Erca tersenyum lembut, kemudian menatap jauh kedepan.
"Erca punya hak apa marah sama papa...?", Erca bicara lirih.
"Tapi kan gara-gara papa memutuskan untuk pisah sama mama kamu, kamu...", Cakya tidak bisa melanjutkan ucapannya, karena Erca kembali menyela.
"Papa sama mama hanya pisah, bukan meninggal. Toh Erca masih bisa ketemu papa sama mama kapanpun Erca mau bukan...?", Erca bicara pelan, menatap wajah Cakya lekat.
Cakya segera menarik Erca kedalam pelukannya, "Terima kasih nak...", Cakya bicara lirih.
"Erca yang harusnya mengucapkan terima kasih, papa udah jadi orang tua terbaik buat Erca selama ini", Erca bicara dengan makna yang jauh lebih dalam.
"Bagaimana kabar mama kamu...?", Cakya tiba-tiba bertanya lembut, setelah melepaskan pelukannya.
"Mama masih sedikit sedih, tapi... Erca yakin mama akan baik-baik saja. Hanya butuh waktu sedikit lebih lama saja pa", Erca menjawab selayaknya orang dewasa.
Cakya menatap putra semata wayangnya penuh tanya.
"Kenapa tiba-tiba papa melihat Erca seperti itu...?", Erca bertanya bingung dengan tatapan ayahnya.
"Coba waktu itu Papa sekuat dan sedewasa kamu nak...", Cakya menyesali masalalunya yang kelam.
"Tua pasti, dewasa itu pilihan pa", Erca bicara pelan di sela senyuman terbaiknya.
***
Erfly perlahan membuka matanya. Erfly menyapu setiap tatapannya kesekeliling ruangan.
"Ayah... Bunda sudah sadar...!!!", Erfly kecil berteriak begitu ibunya membuka matanya perlahan.
Satia, Hasan dan Husen segera menyerbu kedalam kamar.
"Kamu sudah bangun dek...?", Satia duduk di samping Erfly, segera membantu Erfly untuk duduk dengan nyaman bersandar di kepala tempat tidur.
"Maaf sudah membuat semuanya khawatir", Erfly melemparkan senyuman terbaiknya.
Hasan, Husen dan Erfly segera memeluk ibunya.
"Yang penting Bunda sudah bangun", Erfly bicara dengan senyuman terbaiknya.
Erfly, Hasan dan Husen hanya menghabiskan waktu beberapa menit bersama ibunya, kemudian si kembar sengaja pergi meninggalkan ibunya dibawah pengawasan ayahnya.
Erfly memukul lembut tempat tidur disampingnya. Satia segera naik keatas tempat tidur, duduk di samping Erfly. Erfly segera berbaring dengan menggunakan paha Satia menjadi pengganti bantalnya.
"Sudah berapa lama Ilen g'ak sadar mas...?", Erfly bertanya dengan nada suara paling pelan.
"Hampir seminggu, setelah kamu memaki Cakya di kosan milik Gama. Kamu langsung jatuh pingsan, dan di bawa kerumah sakit DKT", Satia menjelaskan runtutan kejadian dengan sabar, jemari tangan kanannya mengusap rambut halus Erfly.
"Lega rasanya, saat membuka mata Ilen ada di rumah, bukan tempat persegi berwarna putih dan berbau obat", Erfly membuat pengakuan.
Satia tertawa renyah, "Ko Alfa yang meminta kamu di bawa pulang saja ke Lombok", Satia kembali menambahkan.
"Oh... Jadi... Ko Alfa yang selalu mengganti infus Ilen selama Ilen g'ak sadar...", Erfly manggut-manggut pelan.
"Sok tahu", Satia mencubit pelan hidung Erfly karena merasa gemas.
"Lho... Kalau bukan ko Alfa, siapa lagi...?", Erfly bertanya bingung.
"Dokter pribadi kesatuan yang datang setiap hari, mengecek keadaan kamu dan mengganti infus kamu dek", Satia bicara penuh keyakinan.
"Lalu ko Alfa...? Apa dia kembali ke Bali...?", Erfly bertanya asal.
"Dia lagi sibuk mempersiapkan pernikahannya", Satia menjawab santai.
"Pernikahan...?", Erfly segera bangun dari posisi tidurnya, duduk dengan menatap lekat wajah Satia. "Nikah dengan siapa...?", Erfly menagih jawaban.
"Nazwa, suster yang membantu dia di rumah sakit DKT waktu operasi anak pak Jendral", Satia menjawab lembut.
"Suster Nazwa...? Diakan...", Erfly tidak melanjutkan ucapannya.
"Ko Alfa memutuskan untuk menjadi mualaf", Satia bicara lirih.
Erfly menangis tanpa dia sadari.
***
Mayang berlari di halaman rumah Nanya, setelah bercerai dengan Cakya. Mayang dan Erca memutuskan untuk tinggal di rumah lama Nanya.
Mayang membuka kasar pintu utama rumah, "Kak Nanya...!!!", Mayang berteriak berkali-kali, Mayang berlari menyusuri setiap sudut rumah mencari keberadaan Nanya.
Langkah Mayang terhenti begitu membuka pintu kamar Nanya, di sudut tempat tidur tepat di bawah jendela, Nanya tidak sadarkan diri.
"Astagfirullah... Nanya...", Gama yang menyusul setelah memarkirkan mobil, segera berlari menghampiri Nanya dan Mayang. Tanpa pikir panjang, Gama mengangkat tubuh Nanya keatas tempat tidur.
Mayang segera mengecek keadaan Nanya, "Bang... Mayang bisa minta tolong ambilkan kotak P3K di bawah jok depan...?", Mayang bicara lembut
Gama tidak menjawab, akan tetapi langsung berlalu keluar dari kamar menuju halaman rumah Nanya.
Mayang merubah posisi tidur Nanya agar lebih nyaman, membuka kancing baju Nanya yang paling atas agar Nanya lebih leluasa bernafas.
Menit berikutnya Gama muncul dengan kotak yang Mayang minta, "Terima kasih bang", Mayang bicara pelan sembari meraih kotak P3K dari tangan Gama.
Mayang segera meraih stetoskop, mengecek keadaan Nanya dengan teliti. Bahkan Mayang mengecek denyut jantung dan tensi Nanya berulang-ulang.
"Bagaimana...? Apa perlu kita bawa kerumah sakit...?", Gama bertanya cemas.
Mayang menjauhkan stetoskop dari lubang telinganya, "Kak Nanya hanya butuh istirahat bang. Sepertinya akhir-akhir ini kak Nanya tidak makan dengan baik. Jadi... Tubuhnya kekurangan nutrisi, sehingga dia lemas dan jatuh pingsan. Tensinya juga rendah, sepertinya gula darah kak Nanya juga turun, itu yang membuat dia begitu pucat", Mayang menjelaskan secara garis besar keadaan Nanya.
"Lalu kita harus bagaimana...?", Gama bertanya bingung.
"Abang bisa tolong cari bubur g'ak...? Atau... Nasi tim. Setidaknya setelah sadar, kak Nanya harus memakan sesuatu", Mayang bicara lembut.
Gama mengangguk pelan, kemudian berlalu dari hadapan Mayang yang sibuk memasangkan infus kepada Nanya.
Gama berkeliling kota mencari penjual bubur, beruntung Gama menemukan penjual bubur ayam langganan Erfly.
***
Cakya menghentikan motornya tepat di depan pintu pagar rumah Nanya. Erca segera turun dan menyerahkan helm ke tangan Cakya.
"Papa... G'ak mau masuk dulu...?", Erca bertanya penuh harap.
Cakya mengambil helm dari tangan Erca. "Lain kali ya nak, papa... Capek mau istirahat", Cakya memaksakan senyumnya.
"Ya udah, hati-hati pa", Erca dengan berat hati melepaskan ayahnya pergi.
Tepat sebelum Cakya pergi, Gama memarkirkan mobilnya.
"Opa...? Kok bisa disini...?", Erca bertanya bingung saat Gama turun dari mobil.
"Mama kamu pingsan", Gama tidak menutupi keadaan ibunya Erca.
"Apa...?", Erca bertanya bingung, terakhir yang Erca ingat, ibunya baik-baik saja saat dia pamit mau naik gunung tadi pagi.
"Kamu masuk duluan, Opa mau ngomong sama papa kamu sebentar", Gama memberi perintah.
Erca hanya mengangguk pelan, "Sekalian tolong bawa buburnya, pastiin mama kami habisin", Gama kembali menambahkan sebelum Erca berlalu dengan kantong bubur yang di bawa oleh Gama.
"Kamu g'ak mau masuk dulu, melihat keadaan Nanya...?", Gama bertanya pelan sesaat setelah Erca menghilang dari balik daun pintu utama.
"Buat apa...? Cakya udah pisah sama Nanya. Lagian... Udah ada Om sama tante Mayang juga", Cakya bicara pelan.
Cakya segera menggantung helm yang dipakai oleh Erca sebelumnya, berniat untuk sesegera mungkin meninggalkan rumah Nanya.
Kali ini Cakya kalah cepat dari Gama, Gama segera mencabut kunci motor Cakya tepat sebelum Cakya berhasil menghidupkan motornya.