webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · 若者
レビュー数が足りません
251 Chs

Kita umat beragama, punya Allah nak...

Cakya masih tidak sadarkan diri, jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Gama masih mondar-mandir di kamar rawat inap Cakya.

Terdengar suara ketukan pintu, detik berikutnya Pak Lukman dan Ardi muncul dari balik daun pintu.

"Assalamu'alaikum...", pak Lukman mengucapkan salam.

"Wa'alaikumsalam, pak Jendral...?", Gama menjawab pelan.

Pak Lukman duduk di bangku yang bisa dia raih. "Bagaimana keadaan Cakya...?", pak Lukman bertanya pelan, nyaris seperti berbisik.

"Masih belum sadar pak Jendral", Gama bicara pelan, ikut duduk didekat pak Lukman dan Ardi.

"Kamu g'ak kerja Gam...?", pak Lukman bertanya lembut.

"Gama udah minta izin pak Jendral. Cakya g'ak ada yang jagain", Gama menjawab apa adanya.

"Lho... Kamu g'ak ngasih tahu orang tuanya...?", pak Lukman kembali bertanya.

"G'ak pak Jendral, keluarganya Cakya tahunya Cakya lagi di Garut nyariin tunanganya Erfly", Gama menjawab dengan suara paling pelan.

Gama tiba-tiba memegang perutnya yang tiba-tiba berbunyi.

"Kamu belum sarapan Gam...?", pak Jendral bertanya bingung.

"Belum pak Jendral, tadi... Keburu Cakya pingsan duluan", Gama menjawab dengan nyengir kuda.

"Ya sudah kamu keluar dulu cari makan. Cakya biar saya yang jagain", pak Lukman menawarkan solusi.

"G'ak usah pak Jendral, ntar saja, tidak apa-apa", Gama menolak karena merasa tidak enak harus merepotkan pak Lukman.

"Nanti malah nambah satu pasien lagi ini rumah sakit, sana cari sarapan", pak Lukman memberi perintah.

Gama segera pamit meninggalkan ruang rawat inap Cakya.

Menit berikutnya Cakya mulai sadarkan diri. "Maaf pak Jendral, Cakya sudah sadar", Ardi memberitahu pak Lukman.

Pak Lukman langsung menghampiri tempat tidur Cakya. "Nak... Kamu tidak apa-apa...?", pak Lukman bertanya lembut.

Cakya menoleh kiri dan kanan, "Pak Jendral...?", Cakya bicara bingung, Cakya berusaha merubah posisinya, akan tetapi malah merasa pusing.

"Kamu istirahat saja nak...", pak Lukman menambahkan bantal untuk penyangga punggung Cakya agar merasa lebih nyaman.

Cakya berusaha meraih gelas yang ada diatas meja kecil, sigap pak Lukman meraih gelas dan membantu Cakya untuk minum.

"Kenapa saya disini pak...?", Cakya bertanya pelan, sembari memijit pelan kepalanya yang terasa pusing.

"Kamu pingsan tadi dirumah Gama, makanya Gama langsung membawa kamu kesini", pak Lukman menjelaskan secara garis besar kronologi kejadian.

Pak Lukman kemudian berdehem pelan, sebelum melanjutkan ucapannya.

"Ardi... Kamu bisa kembali ke pos dulu, ada yang mau saya bicarakan dengan Cakya", pak Lukman memberikan perintah kepada Ardi.

"Baik pak Jendral, kalau begitu saya kembali ke ruangan saya", Ardi mohon diri meninggalkan ruang rawat inap Cakya.

"Kamu kenapa...?", pak Lukman bertanya lembut.

"G'ak apa-apa pak Jendral, ada yang mengganggu pikiran saja", Cakya berusaha sebaik mungkin untuk menghindar dari menjawab pertanyaan pak Lukman.

"Kita umat beragama, punya Allah nak...", pak Lukman bicara dengan nada paling rendah.

Cakya tidak merespon sama sekali.

"Jodoh, langkah, rezeki sudah ada yang ngatur nak", pak Lukman kembali melanjutkan ucapannya.

"Ini terlalu sakit pak Jendral", Cakya bicara lirih.

Pak Lukman tertawa renyah, "Nak... Saya juga pernah muda. Putus cinta udah makanan saya waktu muda.

Sakit boleh, sedih juga g'ak ada yang melarang. Akan tetapi jangan lupa, hidup akan terus berjalan nak.

Hanya karena kita patah hati, dunia akan terus berjalan. G'ak akan berhenti karena kita patah hati.

Jujur saya prihatin melihat keadaan kamu seperti ini nak. Akan tetapi... Saya lebih sedih lagi melihat orang tua kamu nak.

Sesedihnya kamu, ibu kamu jauh lebih sedih melihat keadaan kamu yang seperti ini. Sesakitnya kamu, ibu kamu akan jauh lebih merasakan sakit. Kamu ingat itu", pak Lukman bicara panjang lebar, berusaha memberikan semangat kepada Cakya.

Cakya tetap diam membisu, mendengarkan ucapan pak Lukman tanpa membantah.

"G'ak ada yang bisa menyakiti kita, selama kita tidak memberikan mereka izin untuk melakukan hal itu. Kita yang punya kendali atas hidup kita sendiri", pak Lukman kembali melanjutkan.

"Tapi... Cakya manusia pak Jendral. Bisa merasakan sakit dan terluka", Cakya bicara dengan nada paling pelan.

"Saya tahu itu. Akan tetapi... Apa kamu akan terus di dalam luka itu terus-menerus...? Nak... Hidup bukan hanya sebatas tentang kamu dan luka kamu aja, ada orang lain juga yang akan jauh merasa terluka melihat kamu terluka", pak Lukman menekankan setiap nada suara yang keluar dari mulutnya.

"Sekarang terserah kamu. Tetap seperti ini, atau bangkit. Kalau kamu tetap mau jalan ditempat dan meratapi kepergian Erfly, silakan saja. Itu artinya kamu juga menarik ibu kamu dan keluarga kamu dalam kesedihan, itu artinya kamu nyakitin mereka semua, membunuh mereka secara pelan-pelan", pak Lukman kembali memberi penekanan pada setiap ucapannya. Memukul Cakya tepat pada lukanya yang berdarah.

Terdengar suara ketukan pintu, "Maaf pak Jendral, saya mau mengecek keadaan pasien", dokter Kahfi muncul dari balik daun pintu bersama seorang suster.

"Ya, silakan", pak Lukman berdiri sedikit menjauh dari tempat tidur Cakya.

Setelah melakukan pengecekan secara teliti, dokter Kahfi memberikan suntikan kepada Cakya melalui saluran infusnya.

"Bagaimana keadaan Cakya dokter...?", pak Lukman bertanya pelan.

"Baik pak Jendral, hanya sedikit lemah saja. Paling istirahat beberapa hari disini, InsyAllah akan baik-baik saja", dokter Kahfi menjelaskan keadaan Cakya.

"Alhamdulillah, terima kasih dokter", pak Lukman bicara pelan.

"Jangan sungkan pak Jendral, sudah menjadi tugas saya. Kalau begitu saya permisi dulu, mau mengecek pasien yang lain", dokter Kahfi berlalu pergi bersama suster yang setia mengikutinya dari belakang.

Detik berikutnya, Gama muncul dari balik daun pintu.

"Kamu pikirkan ucapan saya tadi", pak Lukman mengarahkan tatapannya kepada Cakya.

Cakya hanya mengangguk pelan sebagai jawaban atas ucapan pak Lukman.

"Karena Gama sudah kembali, saya pergi dulu", pak Lukman mohon diri.

"Terima kasih pak Jendral", Gama mengucapkan rasa terima kasihnya karena sudah menjaga Cakya selama dia pergi.

***

Candra duduk dengan diam, menatap kertas-kertas yang ada di hadapannya saat ini. Semakin dilihat, semakin kepalanya terasa pening dibuatnya. Candra meletakkan kertas-kertas itu keatas meja, kemudian meraih minumannya.

"Sudah berapa lama anda tahu semua ini...?", Candra bertanya kepada perempuan yang duduk diseberang bangkunya.

"Kejadian ini sudah berlanjut dalam waktu yang cukup lama. Tapi... Saya baru bisa membongkar semuanya tepat bulan lalu", perempuan yang berada dihadapan Candra menjawab dengan nada paling tenang.

"Dari mana anda bisa seyakin itu, kalau Utama ada dibalik semua kejadian ini...?", Candra kembali bertanya sanksi.

Perempuan dihadapan Candra tersenyum penuh arti, "Saya sudah lama curiga ada yang tidak beres dengan kerjasama ini dari awal, saya menyewa seseorang untuk melakukan penyelidikan tentang semua ini. Dan... Saya sendiri yang melanjutkan penelitian ini, menemukan kebenarannya dengan mata dan tangan saya sendiri.

Karena saya cukup kenal lokasi pelaku. Dari informan yang dapat dipercaya, ternyata mereka pemain lama. Saya bukan satu-satunya yang menjadi sasaran mereka, akan tetapi... Mereka selalu berhasil lolos dari semua kejadian", perempuan yang berada di hadapan Candra menjelaskan panjang lebar.

Semakin Candra mendengarkan penjelasan dari perempuan yang ada dihadapannya saat ini. Kepala Candra semakin terasa pening.

"Posisi anda sama seperti saya, tidak mudah untuk saya menerima kebenaran yang jelas dihadapan saya", perempuan itu kembali menambahkan.

"Lalu...? Kenapa anda diam saja...? Mengapa tidak memperkarakan masalah ini...? Mengapa tidak menuntut ganti rugi...? Anda akan biarkan saja uang anda miliaran melayang begitu saja...?", Candra kali ini naik pitam menghadapi ketenangan perempuan yang ada dihadapannya saat ini.

"Buat apa...?", diluar dugaan, perempuan yang ada dihadapan Candra malah merespon dengan senyuman yang tulus.

Candra semakin tidak mengerti dengan jalan pikiran perempuan yang ada dihadapannya saat ini, dia baru saja di tipu miliaran. Bahkan dia sedikitpun tidak berniat untuk melaporkan orang yang telah membawa lari uangnya, padahal dia tahu dengan jelas alamat dan siapa saja orang-orang yang terlibat dibelakangnya.

Tidak bisa dipercaya.

Perempuan gila...