webnovel

Kenapa harus Candra...?

Sesuai dengan rencana, Erfly langsung pulang ke Garut. Demikian juga dengan Alfa dan Nadhira.

Waktu seolah begitu cepat bergulir, bahkan tidak terasa hampir satu tahun Erfly dan Cakya menjalani pacaran jarak jauh.

Sejauh ini hubungan mereka baik-baik saja, Cakya sengaja menunda pernikahannya dengan Erfly, walaupun Erfly sudah bersedia menerima lamarannya. Cakya sebagai seorang lelaki ingin menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu, setelahnya mencari kerja yang mapan, agar tidak bergantung dengan Erfly.

Biar bagaimanapun, Cakya tetaplah seorang lelaki, yang nantinya akan menjadi kepala rumah tangga, punya kewajiban untuk menafkahi istri dan anak-anaknya kelak.

Cakya masih menyeruput kopinya, saat panggilan telfon masuk ke HPnya. Cakya segera menempelkan HPnya kedaun telinganya, kemudian diam sejenak, sebelum akhirnya menutup hubungan telfon.

Cakya segera pamit kepada rekan-rekannya, menuju kerumah dengan motor kesayangannya. Pemandangan yang tidak ingin dilihatnya, begitu masuk melewati pintu utama.

"Assalamu'alaikum...", Cakya bicara lirih.

"Wa'alaikumsalam...", terdengar jawaban hampir bersamaan dari dalam rumah.

Seorang lelaki berdiri, menyambut kedatangan Cakya sebagai tanda penghormatan.

Cakya hanya memasang muka datar, kemudian duduk di bangku yang bisa dia raih didekatnya.

"Bang... Kenalin, ini Candra...", Wulan tiba-tiba angkat bicara memecahkan kesunyian yang tercipta.

Candra mengulurkan tangan kanannya kehadapan Cakya.

Cakya tidak merespon malah beralih menatap adik perempuannya, "Buatkan Cakya kopi susu", Cakya memberi perintah.

Wulan tidak berani membantah, langsung berlalu menuju arah dapur.

Candra yang merasa digantung, kembali menarik jemari tangannya kembali dari hadapan Cakya. Kemudian berusaha tersenyum kaku, sangat terlihat Candra merasakan aura tidak bersahabat dari Cakya.

"Bisa kenal Wulan dimana...?", Cakya bertanya pelan, menatap tajam langsung menembus ketulang belulang Candra.

"Kebetulan... Wulan sempat magang di kantor cabang yang di Jambi, saat menyelesaikan tugas kampusnya...", Candra bicara jujur apa adanya.

Cakya kembali mengingat-ingat. Wulan pernah cerita dia sudah mulai mengajukan proposal untuk tugas akhirnya, dan magang disalah satu perusahaan di dekat kampusnya.

Cakya memang tertinggal dari adiknya, Cakya sengaja menunda kuliahnya karena membantu mencari uang tambahan untuk biaya kuliah Wulan. Makanya saat Wulan sudah menginjak tugas akhir di kampusnya, Cakya baru mulai berjuang semester 3.

"Apa yang kamu lihat dari Wulan...?", Cakya kembali bertanya dingin. Mukanya bahkan tidak menunjukkan aura persahabatan sama sekali.

"Wulan... Anak yang baik, dia bahkan tidak segan-segan membantu rekan sekerjanya. Wulan juga pribadi yang taat melakukan ibadah", Candra melemparkan jawaban yang cukup diplomatis.

Wulan muncul dengan segelas kopi susu pesanan Cakya. Tanpa menunggu aba-aba, Cakya langsung menyeruput kopi buatan adik kesayangannya.

"Cakya balik ke kantor", Cakya bicara lirih. Kemudian berlalu pergi begitu saja dari hadapan Candra, Wulan dan kedua orang tuanya. Setelah mencium punggung tangan kedua orang tuanya.

Suasana terasa kaku, sampai akhirnya Candra memutuskan untuk pamit pulang.

Malah yang panjang untuk Wulan. Bahkan dia tidak bisa tidur sedikitpun, kerena memikirkan sikap kakak sulungnya yang begitu dingin dengan Candra.

"Assalamu'alaikum...", Cakya mengucap salam begitu melewati pintu utama.

"Wa'alaikumsalam...", ibu Cakya menjawab setengah berteriak dari arah dapur.

Cakya duduk melepaskan sepatunya, kemudian duduk bersandar di punggung kursi.

"Abang udah sarapan...?", ibu Cakya bertanya pelan, sembari menyerahkan segelas air putih kehadapan putra sulungnya.

"Ntar aja", Cakya menjawab lemas. Cakya melirik kiri kanan, "Papa sudah ke belakang...?!", Cakya bertanya pelan.

"G'ak, papa ke Kayu Aro. Mencari akar pohon teh. Katanya papa ada pesanan yang masuk, mereka minta udah siap bulan depan", ibu Cakya menjelaskan panjang lebar.

"Bang...", Wulan bicara lirih, saat muncul dari daun pintu kamarnya.

Cakya hanya menatap Wulan, akan tetapi tidak berkomentar apapun.

Wulan beranjak perlahan mendekati Cakya, kemudian duduk tepat dihadapan Cakya.

"Abang... G'ak suka ya sama Candra...?", Wulan langsung bertanya pada intinya.

Cakya kembali meneguk minuman ditangannya. Kemudian menarik nafas panjang.

"Kenapa harus Candra...?", Cakya bertanya sanksi. Cakya tidak berani menatap langsung kewajah adik kesayangannya.

"Memangnya kenapa bang...?", Wulan malah balik bertanya, bukannya menjawab pertanyaan Cakya.

"Wulan...!!!", ibu Cakya bicara setengah berteriak, mengingatkan Wulan agar menjaga sikapnya. Bagaimanapun Cakya tetap lebih tua darinya.

"Apa yang kamu lihat dari Candra...?", Cakya kembali bertanya, kali ini Cakya tidak main-main. Cakya menatap lekat wajah Wulan sembari menunggu jawaban apa yang akan meluncur dari bibir adiknya ini.

"Candra sosok orang yang dewasa. Dia... Bahkan seorang pemimpin yang tidak pandang bulu, dia selalu bersikap baik kepada siapapun. Dia... Juga rajin beribadah", Wulan menjawab dengan kepala tertunduk, Wulan tidak berani menatap tatapan kakak sulungnya itu, tatapan yang penuh kebencian dan perasaan tidak suka dengan Candra kekasihnya.

Cakya tidak melanjutkan percakapannya, "Cakya capek, mau istirahat", Cakya menyudahi percakapannya dengan Wulan secara sepihak kemudian berlalu masuk kedalam kamarnya.

Mana mungkin Cakya akan menyerahkan adik kesayangannya kepada orang sembarangan. Apalagi, Candra punya sejarah kelam dengannya dimasalalu. Cakya harus melewati hidup dan mati, karena orang suruhan ayahnya Candra, almarhum pak Wiratama.

"Ma...", tidak ada pilihan lain, Wulan hanya bisa merengek kepada ibunya menagih penjelasan atas sikap Cakya dan ayahnya yang dirasa tidak biasa.

"Waktu SMA, bang Cakya pernah dikeroyok preman karena menjadi saksi kunci pelecehan kasus anaknya pak Jendral", ibu Cakya mulai angkat bicara.

"Iya, yang bang Cakya harus menjalani operasi. Dan dipaksa dirawat intensif dirumah sakit itu bukan...?!", Wulan menggali ingatannya yang mulai kabur.

"Kamu benar. Yang waktu itu", ibu Cakya tersenyum lembut.

"Lalu...? Apa hubungannya dengan Candra...?", Wulan kembali menagih jawaban kepada ibunya.

"Yang menjadi otak pelecehan itu Candra. Dan... Yang mengirim. Preman untuk mengeroyok abang waktu itu almarhum pak Wiratama, ayahnya Candra.

Dia mengirim preman untuk menakut-nakuti abang, agar mundur menjadi saksi dalam kasus pelecehan itu.

Tapi... Abang menolak, dan akhirnya dia dikeroyok preman bayaran almarhum pak Wiratama", ibu Cakya menjelaskan dengan sabar kepada putri kesayangannya itu.

Wulan tidak merespon, dia masih berusaha keras mencerna ucapan ibunya kata per kata.

"Dan... Soal pekerjaan papa.

Hem... Papa dipaksa untuk membujuk abang agar mundur dari saksi kasus anak pak Jendral.

Bahkan almarhum pak Wiratama menawarkan kenaikan jabatan kepada papa untuk memuluskan jalannya.

Oleh karena itu, papa memutuskan untuk mengundurkan diri menjadi Lurah, dan bekerja seperti sekarang", ibu Cakya kembali menjelaskan panjang lebar, rentetan peristiwa buruk yang dialami keluarga besar mereka karena tingkah Candra.

"Tapi... Selama... Wulan kenal Candra. Dia... Pribadi yang baik selama ini", Wulan berusaha protes, tidak terima dengan penjelasan ibunya yang menjelek-jelekkan pacarnya.

Ibu Cakya tidak melanjutkan ucapannya, dengan gerakan lembut ibu Cakya menarik putrinya kedalam pelukannya. Ibu Cakya tidak ingin menyakiti putrinya dengan melanjutkan ucapannya lagi.

Wulan menangis sejadi-jadinya dalam pelukan ibunya. Bagaikan petir disiang bolong, Wulan harus menerima cerita tentang Candra. Selama ini Wulan mengenal Candra dengan sosok yang baik tanpa cela. Bahkan Wulan juga tahu kisah heroik Candra menyelamatkan 2 bersaudara yang di jual ke rumah pelacur. Candra tidak segan-segan membangun rumah wisma pegawai yang habis terbakar, bagaimana mungkin Candra yang dia anggap sempurna seperti malaikat olehnya, dalam sehari langsung berubah menjadi iblis dimata keluarganya.