Erfly menarik nafas panjang, mengisi paru-parunya dengan udara sebanyak mungkin. Setelah merasa jauh lebih tenang, Erfly memutuskan untuk menyusul Satia yang telah lebih dahulu masuk kedalam kamar. Erfly mengunci pintu, begitu masuk kedalam kamar.
Erfly tidak menemukan Satia dimanapun, terdengar suara air mengalir dari dalam kamar mandi. Erfly mendekati lemari pakaian, kemudian menyiapkan pakaian bersih untuk Satia.
Setelah selesai mandi, Satia meraih pakaian yang telah disiapkan oleh Erfly. Satia segera menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim, melakukan sholat isya. Setelah salam kedua, Erfly sudah duduk tepat disamping Satia.
Erfly meraih jemari tangan kanan Satia, kemudian menciumnya dengan penuh perasaan takzim.
"Ilen minta maaf kalau Ilen punya salah mas...", Erfly bicara dengan mata yang berkaca-kaca.
Satia merespon ucapan Erfly, kemudian berusaha melepaskan jemari tangannya dari genggaman Erfly.
Erfly semakin erat menggenggam jemari tangan kanan Satia, bahkan sekarang jemari tangan Satia berada di tengah-tengah telapak tangan Erfly.
"Aku g'ak mau berantem, aku g'ak mau kita akan sama-sama terluka. Kamu pulang malam ini, Pasya sebentar lagi akan datang menjemput kalian", Satia bicara dingin.
"Mas... Ada apa...? Apa Ilen tidak berhak bertanya itu...?", Erfly bicara penuh harap, tatapannya nanar menahan tangis.
"G'ak ada apa-apa, aku masih ada pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan", Satia menjawab sekenanya.
"Tapi... Kita sudah sepakat untuk tetap disini menemani mas selama pekerjaan mas sebulan kedepan", Erfly bicara bingung, menuntut jawaban.
"Aku butuh waktu untuk sendiri", Satia akhirnya angkat bicara.
Erfly akhirnya melepaskan genggaman tangannya.
"Pasya udah cerita apa saja sama mas...?", Erfly bertanya linglung.
Satia menatap wajah Erfly penuh rasa kecewa, "Aku lihat kamu dirumah sakit bersama Cakya", Satia bicara dingin.
"Mas... Itu...", Erfly gelagapan setelah mendengar ucapan dingin Satia, tatapan tajam Satia langsung berhasil menembus bola mata Erfly.
Terdengar suara ketukan pintu, baik Satia ataupun Erfly tidak ada yang mengeluarkan suara.
"Ayah lagi istirahat, kita tunggu dikamar saja", terdengar suara Husen memberi perintah, detik berikutnya terdengar suara telapak kaki yang semakin menjauhi daun pintu.
Erfly berusaha meraih jemari tangan kanan Satia. Kali ini Erfly kalah cepat, karena Satia sudah berdiri menjauhi Erfly.
"Erfly menemui Cakya hanya untuk mengucapkan terima kasih karena sudah membantu Erfly", Erfly bicara dengan suara paling rendah.
"Kamu g'ak perlu bohong lagi. Dari tatapan kamu, aku bisa lihat seberapa besar kamu mencintai dia", Satia kali ini bicara sengit menatap tajam kearah Erfly.
Sangat tampak raut wajah kecewa di mata Satia.
"Ini... Semua karena jantung Asri...", Erfly memberi alasan sekenanya, air matanya mulai menyerbu ingin keluar.
"Kamu salah", Satia kembali menjawab frustrasi.
"Salah...? Maksud mas apa bicara seperti itu...?", Erfly bertanya bingung.
Terdengar suara ketukan pintu, "Maaf pak Satia helikopter sudah siap", terdengar suara Pasya dari balik daun pintu.
"Iya", Satia menjawab lirih.
"Mas...", Erfly berusaha meraih jemari tangan Satia.
Satia kembali menghindar, menuju daun pintu. Menarik koper Erfly yang telah berisi barang-barang Erfly. "Kamu sudah ditunggu", Satia bicara lirih.
Erfly melangkah perlahan dibantu kruknya, tidak ada suara lagi yang keluar dari mulut Satia ataupun Erfly.
Hasan yang paling akhir masuk kedalam helikopter, Hasan meraih tangan ayahnya sebelum Satia memutuskan untuk pergi menjauhi helikopter.
"Ayah sama bunda baik-baik saja...?", Hasan bertanya lirih.
Satia duduk jongkok dihadapan Hasan, "G'ak...", Satia memilih untuk jujur kali ini. "Tapi... InsyaAllah kita akan baik-baik saja", Satia kembali menambahkan.
"InsyAllah, Hasan tau ayah yang paling tau apa yang terbaik untuk kita semua", Hasan menguatkan ayahnya.
Satia memeluk Hasan dengan lembut, "Terima kasih sayang", Satia bicara lirih.
"Jagain bunda dan adik-adik", Satia bicara lembut, sembari melepaskan pelukannya dari Hasan.
"Ayah jangan khawatir, ayah juga jaga diri", Hasan mengucapkan janji.
"Masuk sana, kasian bunda sudah menunggu lama", Satia bicara lirih, kemudian mengacak lembut kepala Hasan.
Hasan segera masuk kedalam helikopter, dalam sekejap helikopter lepas landas.
Satia masih terpaku diam di posisinya semula.
"Pasya...", Satia mengeluarkan ucapan pertamanya setelah diam beberapa saat.
"Saya pak", Pasya menjawab dengan santun, tetap berdiri dibelakang Satia.
"Tolong minta Cakya bertemu saya dirumah", Satia memberikan instruksi, kemudian berlalu pergi meninggalkan Pasya.
Pasya segera mencari panitia yang telah Pasya kenal pada saat menitipkan si kembar. Setelah bertanya dimana posisi Cakya, akhirnya Pasya bisa menemukan Cakya yang sudah siap masuk kedalam bis.
"Cakya...!", Pasya bicara setengah berteriak, menghentikan langkah Cakya.
Cakya menoleh kearah sumber suara, pelipis Cakya masih tertutup kain kasa yang di balut plester luka, sedangkan salah satu kaki Cakya juga masih dibalut dengan perban luka yang rapi.
"Bang...", Putri berusaha menahan Cakya agar tidak pergi mengikuti Pasya.
Cakya melepaskan genggaman tangan Putri di pundaknya dengan lembut, "Aku akan baik-baik saja", Cakya bicara lembut.
Kemudian mengikuti langkah Pasya perlahan. Pasya menghentikan langkahnya tepat di depan pintu pagar.
"Pak Satia sudah menunggu", Pasya bicara pelan.
Cakya perlahan melangkah mendekati Satia yang sedang membelakangi Cakya.
"Mas Satia...", Cakya bicara lirih.
Satia membalikkan tubuhnya perlahan, "Duduk", Satia mempersilakan Cakya untuk duduk.
Cakya tidak protes, segera duduk di salah satu kursi yang ada di teras rumah.
Satia terlihat gelisah, ada ribuan tanya yang tiba-tiba menyerang otak Cakya. Seumur-umur Cakya mengenal Satia, Cakya tahu Satia adalah orang yang sangat tenang. Bahkan dia tidak pernah panik walaupun dalam keadaan genting sekalipun.
"Ada apa mas...? Kata Pasya, mas mau bertemu dengan saya", Cakya memberanikan diri untuk bertanya terlebih dahulu.
"Kamu cinta Erfly...?", Satia bertanya to the poin.
"Hah...", Cakya bertanya bingung.
"Aku yakin kamu dengar apa pertanyaan aku barusan", Satia bicara sengit.
Cakya tertawa renyah mendengar ucapan Satia, "Buang-buang waktu ternyata Cakya kesini", Cakya berniat untuk meninggalkan Satia.
"Sikap kamu yang seperti ini sudah cukup menjadi jawaban buat aku. Betapa besar kamu mencintai Erfly", Satia bicara dengan makna yang jauh lebih dalam.
Cakya berbalik menatap Satia tanpa daya, "Apa yang sedang mas Satia lakukan saat ini...?!", Cakya bertanya lirih, berusaha meraba apa tujuan ucapan Satia.
"Aku hanya ingin kalian jujur dengan perasaan kalian berdua, kalau kamu masih mencintai Erfly", Satia bicara dengan suara paling rendah.
"Buat apa mas...?", Cakya bertanya putus asa kali ini.
Ada apa dengan manusia yang satu ini, suami mana yang melemparkan pertanyaan seperti itu kepada saingan cintanya. Lelaki ini waras bukan...?
"Aku hanya ingin kalian jujur dengan perasaan kalian...!!!", Satia bicara sengit, tidak berniat untuk mundur satu langkahpun.
"Dari kemarin, hari ini, esok, bahkan nanti sampai kapanpun. Erfly masih akan tetap punya tempat spesial di hati saya mas.
Dan... Kalau mas tanya apa saya masih cinta sama Erfly. Mas sudah tahu apa jawabannya, untuk apa mas bertanya jawaban yang mas sudah tahu dengan lebih baik dari pada saya", Cakya bicara panjang lebar, meluapkan semua isi hatinya yang telah dinisakan selama bertahun-tahun.