webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · 若者
レビュー数が足りません
251 Chs

Ya udah, g'ak apa-apa

Selang beberapa detik kemudian, Cakya kembali melangkah perlahan. Cakya hanya diam, menata kembali perasaannya.

"Maaf...", Erfly bicara lirih.

"Maaf buat apa...?", Cakya bertanya bingung.

"Erfly g'ak bisa mampir dulu ketemu mama sama papa", Erfly bicara pelan. Erfly merasa bersalah karena tidak bisa pamit dengan cara baik-baik.

"Ya udah, g'ak apa-apa", Cakya bicara pelan.

"Cakya marah...?", Erfly menyelidiki.

"Marah buat apa...?", Cakya bertanya bingung.

"Erfly... Harus langsung pulang ke Garut", Erfly bicara ragu-ragu.

"Iya g'ak apa-apa, Cakya baik-baik saja", Cakya bicara sesantai yang dia bisa.

"Erfly... Haus...", Erfly berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

Cakya menatap jam tangannya, benar saja, tidak terasa mereka sudah berjalan hampir satu jam. Cakya memilih untuk beristirahat sejenak, Cakya menurunkan Erfly dengan hati-hati, kemudian membantu Erfly duduk diakar pohon.

Cakya memilih duduk tidak jauh dari Erfly, Cakya menyerahkan botol minum yang ada di kantong celana gunungnya ketangan Erfly setelah membuka tutup botolnya. Tidak menunggu aba-aba lagi, Erfly langsung meneguk minumannya.

Setelah minum, Erfly mengembalikan botol minum kembali ke tangan Cakya. "Terima kasih...", Erfly bicara pelan.

Cakya hanya mengangguk pelan, kemudian meneguk minuman dari botol.

Erfly menggenggam jemari tangan kanan Cakya, "Cakya marah...?!", Erfly bertanya lembut.

Cakya tersenyum, kemudian kembali menutup botol minum dan kembali memasukkannya kedalam saku celananya.

"Cakya g'ak marah. Cakya juga g'ak apa-apa. Cakya ngerti kok, Erfly harus langsung pulang", Cakya bicara pelan.

"Beneran...?", Erfly kembali bertanya, memastikan ucapan Cakya sebelumnya bukan hanya sekedar basa-basi saja.

"Erfly... Cakya itu sayang sama Erfly. Kalau Cakya nahan Erfly buat pulang ke Garut dan meninggalkan pekerjaan Erfly, itu tandanya Cakya egois. Cakya g'ak mau, gara-gara Cakya... Erfly ngorbanin kerjaan Erfly", Cakya menjelaskan dengan sabar kepada Erfly.

"Tapi...", Erfly tidak bisa melanjutkan ucapannya, karena Cakya sudah kembali menyela.

"Hei... Erfly itu cuma ke Garut. Kita masih bisa telfon-telfonan, Vidio call, jangan udik deh", Cakya meletakkan telapak tangan kanannya keatas pucuk kepala Erfly.

Erfly meraih jemari tangan Cakya yang ada di kepalanya, "Terima kasih...", Erfly bicara pelan, melemparkan senyuman terbaiknya.

"Ya udah, kita jalan lagi", Cakya bicara pelan.

"Emang Cakya g'ak capek...?", Erfly bertanya bingung.

"Cakya baik-baik saja. Lagian... Bentar lagi juga, kita sudah sampai pintu rimba", Cakya bicara pelan.

Erfly tidak menjawab, melainkan hanya mengangguk pelan.

Cakya duduk jongkok dihadapan Erfly, Cakya kemudian perlahan mulai berdiri dengan Erfly yang telah berada di punggungnya.

***

Wika menggenggam jemari tangan kanan Candra.

"Kenapa...?", Candra bertanya lembut.

"Wika... Minta... Maaf...", Wika bicara dengan terbata-bata.

"G'ak perlu minta maaf, istirahat saja", Candra bicara lembut.

"Ayah...", Wika bicara diluar dugaan Candra. Matanya menatap kosong.

Candra sekuat hari menahan tangisnya.

Menit berikutnya, Wika menutup mata.

Sinta bergegas berlari memanggil dokter.

Dokter dengan teliti memeriksa keadaan Wika. "Innalilahi wainailahirojiun", dokter muda itu bicara lirih.

Candra berdiri dari posisi duduknya. "Mbak, tolong urus kepulangan Wika. Makamkan disamping ayah", Candra bicara lirih. Kemudian berlalu menuju mushalla yang ada di samping klinik.

Sinta segera mencari Candra setelah menyelesaikan semua administrasi, Sinta menuju mushala, dan melihat Candra sedang duduk sendirian di dalam mushala.

Sinta berjalan perlahan menghampiri Candra, kemudian duduk di belakang Candra.

"Dek... Semua administrasi sudah selesai, Wika juga sudah masuk ke ambulance", Sinta bicara lembut.

Candra tidak menjawab, melainkan langsung melangkah menuju parkiran.

***

Tidak ada suara yang keluar dari mulut Erfly dan Cakya. Hingga akhirnya mereka bisa melihat pintu rimba.

"Cakya minta maaf, karena melupakan Erfly...", Cakya bicara lirih, langkahnya masih teratur seperti sebelumnya.

"G'ak apa-apa, alhamdulillah... Sekarang kita udah baik-baik saja", Erfly bicara pelan, senyumnya merekah menghiasi bibirnya.

Sesampainya di pos, Cakya menurunkan Erfly diteras rumah.

"Minum dulu", Gama menyerahkan botol minum ketangan Cakya.

"Terima kasih Om", Cakya menjawab pelan, kemudian meneguk minuman pemberian Gama.

Sebuah mobil hitam parkir, Nadhira keluar dari dalam mobil. Sopir bergegas membuka bagasi, dan mengeluarkan nasi kotak yang baru saja mereka beli.

"Tiket jam berapa teh...?", Erfly bertanya pelan, saat Nadhira duduk disampingnya.

"Setelah makan siang dan sholat kita langsung berangkat", Nadhira bicara pelan.

Gama duduk di samping Erfly, saat Cakya pergi ke belakang rumah.

"Dek...", Gama bicara lirih.

"Kenapa bang...?", Erfly menjawab santai, sembari meminum air pemberian Nadhira.

"Terima kasih...", Gama bicara lirih.

Erfly menatap lekat wajah Gama. "Untuk apa bang...?", Erfly bertanya bingung.

"Karena kamu mau menerima Cakya lagi", Gama bicara pelan. "Sejak kecelakaan itu, Cakya kembali seperti waktu Asri meninggal. Cakya kehilangan arah. Bahkan... Kak Vira tiap hari hanya bisa nangis", Gama menjelaskan panjang lebar.

"Sampein salam Erfly ke mama, maaf Erfly g'ak bisa kesana. InsyaAllah lain waktu", Erfly bicara pelan.

Gama hanya mengangguk berkali-kali seperti burung pelatuk.

"Kos-kosan gimana...?", Erfly berusaha tertawa renyah.

"Alhamdulillah... Full semua", Gama menjawab santai.

"Cie... Juragan kos-kosan...", Erfly melemparkan candaannya.

"Ngomong-ngomong, makasih lho dek. Berkat kamu, abang bisa nyelesain sekolah", Gama kembali mengucapkan terimakasih.

"Apa sih bang, itu bukan apa-apa, hanya hal kecil yang bisa Erfly kasih buat abang", Erfly menjawab santai.

"Oh ya, motor kamu masih dirumah lho dek", Gama bicara pelan, kemudian menatap lekat wajah Erfly.

"Pake aja bang, ntar Erfly minta teh Nadhira kirimin surat-suratnya begitu tiba di Garut", Erfly bicara santai.

"Kamu itu dek. Beli motor udah kek beli kacang goreng aja. Main kasih aja sama orang", Gama bicara pelan.

"Ntar kalau Erfly kesini lagi, g'ak perlu repot bawa motor lagi bang. Lagian kalau mau di kirim ke Garut, repot lagi bang, masalah ongkos kirimnya", Erfly tertawa renyah.

"Dek... Kamu masih ingat ada anak kecil yang nangis pas bareng aku beli motor...?", Gama tiba-tiba bertanya.

Erfly diam sejenak memutar kembali ingatannya. "Iya...", Erfly menjawab kurang yakin.

"Dia tinggal sama abang sekarang", Gama bicara pelan, memberikan informasi.

"Kok bisa...?!", Erfly bertanya bingung.

"Ibunya nikah lagi setelah ayahnya meninggal, dan... Ternyata ibunya meninggal bunuh diri tidak lama setelah mereka menikah. Ayah tirinya suka KDRT. G'ak sengaja abang ketemu dia pas pulang kerja, akhirnya abang tawarin dia tinggal sama abang. Hitung-hitung bantu ngerapiin kos-kosan cowok juga. Dia anaknya juga rajin, terus pinter", Gama menjelaskan panjang lebar.

Pertemuan Gama dengan anak kecil malang itu kembali menyerbu di ingatannya. Saat itu hujan deras, Gama baru keluar dari kantor. Anak kecil nan malang itu, duduk dengan melingkarkan kedua kakinya.

Saat Gama menanyakan dia kenapa, anak kecil itu malah menangis sejadi-jadinya. Gama bahkan harus menarik anak kecil lelaki itu kedalam pelukannya.

Butuh waktu cukup lama, untuk Gama bisa berkomunikasi dengan anak kecil itu. Gama bahkan memberikan anak kecil itu minuman hangat terlebih dahulu, karena tubuhnya gemetar dan bibirnya membiru karena kedinginan.