webnovel

Lalu apa mas...? Saya bisa apa...?

Satia terdiam membisu mendengarkan ucapan Cakya kata perkata.

"Benar mas, saya masih mencintai Erfly. Benar mas, Erfly masih punya tempat paling spesial di hati saya.

Lalu apa mas...? Saya bisa apa...? Erfly sudah bersama orang yang tepat. Erfly sudah menjadi istri orang, saya bisa apa mas...?", Cakya kembali bertanya putus asa kepada Satia.

"Kamu kejar dia", Satia bicara diluar dugaan Cakya.

"Mas...?", Cakya bertanya bingung, tidak begitu yakin dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Satia.

"Aku akan lepaskan Erfly kalau dia memilih kamu", Satia bicara dengan suara paling rendah.

"Kenapa mas...?", Cakya bertanya bingung.

"Aku hanya ingin Erfly bahagia. Walaupun itu bukan bersama aku", Satia bicara dengan pasrah.

***

Hasan segera membantu ibunya untuk turun dari helikopter, kemudian membantu ibunya naik ke mobil yang telah disiapkan untuk menjemput mereka.

Sesampainya di rumah, Hasan dengan hati-hati membantu ibunya untuk masuk kedalam kamarnya.

"Ada yang bunda perlukan lagi...?", Hasan bertanya lembut.

Erfly menggeleng lembut, "Terima kasih ganteng", Erfly bicara pelan.

"Bunda istirahat, kalau butuh apa-apa panggil Hasan saja", Hasan mengecup lembut pipi ibunya sebelum berlalu pergi dari kamar ibunya.

Begitu Hasan keluar dari kamar Erfly, HP Erfly berteriak nyaring. Erfly menatap nomor yang muncul di layar HPnya, kemudian menerima telfon masuk dengan penuh keraguan.

"Assalamu'alaikum...", terdengar suara lirih dari ujung lain telfon.

"Wa'alaikumsalam...", Erfly menjawab pelan, tanpa berniat bertanya siapa yang ada di ujung lain telfon.

"Butterfly...?", lelaki dari ujung lain telfon bertanya lagi.

"Saya sendiri", Erfly menjawab dingin.

"Aku Candra", lelaki dari ujung lain telfon bicara lirih.

"Candra...?", Erfly bertanya penuh keraguan.

"Candra Wiratama", kembali orang di ujung lain telfon bicara pelan.

"Ada apa...?", Erfly bertanya bingung.

"Apa... Bu Nadhira sudah menyampaikan, kalau Candra... Ingin bertemu dengan bu Erfly...?", Candra bertanya penuh keraguan.

"Anda posisinya dimana...?!", Erfly bertanya bingung.

"Candra... Di Lombok", Candra menjawab pelan. "Bu Nadhira menyampaikan kalau mau bertemu Candra harus menunggu satu bulan lagi, karena bu Erfly lagi di luar kota", Candra mengulang ucapan Nadhira pada pertemuan sebelumnya.

"Nanti saya sms, kita bertemu besok. Kebetulan saya sudah di Lombok", Erfly bicara pelan, sebelum mengakhiri hubungan telfon dengan Candra.

***

Pasya mengetuk daun pintu Satia, sebelum masuk kedalam ruangan.

"Bu Ilen dan anak-anak telah sampai dengan selamat", Pasya memberikan laporan singkat.

Satia tidak merespon ucapan Pasya, hanya memberikan isyarat agar Pasya kembali keluar dari ruangan.

Satia masih duduk di bangku menatap kearah luar jendela, jemarinya masih terselip rokok yang tinggal setengah.

Satia meraih HPnya, menghubungi salah satu nomor yang ada.

"Koko dimana...?", Satia bicara lirih.

"Ini baru selesai seminarnya, saya langsung menuju kesana", terdengar suara dari ujung lain telfon.

Hanya selang beberapa menit, orang yang di telfon Satia muncul dari balik daun pintu. "Assalamu'alaikum...", terdengar ucapan salam.

Satia segera menoleh ke sumber suara, "Wa'alaikumsalam", Satia menjawab lirih. Satia segera meraih tangan kanan lelaki yang ada di hadapannya untuk bersalaman. "Duduk ko", Satia mempersilakan tamunya untuk duduk.

Alfa menyapu tatapannya dari ujung kepala hingga ujung kaki, kemudian duduk di salah satu kursi yang masih kosong.

"Ada apa lagi...?", Alfa langsung bertanya pada intinya. Alfa tidak mau repot-repot mengomentari keadaan Satia yang seperti mayat hidup.

"Kenapa koko memilih untuk melepaskan Ilen...?", Satia bertanya diluar dugaan Alfa, spontan Alfa langsung tersedak, karena tidak siap dengan pertanyaan Satia.

"Kamu bicara apa...?", Alfa berusaha keras untuk menghindar dari menjawab pertanyaan Satia.

"Koko g'ak usah bohong, Satia tahu betapa besar rasa sayang koko ke Ilen", Satia menjawab sengit, tidak berencana untuk mundur.

Alfa berdehem pelan, kemudian merubah posisinya agar lebih nyaman.

"Koko merasa tidak ada peluang", Alfa kali ini bicara jujur.

"Maksudnya...?", Satia bertanya bingung.

"Sejauh koko kenal Ilen dari kecil, dia wataknya keras. Bahkan dia tidak pernah sama sekali menangis, ayah ibunya meninggal saja, dia tidak menangis satu tetespun, sama seperti saat dia kehilangan nenek dan pengasuhnya.

Saat bersama Cakya, itu pertama kalinya koko lihat dia bisa menangis. Seberapa kuat Ilen berusaha untuk melupakan Cakya, justru dia menyakiti dirinya sendiri.

Kalau mau jujur, setelah Ilen memutuskan untuk meninggalkan Cakya, koko tidak pernah melihat Ilen tertawa lepas seperti dulu. Saat dia memutuskan melepaskan Cakya, dia juga melepaskan setengah dari hidupnya, meninggalkan Cakya dengan sekantong kebahagiaan yang dia punya, bahkan Ilen tidak menyisakan secuil kebahagiaan saja untuk dirinya sendiri", Alfa sengaja menghentikan ucapannya. Menatap lekat respon Satia, yang semakin dalam menghisap rokoknya.

"Karena itu akhirnya koko memutuskan untuk melepaskan Ilen, mau koko berusaha sekeras apapun, koko tidak akan sanggup mengalahkan Cakya", Alfa kembali menimpali.

"Kalian baik-baik sajakan...? Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini...?", Alfa berusaha mengorek informasi dari Satia kali ini.

"Jujur g'ak", Satia bicara lirih, sangat terlihat wajah kekecewaan.

"Ada apa...?", Alfa kembali bertanya.

"Ilen ikut kesini, karena si kembar ikut perkemahan gabungan KPA. Dan... Ternyata Cakya juga ikut", Satia memulai ceritanya.

"Dan...", Alfa menimpali.

"Ilen hampir celaka karena dahan ranting, dan... Cakya menyelamatkan Ilen", Satia bercerita kata perkata.

"Lalu...? Dimana masalahnya...?", Alfa bertanya bingung, Alfa berfikir kalau Satia hanya cemburu dengan kejadian tersebut, Satia merasa gagal menjadi penyelamat Ilen kali ini.

"Ilen diam-diam menemui Cakya di belakang Satia", Satia bicara lirih.

"Kamu cemburu...?", Alfa bertanya santai, kemudian menyandarkan punggungnya ke punggung kursi.

"Lebih tepatnya kecewa ko", Satia menjawab lirih, kemudian kembali menghisap rakus rokoknya.

"Kecewa karena Cakya yang menolong Ilen...? Dan bukan kamu...?", Alfa berusaha menebak arah ucapan Satia.

"Kecewa kenapa Ilen tidak pernah jujur kalau dia masih mencintai Cakya", Satia bicara dengan nada suara paling pelan, Satia menelan air liurnya yang tiba-tiba terasa pahit.

"Maksudnya...?", Alfa mulai bingung.

"Satia tidak sengaja melihat Ilen dan Cakya, tatapan mereka tidak pernah bisa bohong. Cakya masih punya tempat spesial di hati Ilen, begitupun sebaliknya.

Saat Satia tanya ke Ilen tentang hal itu, dia masih berkilah kalau itu semua karena jantung Asri tunanganya Cakya", Satia menarik nafas berat.

"Kamu belum cerita kalau jantungnya sekarang adalah jantung ayahnya Cakya...?", Alfa bertanya lirih.

Satia menggeleng lemah.

"Lalu...? Apa yang akan kamu lakukan...? Melepaskan Ilen...?", Alfa membombardir Satia dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.

"Satia g'ak tahu ko, Satia bingung", Satia menjawab jujur.

"Kamu lagi emosi, pikirkan matang-matang. Kalian tidak sendiri lagi, ada si kembar yang harus kalian jaga perasaannya", Alfa memberi pandangan. "Ilen dimana sekarang...?!", Alfa bertanya bingung, menoleh kiri kanan.

"Ilen dan anak-anak sudah kembali ke Lombok ko", Satia menjawab lirih.

Kilat menyambar, suara petir bersahut-sahutan. Seolah mewakili perasaan Satia yang sedang dipenuhi amarah.

Hujan turun dengan derasnya detik berikutnya, membuat suasana semakin sendu. Alam seolah ikut bersedih untuk Satia.