naraya yakin orang yang ada di luar ruangan sana bisa melihat bagaimana emosinya dia saat ini karena ruangannya hanya berdinding kaca.

Ruangan pun jadi hening beberapa menit setelah Naraya menyemburkan emosinya itu. Tidak ada yang berani menanggapi karena apa yang dikatakan Naraya semuanya benar.

"Gue mau konsepnya ganti. Tim kreatif segera rubah konsep yang sekarang. Rubah total tanpa terkecuali. Gue kasih waktu sampai acara minggu depan," putus Naraya akhirnya.

"Baik, Kak," jawab staff dari tim kreatif.

"Anak magang yang ada semuanya ikut bantuin tim kreatif. Jadikan tugas ini sebagai wadah kalian menuangkan ide. Gue mau konsepnya relate sama apa yang sedang naik saat ini. Kalau bingung, kalian bisa cari-cari referensi dari acara musik yang ada di Korea sana. Mereka punya banyak sekali acara musik dengan konsep berbeda."

Setelah itu, Naraya menutup rapat tersebut dengan permintaan maaf karena merasa sudah berbicara sedikit kasar kepada rekan kerjanya.

Tepat Naraya keluar dari ruang rapat, dia langsung bergegas ke ruang Manager begitu dia melihat perempuan itu masuk ke ruangannya. Naraya mengetuk pintu ruangan atasannya itu lalu terdengar perintah untuk masuk.

"Ada apa, Naraya?" tanya Dahayu, sang Manager.

"Bu. Saya mau pindah ke acara lain, bisa?"

Alis Dahayu saling bertaut mendengar permintaan Naraya. Dia pikir Naraya sudah ikhlas dirinya bergabung bersama acara musik. "Jawaban saya tetap sama."

"Tapi, Bu… saya benar-benar nggak bisa akur sama acara itu. Rasanya saya pengen nyerah aja buat handle acara itu. Banyak kurangnya, banyak anak magangnya, pokoknya banyak yang bisa buat saya sakit kepala, Bu," keluh Naraya.

"Kalau nggak ya nggak, Naraya. Itu tugas kamu. Tugas kamu buat acara itu jadi lebih berkualitas. Atau begini saja Naraya…saya tantang kamu. Kalau rating acara itu naik dalam waktu tiga minggu, maka saya akan bujuk Pak Cecep untuk mindahin kamu kurang dari tiga bulan. Gimana?"

Mendengar tawaran sang Manager membuat Naraya berpikir keras. Jika dia menolak tawaran itu, maka kecil kemungkinan dirinya akan pindah acara dalam waktu singkat. Tapi, kalau dia menerima tawaran itu, artinya dia harus siap berhadapan dengan semua kekacauan yang ada di acara itu dalam waktu satu bulan kedepan.

Akhirnya, Naraya pun mengambil keputusan untuk menerima tawaran sang Manager. Dia pikir, lebih baik sengsara tapi sementara waktu. Daripada bersusah payah membujuk tapi belum tentu ada hasilnya.