Erfly terdiam sejenak, mencerna permintaan Nadhira.
"Oke", Erfly menyetujui permintaan Nadhira.
Selama bekerja dengan Nadhira setelah ayahnya meninggal, Nadhira bahkan tidak pernah minta izin sama sekali. Bahkan pernah, Nadhira tetap masuk kerja, padahal mengalami demam tinggi.
Nadhira tiba-tiba menarik jemari tangan kanan Erfly kedalam genggaman tangannya.
"Em...", Nadhira bergumam ragu.
"Ada apa teh...?", Erfly bertanya bingung.
"Teteh... G'ak mungkin ngajakin keluarga di kampung untuk bertemu keluarga cowok ini. Kan... Ini hanya tahap kenalan aja. Teteh... Bisa minta tolong Ilen... Buat nemenin teteh...?", Nadhira bertanya pelan, tatapan matanya tidak berani menatap ke wajah Erfly.
Erfly menarik pelan jemari tangannya dari genggaman Nadhira.
"Tapi... Tapi... Kalau... Ilen g'ak mau juga g'ak apa-apa...", Nadhira langsung mengibaskan jemari tangan kanannya keudara.
"Yang bilang g'ak mau siapa teh...?", Erfly bertanya lirih.
"Jadi...?", Nadhira bertanya dengan mata berkaca-kaca.
Erfly hanya mengangguk pelan sebagai jawaban dari pertanyaan Nadhira.
Nadhira menyerbu kedalam pelukan Erfly. "Terima kasih Len...", Nadhira bicara disela tangisnya, hatinya merasa bahagia. Demikian juga dengan Erfly, dia ikut merasakan kebahagiaan Nadhira.
"Kita berangkat kapan...?", Erfly bertanya pelan.
Nadhira melepaskan pelukannya, kemudian kembali duduk dihadapan Erfly.
"InsyAllah besok pagi", Nadhira bicara antusias.
"Dengan satu syarat. Semua biaya selama perjalanan, Ilen yang bayar", Erfly bicara diluar dugaan Nadhira.
"G'ak usah, InsyAllah Nadhira masih ada tabungan", Nadhira protes tanpa pikir panjang lagi.
Erfly mengayuh kursi rodanya menuju meja kerjanya, kemudian mengeluarkan kartu ATM dari dalam laci meja. Setelah mengunci kembali laci mejanya, Erfly kembali ke hadapan Nadhira, menyerahkan kartu ATMnya ketangan Nadhira.
"Len... Tapi...", Nadhira tidak bisa melanjutkan ucapannya, karena Erfly sudah menyela ucapan Nadhira.
"Teteh g'ak punya alasan untuk menolak", Erfly bicara dingin.
"Beneran, teteh masih punya tabungan", Nadhira bicara pelan, dia merasa tidak enak kalau harus menerima ATMnya Erfly. Nadhira tahu betul, kartu ATM yang ada di tangannya adalah keuntungan perusahaan yang selalu ditransfer Nadhira selama dia memegang perusahaan. Nadhira tahu dengan pasti, tabungan itu tidak pernah sedikitpun diganggu oleh Erfly.
"Teteh masih perlu banyak uang, adik-adik teteh masih perlu banyak biaya. Anggap saja, itu ucapan terima kasih dari perusahaan atas kinerja teteh selama ini. Bonus akhir tahun...", Erfly memaksa, agar Nadhira mau menerima pemberiannya.
"Teteh...", Nadhira kembali terdiam, karena air mata sudah menyerbu pelupuk matanya.
***
Candra berlari menuju ruang ICU, saat sedang memimpin rapat direksi, Candra mendapat telfon dari pembantu rumah tangganya. Dirga dilarikan kerumah sakit DKT karena terjatuh dari tangga.
Candra menatap Dirga yang terbaring diatas tempat tidur dengan semua alat bantu penyokong hidupnya. Hati Candra terasa remuk melihat keadaan Dirga yang begitu menyedihkan. Sudah cukup parah akibat kecelakaan, mengalami syaraf terjepit, sehingga menuntut Dirga harus bergantung pada kursi roda. Sekarang malah harus bergantung dengan alat-alat medis.
"Maaf... Anda keluarga pasien atas nama Dirga...?", seorang suster bertanya pelan.
"Iya, saya suster", Candra segera menghapus kasar air matanya.
"Bisa ikut saya...? Dokter Firman sudah menunggu anda diruangannya", suster cantik itu kembali bicara lembut.
Candra mengangguk pelan, dan berjalan mengekor dibelakang suster cantik itu.
Candra duduk tepat dihadapan seorang dokter yang rambutnya hampir memutih. Setelah menyalami dokter itu, Candra duduk manis menunggu penjelasan dari dokter yang merawat Dirga.
"Bagaimana keadaan kakak saya dok...?", Candra bertanya cemas.
"Saya harus jujur, keadaan pasien buruk. Dia bahkan tidak merespon obat dan tindakan yang kita berikan", dokter Firman bicara pelan, dia ikut merasakan sedih yang dialami Candra.
"Lalu... Kita harus bagaimana dokter...?", Candra bertanya putus asa.
"Kita hanya bisa berdo'a dan menunggu pasien sadar", dokter Firman bicara pelan.
"Astagfirullah...", Candra berucap lirih, jemari tangannya mengusap kasar jejak air mata yang mengalir dipipinya.
"Kalau saya boleh saran. Minta orang terdekat beliau untuk datang, semoga itu bisa membantu untuk kesembuhan beliau", dokter Firman bicara pelan.
"Baik dok, kalau begitu saya permisi...", Candra segera mohon diri.
Candra memutuskan untuk kerumah Sinta. Setelah mengetuk pintu, Candra duduk manis diteras menunggu ada yang muncul. Selang beberapa detik kemudian, pintu terbuka, Mutia muncul dari balik daun pintu.
"Candra...? Nyari mbak Sinta...? Mbak Sinta belum pulang...", Mutia berusaha menebak tujuan kedatangan Candra kerumah Sinta.
"G'ak. Candra kesini mencari kak Tasya...", Candra bicara lirih.
"Oh... Kak Tasya lagi mandiin Malika. Masuk dulu, Mutia panggilin", Mutia menawarkan.
"Candra tunggu disini aja. Kasih tahu aja Candra datang", Candra bicara pelan.
"Oh...", Mutia manggut-manggut pelan. "Candra mau minum apa...? Mutia buatin...", Mutia kembali menawarkan.
"Ntar aja", Candra bicara pelan, kemudian memijit pelan keningnya.
Mutia tidak berani bertanya lagi, dia langsung menghilang dari hadapan Candra. Membiarkan pintu terbuka.
"Ada siapa...?", Tasya yang menggendong malaikat kecil yang menjadi kepompong digulung handuk bertanya bingung, karena melihat pintu depan terbuka lebar.
"Ada Candra, katanya mau ketemu kak Tasya...", Mutia bicara pelan.
"Aku...? Ada apa ya...?", Tasya bergumam bingung.
"G'ak tahu, tapi... Kelihatannya mukanya cemas gitu", Mutia kembali menambahkan.
"Em... Aku boleh minta tolong, pakaikan baju Malika. Aku mau temuin Candra dulu, takutnya ada apa-apa", Tasya bertanya pelan.
Mutia mengangguk pelan, "Sini sayang, pakai bajunya sama tante aja", Mutia mengambil alih menggendong malaikat kecil.
Tasya menuju dapur, dan membawa minuman dingin kesukaan Candra. Tasya berjalan perlahan menuju teras rumah, benar saja yang dikatakan Mutia, muka Candra terlihat kusut dan cemas.
Tasya menyodorkan minuman dingin kehadapan Candra, "Diminum dulu Cand", Tasya bicara disela senyumnya, kemudian duduk tidak jauh dari Candra.
"Terima kasih kak", Candra tanpa pikir panjang langsung menenggak minuman pemberian Tasya.
"Kata Mutia, kamu mau ketemu aku. Ada apa...?", Tasya bertanya pelan.
"Dirga... Jatuh dari tangga. Sekarang berada di ICU rumah sakit DKT", Candra membuka pembicaraan tanpa basa-basi lagi.
"Astagfirullah...", Tasya menutup mulutnya karena merasa terkejut mendengar berita yang diberikan oleh Candra.
"Kata dokter... Keadaannya kritis, dan... Dia g'ak punya harapan lagi. Bahkan... Tubuh Dirga... Menolak semua pengobatan yang dilakukan", Candra berhenti sejenak untuk menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya.
"Dokter menyarankan agar orang terdekat Dirga menemui Dirga. Candra...", Candra tidak berani untuk melanjutkan ucapannya, karena takut Tasya akan merasa tersinggung atau bahkan sakit hati.
Tasya menggenggam jemari tangan kanan Candra lembut, "Tasya akan ajak malaikat kecil kesana setelah ini, tapi... Tasya... G'ak bisa lama. Rumah sakit g'ak bagus untuk psikologi malaikat kecil", Tasya bicara pelan.
Candra menempelkan jemari tangan Tasya ke keningnya, "Terima kasih kak...", Candra bicara lirih, air matanya mengalir tanpa permisi.
"Kalau begitu Tasya nyiapin perlengkapan malaikat kecil dulu, keburu kemalaman...", Tasya bicara pelan, kemudian melepaskan jemari tangannya dari Candra.
15 menit kemudian Tasya muncul bersama malaikat kecil dan Mutia. Malaikat kecil langsung memburu kepelukan Candra, sedangkan Mutia bergegas mengunci pintu rumah.
Candra tidak banyak bicara selama perjalanan, malaikat kecil asik bermain dibangku penumpang belakang bersama Mutia. Sedangkan Tasya duduk di bangku penumpang depan, tepat disamping Candra.
"Terima kasih kak. Kakak udah bersedia menemui bang Dirga...", Candra bicara lirih.
"G'ak perlu berterima kasih. Biar bagaimanapun, Dirga tetap ayah biologisnya malaikat kecil", Tasya menjawab sekenanya, bahkan dia tidak menatap wajah Candra sedikitpun, tatapannya nanar jauh kedepan.
***
Sesuai rencana Erfly dan Nadhira melakukan perjalanan panjangnya. Erfly bahkan memilih tidur sepanjang perjalanan, sehingga tidak begitu tahu kemana tujuan Nadhira sebenarnya. Mereka sampai hampir malam dipenginapan, Erfly bisa mencium aroma khas pegunungan yang sangat dia rindukan.
Saat turun dari mobil, seorang pria menghampiri mereka, sigap membantu menurunkan bagasi. Setelah mobil travel melaju pergi, Erfly dengan jelas bisa melihat wajah lelaki yang menurunkan barang-barang mereka.
"Kenapa harus manusia yang satu ini...?", Erfly membatin.
"Ilen... Kenalin, ini Cakya, lelaki yang kemarin teteh ceritain itu...", Nadhira merangkul lengan tangan kanan Erfly.
Cakya memasang senyum terbaiknya, "Kita sudah pernah ketemu", Cakya memilih untuk tidak bersalaman dengan Erfly, karena melihat Erfly yang masih tetap terpaku mematung.
"Oh ya...? Dimana...? Kapan...?", Nadhira membombardir dengan pertanyaan, matanya beralih menatap Erfly dan Cakya secara bergantian menagih jawaban atas pertanyaannya.