webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · 若者
レビュー数が足りません
251 Chs

Titip malaikat kecil

Erfly terdiam duduk diujung kasur, pikirannya langsung memutar memorinya bersama Cakya dan keluarganya. Perasaan tidak rela melihat Cakya bersama orang lain menyerbu, tapi kenapa harus cemburu...? Toh Cakya bukan siapa-siapanya dia lagi, tapi tetap saja rasa itu hadir tanpa permisi.

Nadhira masuk menyusul Erfly, senyumnya mengembang dan mukanya berseri persis seperti orang sedang menerima warisan miliaran.

"Teteh kenapa tidak bilang kalau itu Cakya...?", Erfly tiba-tiba bertanya dingin.

Nadhira langsung memasang wajah datar, "Teteh g'ak tahu kalau kalian saling kenal, Cakya juga g'ak pernah cerita kalau dia pernah ke Garut", Nadhira menjelaskan dengan sabar.

"Terus... Kenapa tidak cerita kalau kita akan ke Sungai Penuh...?", Erfly kembali menuntut jawaban.

"Kita g'ak akan ke Sungai Penuh, kita di Kerinci aja", Nadhira menjawab polos.

"Astagfirullah...", Erfly mengusap mukanya frustrasi. Nadhira tidak tahu, atau benar-benar sengaja mengajaknya kesini. Bukankah Nadhira tahu semua kisahnya selama ini, kalau dia sempat tinggal di Sungai Penuh, dan itu hanya 1 jam dari tempat dia berada saat ini.

Nadhira duduk jongkok dihadapan Erfly, jemari tangannya meraih jemari tangan Erfly. "Teteh minta maaf kalau teteh salah, tapi... Teteh mohon. Kali ini saja, temani teteh, teteh sama sekali tidak mengenal siapa-siapa disini. Dan...", Nadhira tidak sanggup melanjutkan ucapannya, karena melihat mata Erfly sudah berkaca-kaca.

"Teteh tahu Erfly dan ayah pindah dari Sungai Penuh karena apa...?", Erfly kembali bertanya pelan.

Nadhira menggeleng pelan. Karena selama ini baik Erfly atau ayah dan ibunya tidak pernah cerita soal itu.

"Udahlah...", Erfly menarik kasar tangannya dari genggaman Nadhira.

"Teteh g'ak tahu harus minta tolong sama siapa lagi...", Nadhira bicara lirih, kepalanya tertunduk lemas menatap lantai.

"Sungai Penuh itu hanya 1 jam teh dari sini...!!!", Erfly bicara dengan nada setengah berteriak. Erfly masih berusaha menahan emosinya.

Nadhira meraih lembut jemari tangan Erfly, kemudian meletakkannya dikeningnya. "Selama ini Nadhira g'ak pernah minta apa-apa. Tapi... Kali ini saja, bantu Nadhira. Nadhira g'ak kenal siapapun disini", Nadhira memohon dengan sangat.

Nadhira benar, selama ini Nadhira tidak pernah menuntut banyak. Bahkan Nadhira terkenal sebagai pegawai teladan di kantornya. Hanya dia yang berdiri tegak menjadi tameng saat perusahaan diguncang badai besar. Karena Nadhira juga, Erfly bisa menyelamatkan perusahaan dari krisis.

"Oke...", Erfly bicara lirih.

Nadhira langsung menyerbu kepelukan Erfly. "Terima kasih Len...", Nadhira merasa bahagia.

***

Tasya masih duduk disamping Dirga yang terbaring diatas tempat tidur, alat bantu penyokong hidupnya masih memenuhi tubuhnya. Ini sudah hari ke 2 Dirga tidak sadarkan diri, dan dinyatakan koma oleh dokter.

Malaikat kecil mengenggam jemari tangan kanan Dirga dengan lembut. "Kok Om na tidul muyu...?", malaikat kecil menatap kewajah lembut ibunya.

"Omnya capek sayang", Tasya menjawab pelan.

"Tatian papi cedih... Om na tidul muyu", malaikat kecil kembali bicara dengan suara khasnya. Kemudian mengusap pelan jemari tangan Dirga.

Dirga perlahan merespon sentuhan malaikat kecil. Matanya perlahan mulai terbuka.

"Allahuakbar, dokter....", Tasya langsung berteriak begitu melihat Dirga mulai sadar.

Dokter jaga langsung menyerbu mendekati tempat tidur Dirga, sedangkan Tasya langsung menggendong malaikat kecil ke pelukannya. Candra yang baru pulang membeli makanan, menyerbu masuk begitu melihat dokter berada di samping tempat tidur Dirga.

"Kenapa kak...?", Candra bertanya cemas, setelah meletakkan makanan yang dia bawa diatas lemari kecil.

"Dirga sadarkan diri", Tasya bicara pelan, matanya tidak lepas dari wajah Dirga.

Dokter yang memeriksa Dirga menyingkir ke samping, karena melihat gelagat Dirga yang ingin menggapai keluarganya.

Candra duduk di kursi disamping tempat tidur Dirga. Candra mengenggam lembut jemari tangan Dirga yang mengayun diudara.

"Ma...aaf...", Dirga bicara terbata.

Candra hanya mengangguk pelan, tangisnya menyerbu keluar tidak tega melihat keadaan Dirga yang tersiksa menahan sakit.

Dirga kembali berusaha meraih Tasya, Tasya mengerti isyarat Dirga, langsung melangkah mendekati tempat tidur Dirga. Tasya berdiri disamping Candra.

Dirga meraih jemari tangan malaikat kecil. "Di...a...", Dirga bertanya lirih.

Tasya mengangguk pelan. "Malika...", Tasya bicara lirih.

"Can...tik...", Dirga kembali bersusah payah bicara, matanya sendu menatap malaikat kecil.

Dirga kembali meraih tangan Candra. "Titip malaikat kecil", Dirga bicara dalam satu nafas.

"Kita jaga dia bareng-bareng", Candra memberikan janji.

Dirga menggeleng lemah. "Ma...aaff...", Dirga bicara lirih. Setelahnya, tidak ada respon lagi dari Dirga.

"Bang...!!! Bangun....!!!", Candra berteriak histeris.

Tangis malaikat kecil langsung pecah karena kaget mendengar teriakan histeris Candra. Malaikat kecil memeluk erat ibunya. Tasya merasa tubuhnya lemas, dan jatuh kelantai dengan malaikat kecil yang bergantung dilehernya.

Mutia menyerbu masuk, kemudian mengambil alih menggendong malaikat kecil. Mutia segera membawa malaikat kecil menjauh dari ruang ICU.

Dokter sibuk melakukan pertolongan kepada Dirga, Candra dan Tasya masih kaku mematung menatap kearah Dirga. Setelah sekian menit tidak ada respon, dokter menjauh dari Dirga.

Dokter menatap jam tangannya, "Waktu kematian 20.03 Wib", dokter bicara lirih.

Candra menyerbu memeluk Dirga. "Dirga....!!!", Candra berteriak sejadinya. Kini beban berat sedang berada di pundaknya, menjamin kehidupan malaikat kecil tanpa kekurangan satu apapun, termasuk kasih sayang figur seorang ayah.

***

Erfly masih duduk melamun sambil mengaduk makanannya asal. Nadhira tiba-tiba menggenggam jemari tangan Erfly lembut.

"Len... Kamu g'ak apa-apa...?", Nadhira bertanya lembut, karena sejak tadi Erfly sama sekali tidak bicara sama sekali.

Erfly memaksakan senyumnya. Kemudian menggeleng lemah.

"Assalamu'alaikum...", terdengar suara yang begitu dikenal Erfly dari arah belakang.

"Wa'alaikumsalam....", Nadhira segera berdiri menyambut kedatangan orang yang ditunggu dari tadi.

"Wa'alaikumsalam...", Erfly menjawab pelan, kepalanya tertunduk berusaha keras agar dirinya tetap kuat.

"Em... Kenalin ini Ilen... adik Nadhira...", Nadhira mendorong kursi roda Erfly perlahan, hingga tepat berada dihadapan orang yang ditunggu-tunggu Nadhira sejak tadi.

Erfly menaikkan tatapannya perlahan, menatap orang yang ada dihadapannya saat ini.

"Erfly...", ibu dan ayah Cakya bicara lirih hampir bersamaan.

"Hah...?!", Cakya menyela, karena tidak begitu jelas mendengar ucapan kedua orang tuanya.

Erfly meraih tangan ibu Cakya, kemudian menciumnya dengan perasaan takzim, air matanya mengalir tanpa permisi kali ini. Ibu Cakya mencium pucuk kepala Erfly. "MasyAllah... Nak...", ibu Cakya langsung menyerbu kepelukan Erfly.

Selang beberapa saat kemudian, ibu Cakya melepaskan pelukannya. Erfly beralih menyalami ayah Cakya, seperti biasa ayah Cakya mencium pucuk kepala Erfly setelah Erfly mencium jemari tangan kanannya.

Cakya menatap bingung dengan perlakuan ayah dan ibunya kepada Erfly.

Ayah Cakya langsung berdehem pelan, "Sebaiknya kita makan, papa udah lapar ini", ayah Cakya segera merangkul istrinya, menuntun istrinya untuk duduk di salah satu kursi.

Tidak banyak suara yang keluar selama makan malam berlangsung. Setelah makan Erfly langsung pamit istirahat, karena merasa lelah selama di perjalanan.

"Em... Mama mau ke toilet dulu sebentar, permisi...", ibu Cakya disusul oleh ayah Cakya meninggalkan meja makan.

Ibu Cakya berlari kecil mengejar Erfly. "Erfly...", ibu Cakya duduk jongkok di depan kursi roda Erfly.

"Ma...", Erfly bicara tercekat, air matanya tidak bisa dibendungnya lagi.

Ibu Cakya memeluk Erfly dengan erat. Tubuhnya bergetar karena menahan tangisnya. Ayah Cakya memeluk Erfly dari belakang, Erfly memeluk erat ibu Cakya, melepaskan semua kerinduannya yang telah lama dipendamnya.

"Kamu... Kemana saja nak...?", ibu Cakya bicara pelan disela tangisnya, setelah tangisnya reda.

Erfly menghapus jejak air mata ibu Cakya, "Erfly di Garut ma, ngurusin perusahaan almarhum papa", Erfly bicara pelan.

"Ya Allah nak...", ibu Cakya mengusap pelan punggung tangan Erfly, air matanya mengalir deras seperti air terjun.

"Kamu tiba-tiba hilang begitu saja setelah kecelakaan, kita sudah cari kemana-mana. Bahkan Jendral Lukman juga membantu mengerahkan semua jaringannya, tetap saja hasilnya nihil nak...", ayah Cakya bicara pelan.

"Erfly... Minta maaf. Panjang ceritanya pa. Tapi... Alhamdulillah... Sekarang Erfly bisa ketemu lagi sama papa dan mama. Tio sama Wulan apa kabarnya ma...?", Erfly beralih menatap ibunya Cakya.

"Alhamdulillah sehat... Kamu sendiri bagaimana nak...?", ibu Cakya mengusap lembut muka Erfly.

"Erfly... Baik-baik saja ma...", Erfly menjawab lirih.

HP ayah Cakya berdering, ayah Cakya hanya menatap nama yang muncul di layar HP. "Abang ma...", ayah Cakya bicara pelan.

Ibu Cakya segera menghapus kasar jejak air matanya, "Mama kembali dulu, ntar dicariin si abang...", ibu Cakya bicara pelan. Kembali menarik Erfly kedalam pelukannya, seolah tidak rela melepaskan Erfly kembali pergi dan menghilang lagi.