webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · 若者
レビュー数が足りません
251 Chs

Kamu mempersulit aku kalau kamu kayak gini

Cakya menatap wajah Gama lekat. Menahan keras amarahnya yang akan meluap keluar, seperti gunung api yang siap memuntahkan semua laharnya.

"Apa sih Om...?", Cakya bicara kesal.

"Kamu g'ak bisa egois, Nanya sedang terbaring sakit diatas tempat tidur", Gama bicara kesal.

"Lalu apa Om...?", Cakya bertanya frustrasi.

"Dia ibu dari anak kamu Erca...!!!", Gama kembali berteriak kesal kali ini.

"Terus apa Om...? Cakya udah pisah sama Nanya", Cakya bicara dengan nada putus asa.

"Tapi... Disana ada Erca...! Dia anak kamu, darah daging kamu. Aku g'ak perduli kamu g'ak perduli sama Nanya.

G'ak ada namanya mantan anak, ini titik terendah Erca. Dia butuh kamu sebagai ayahnya", Gama menjelaskan panjang lebar, memberikan tekanan pada setiap kata-kata yang meluncur dari mulutnya.

Cakya tidak bicara apa-apa, Gama menatap Cakya lekat. Menit berikutnya, Gama menyerah. Cakya sama sekali tidak merespon apa-apa.

"Terserah kamu", Gama meraih tangan kanan Cakya, kemudian mengembalikan kunci motor Cakya.

Gama melangkah masuk kedalam rumah Nanya. Di belakang Gama, Cakya mengekor dengan kepala tertunduk. Gama membuka pintu kamar Nanya dengan perlahan.

Nanya menarik kasar jarum infus yang menembus kulitnya, detik berikutnya Nanya berlari ke kamar mandi yang ada di dalam kamar.

Nanya mengunci pintu kamar mandi dan muntah di kloset. Tubuhnya lemas, Nanya duduk di lantai kamar mandi dan bersandar di pintu.

"Ma...", Erca mengetuk pintu kamar mandi, tangisnya pecah begitu mendengar Nanya kembali muntah.

Mayang merangkul Erca yang masih menggedor pintu kamar mandi, berharap ibunya keluar dari kamar mandi.

"Sayang... Kamu sama Oma dulu yuk", Mayang bicara lembut.

Erca menggeleng pelan, "Mama... Erca mau lihat mama...", Erca tetap pada pendiriannya, mengetuk pintu kamar mandi dengan tangan kecilnya berkali-kali.

Cakya menghampiri Erca, "Erca sama Oma dulu ya...", Cakya bicara pelan.

"Mama pa...", Erca kembali protes.

"Kamu percaya sama papa...? Mama akan baik-baik saja, papa yang akan jagain mama", Cakya membuat janji kepada putra semata wayangnya.

Erca akhirnya mengalah, mengikuti Mayang keluar dari kamar bersama Gama.

Cakya mengetuk pelan pintu kamar mandi setelah Gama, Erca dan Mayang keluar dari kamar.

"Nanya... Bisa tolong buka pintunya...?", Cakya bicara pelan.

"Ngapain lagi kamu disini...?", Nanya bicara dengan suara paling rendah.

"Kamu keluar dulu, jangan duduk di lantai kamar mandi, kamu bisa masuk angin", Cakya bicara lirih.

Tidak ada jawaban dari Nanya, malah terdengar suara Nanya yang kembali muntah.

"Nanya... Buka pintunya, atau aku dobrak...!!!", kali ini Cakya memilih untuk mengancam Nanya.

Suasana hening kemudian, detik berikutnya terdengar suara kunci pintu dibuka. Cakya segera membuka daun pintu dengan sangat hati-hati.

Nanya duduk melingkar di lantai, kedua tangannya melingkar di perutnya. Keringat dingin membanjiri tubuh Nanya yang semakin pucat.

"Maaf...", Cakya bicara pelan, kemudian langsung mengangkat tubuh Nanya kembali keatas tempat tidur.

Cakya membersihkan luka di tangan Nanya, karena Nanya menarik paksa jarum infus ditangannya. Setelah selesai, Cakya menahan luka Nanya dengan kapas dan plester luka. Selanjutnya Cakya menarik selimut, untuk menutupi tubuh Nanya.

Mayang muncul dari daun pintu, membawa mangkuk berisi bubur yang di beli oleh Gama. Mayang duduk di kursi di samping tempat tidur.

"Kak Nanya makan dulu, biar perutnya g'ak mual lagi", Mayang bicara lembut.

Cakya dengan telaten membantu Nanya untuk bersandar di kepala tempat tidur. Nanya hanya makan beberapa suap, selanjutnya Nanya menolak makanan yang masuk ke mulutnya.

"Kak... Infusnya Mayang pasang lagi ya", Mayang bicara penuh harap.

Nanya hanya mengedipkan matanya perlahan.

Mayang segera memasang kembali infus Nanya, "Kak Nanya minum obatnya dulu", Mayang menyerahkan obat ketangan Nanya. Seperti anak kecil Nanya tidak protes sama sekali.

HP Mayang berteriak minta diangkat, "Sebentar, Mayang keluar dulu kak", Mayang melangkah keluar kamar.

Cakya mengambil gelas dari tangan Nanya setelah Nanya meminum obatnya. Cakya dengan hati-hati membantu Nanya untuk kembali tidur.

"Kenapa Cakya disini...?", Nanya bertanya pelan, Nanya memilih untuk menutup matanya.

"Cakya mengantar Erca, kita ketemu di gunung", Cakya bicara dengan suara paling pelan.

Suasana terasa hening seketika, baik Nanya ataupun Cakya tidak ada yang angkat suara. Setelah hening selama beberapa menit.

"Kamu mempersulit aku kalau kamu kayak gini...", Cakya bicara lirih.

Nanya spontan membuka matanya, menatap wajah Cakya yang duduk di dampak tempat tidur penuh tanya.

"Cakya mohon, kamu jangan seperti ini. Kalau kayak gini, kamu hanya membuat aku semakin merasa bersalah", Cakya bicara dengan suara paling rendah.

***

Candra membolak-balik laporan yang ada dihadapannya.

Terdengar suara ketukan pintu, "Masuk", Candra bicara setengah berteriak.

Detik berikutnya Sinta muncul dari balik daun pintu, menghampiri meja kerja Candra. Sinta meletakkan map yang dia bawa kehadapan Candra.

"Apa ini mbak...?", Candra bertanya bingung.

Sinta tidak menjawab, malah duduk di kursi tepat dihadapan Candra.

Candra membuka lembar demi lembar kertas yang ada di dalam map. Semakin di buka, wajah Candra perlahan berubah semakin suram.

"Sejak kapan mbak...?", Candra bertanya dengan suara paling pelan.

"Tiga tahun yang lalu", Sinta bicara dengan nada tidak yakin.

"Kenapa tidak ada yang menyampaikan kepada Candra...?", Candra bertanya kesal.

"Maaf, mbak sebelumnya kurang yakin. Makanya mbak memutuskan untuk menyelidiki ini lebih jauh.

Kemarin mbak baru dapat konfirmasi langsung dari pihak Malaysia, mereka mengiakan kalau ibu kamu sudah menikah dengan lelaki itu 3 tahun yang lalu.

Dan... Maaf dek, mbak belum tahu pasti dia mengajukan kerjasama dengan perusahaan atas usulan ibu kamu, atau malah dia belum tahu sama sekali kalau ini perusahaan kamu. Mbak belum bisa pastikan itu", Sinta menjelaskan panjang lebar.

"Putuskan semua kontrak kerjasama kita", Candra bicara dingin, kemudian meletakkan map dari Sinta ke samping mejanya.

"Tapi dek... Kita sudah hampir setengah jalan, hanya tinggal eksekusi saja. Apa kamu yakin...?", Sinta kali ini tidak setuju dengan pendapat Candra.

"Apa Candra harus ulang perintah Candra mbak?", Candra menjawab sengit.

"G'ak perlu, kalau begitu mbak permisi dek", Sinta segera berlalu dari hadapan Candra, meninggalkan Candra yang kembali sibuk dengan laporan-laporannya.

Hanya dalam hitungan jam, kantor Candra di bom bardir dengan telfon masuk yang bertubi-tubi. Candra tetap tidak bergeming dari posisinya.

Hingga akhirnya suara panggilan telfon masuk ke HP Candra, Candra meraih HPnya dan melihat sekilas nama yang muncul di HPnya.

Candra menolak panggilan masuk, detik berikutnya Candra mematikan HPnya. Kemudian Candra memilih untuk berdiri di jendela kantornya, menghisap rokok yang baru saja dibakarnya.

Terdengar suara ketukan pintu, sinta kembali muncul dari balik daun pintu.

"Dek...", Sinta bicara pelan.

Candra tidak menoleh sedikitpun, bahkan Candra tidak berniat melihat lawan bicaranya kali ini.

"Ada apa mbak...?", Candra bicara pelan, setelah meniup kasar asap rokok ke arah luar jendela.

"Ibuk telfon, dia mau bicara sama kamu dek", Sinta bicara pelan.

Candra tidak bergeming sedikitpun dari posisi semula. Matanya menatap kosong keluar jendela.