webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · 若者
レビュー数が足りません
251 Chs

Hukuman macam apa ini...?

Setelah kejadian memalukan di kelas Erfly, Elang tidak berani lagi mendekati Erfly. Setidaknya itu bisa membuat Cakya bernafas lega.

Erfly duduk di taman sekolah bersama Gama. Sedangkan siswa yang lain sedang asik bermain memanfaatkan jadwal olahraga.

"Dek...", Gama bicara lirih.

"Hem... Kenapa bang...?", Erfly bertanya pelan tanpa melihat kearah Gama, tetap fokus pada Cakya yang berlarian dilapangan basket.

"Lusa... Tepat 1 tahun kepergian Asri", Gama bicara dengan nada paling rendah.

Erfly kaget mendengar ucapan Gama. Erfly langsung menoleh kearah Gama. "Bang...", Erfly bicara lirih.

Gama menghapus kasar air matanya, "Ehem...", Gama berdehem pelan. "Rencananya... Besok Gama akan ziarah kemakamnya Asri", Gama bicara dengan suara berat, karena berusaha keras menahan tangisnya.

"Bang... Erfly... Boleh ikut g'ak...?", Erfly mengajukan permintaan.

"Bolehlah dek, Asri pasti senang ngeliat kamu", Gama bicara disela senyumnya yang lebar.

"Kalau gitu Erfly bakal cari rentalan mobil, biar lebih gampang. Kita berangkat sama-sama besok malam, jadi kita bisa nyampe pagi. Terus lusanya kita bisa balik g'ak kemalaman", Erfly mengusulkan.

"Boleh dek", Gama bicara dengan antusias.

***

Sesuai rencana Erfly dan Gama berangkat malam ke Muara Bulian. Untuk ziarah kemakamnya Asri.

"Dek...? Kamu dimana...? Koko ada di depan rumah kamu ini...", Alfa bertanya dari ujung telfon.

"Astagfirullah, Erfly lupa kasih tahu Ko. Erfly lagi dijalan ini", Erfly bicara penuh rasa bersalah.

"Lagi dijalan...? Kamu mau kemana dek...?", Alfa bertanya penasaran.

"Erfly... Mau ke Bulian Ko, ziarah kemakamnya Asri. Besok pas setahun meninggalnya Asri", Erfly menjawab jujur.

"Kamu sendiri dek...?", Alfa bertanya cemas. Karena baru kali ini Erfly pergi jauh dari pengawasannya setelah operasi transplantasi jantung dan mata.

"Erfly sama bang Gama Ko, kita rental mobil, InsyAllah besok malam juga udah balik lagi Ko", Erfly menjelaskan.

"Kamu hati-hati dek. Salam sama Gama", Alfa mengakhiri hubungan telfon.

"Iya, maaf ya Ko g'ak ngasih tahu", Erfly bicara dengan rasa bersalahnya. Sebelum memutuskan hubungan telfon.

"Siapa dek...?", Gama menoleh kebelakang ke bangku penumpang menatap Erfly.

"Ko Alfa nyariin Erfly", Erfly bicara jujur.

"Lha... Kamu g'ak ngasih tahu dokter Alfa...?", Gama bertanya bingung.

Erfly malah nyengir kuda, "Erfly lupa bang", Erfly bicara pelan.

Gama geleng-geleng kepala. "Kamu ini dek... Dek...! Belum tua udah pikun", Gama bicara pelan, kemudian kembali menatap kedepan kearah jalan.

Erfly malah berbaring, mencari posisi nyaman untuk tidur.

***

Sinta menjenguk Candra. Di rutan segera setelah kembali ke Sungai Penuh.

"Cie... Yang habis liburan", Candra menggoda Sinta, begitu melihat Sinta sudah duduk di ruang tunggu.

"Mbak sama sekali g'ak liburan dek", Sinta menjawab pelan, masih terdengar suara lelah Sinta karena melakukan perjalanan panjang.

"Assalamu'alaikum mbak", Candra menyalami Sinta dengan penuh rasa santun.

"Wa'alaikumsalam, gimana kabar kamu dek...?", Sinta bertanya seperti biasa, setiap kali menjenguk Candra, Sinta akan selalu menanyakan keadaan Candra terlebih dahulu, sebelum melanjutkan tema pembicaraan yang lain.

"Alhamdulillah baik mbak", Candra menjawab pelan.

Sinta membuka makanan yang dibawanya, kemudian menyodorkan ke hadapan Candra.

"Terima kasih mbak", Candra tidak basa-basi lagi, langsung menyantap makanan yang dibawa Sinta dengan lahapnya seperti biasa.

"Dek..."

"Kenapa mbak...?"

"Mbak sudah berhasil menjual perusahaan", Sinta mulai mengangkat tema yang jauh lebih serius.

Candra tidak menganggapi, dia menghentikan suapannya beberapa detik. Kemudian kembali melanjutkan makannya.

"Semua gaji karyawan sudah mbak bayar, dan... Mbak juga sudah menyampaikan pesan kamu. Menyampaikan permintaan maaf untuk almarhum pak Wiratama, sekaligus mengucapkan terimakasih atas semua kerja keras karyawan selama ini", Sinta berhenti sejenak untuk menarik nafas.

"Saat transit di Jakarta, mbak sempat mampir ke perusahaan yang ada di Jakarta dan Tangerang. Mbak juga sempat melakukan Vidio dengan pimpinan yang di Bandung. Alhamdulillah semua perusahaan sudah mulai membaik dek", Sinta menjelaskan panjang lebar, mengucapkan kata perkata dengan perlahan agar Cakya bisa mencerna setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya.

"Alhamdulillah", Candra bicara lega, merasa satu beban sudah berhasil dia lepaskan dari pundaknya.

"Mbak... Juga sudah berhasil membeli semua saham perusahaan yang bisa kita selamatkan", Sinta memberikan informasi terakhir yang dia punya.

"Hah...?", Candra bertanya bingung, karena tidak yakin dengan apa yang didengarnya barusan.

"Iya, mbak berhasil membeli semua saham perusahaan. Jadi... Untuk kedepannya, kita tidak perlu bergantung pada investor lagi untuk mengambil keputusan apapun demi kemajuan perusahaan", Sinta bicara dengan antusias.

Air mata Candra jatuh tanpa permisi. "Terima kasih mbak. Candra berhutang banyak sama mbak...", Candra bicara dengan suara serak, karena menahan tangisnya.

Sinta menggenggam tangan Candra, mentransfer kekuatan untuk Candra. "Dalam keluarga itu tidak ada yang namanya hutang dek. Kamu itu sudah seperti adik mbak sendiri", Sinta bicara dengan nada paling rendah.

***

Setelah perjalanan panjang, akhirnya Gama dan Erfly sampai ke Muara Bulian lewat tengah malam. Erfly memutuskan mencari penginapan untuk beristirahat.

Setelah sholat subuh. Gama dan Erfly memutuskan untuk keluar dari penginapan, sehingga setelah pulang dari ziarah, mereka bisa langsung pulang ke Sungai Penuh.

Gama dan Erfly mencari sarapan disekitar penginapan, kemudian menuju ke makam Asri.

Erfly dan Gama melangkah perlahan menuju makam Asri. "Assalamualaikum ahlad diyaar minal mukminiina wal musliminn", Erfly mengucapkan salam begitu berdiri disamping tempat peristirahatan terakhir Asri.

"Dek... G'ak terasa udah setahun aja dek...", Gama berucap pelan, suaranya berat karena menahan tangis.

Erfly mengusap pelan pundak Gama, memberikan kekuatan kepada Gama. "Asri punya kakak yang luar biasa", Erfly bicara pelan.

"Asri... Terima kasih atas kehidupan kedua ini. Terima kasih atas jantung dan mata ini", Erfly bicara pelan.

"Jantung...?", tiba-tiba terdengar suara Cakya dari arah belakang Erfly dan Gama.

"Cakya...?", Gama dan Erfly kaget saat melihat Cakya sudah berada dihadapan mereka.

"Apa maksud kamu...?", Cakya bertanya sengit kepada Erfly, mengejar jawaban.

"Cakya...", Gama berusaha menenangkan Cakya yang sedang emosi.

"Jawab...!!!", Cakya mencengkram tangan Erfly kasar, menagih jawaban.

"Erfly penerima donor jantung Asri...", Erfly bicara jujur.

"Apa...? Om juga tahu masalah ini...?", Cakya balik berteriak kearah Gama.

Gama hanya mengangguk pelan, sebagai jawaban.

"Om anggap apa Cakya selama ini...? Cakya sudah bilang, Cakya g'ak setuju dengan keputusan Asri buat jadi pendonor organ. Om keterlaluan...!!!", Cakya berteriak meluapkan emosinya.

"Dengar dulu Cakya...", Gama berusaha menghalangi Cakya untuk tidak pergi.

Cakya menepis tangan Gama dengan kasar, kemudian berlari sekuat tenaga menuju arah jalan raya. Gama menyusul Cakya tanpa aba-aba, disusul Erfly dari arah belakang. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju arah Cakya. Karena efek sopir yang mengantuk, mobil melaju dengan tidak beraturan.

"Cakya....!!!", Gama mendorong tubuh Cakya sekuat tenaga.

Cakya tersungkur kesamping jalan, sial buat Gama tertabrak oleh mobil.

"Bang Gama....!!!", Erfly berteriak sekuat tenaga, karena merasa ngeri.

Supir mobil terbangun, langsung menginjak rem saat sadar dia menabrak sesuatu.

Warga dengan segera berkumpul, mengamankan sopir mobil agar tidak dikeroyok oleh masa. Gama langsung diangkat kedalam mobil sewaan Erfly, mereka menuju rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan.

Gama segera masuk ruang operasi, karena perut Gama tertusuk ranting pohon saat terpelanting ke semak-semak.

"Hukuman macam apa ini...?", Cakya bersandar frustrasi dipintu ruang operasi. Cakya tanpa sadar menangis karena menyesali perbuatannya, kenapa dia harus marah kepada Gama. Mengapa dia berlari tidak melihat kiri kanan, kalau saja dia lebih hati-hati Gama saat ini pasti akan baik-baik saja.

Tubuh Cakya gemetar hebat, bayangan kecelakaan Asri kembali menyerbu ingatannya. "Maaf... Cakya yang salah...", Cakya memukul-mukul kepalanya sendiri. "Cakya yang salah...", Cakya kembali mengulang kata yang sama.