Mayang membuka pintu ruang rawat inap Erca. Mayang berjalan perlahan menghampiri tempat tidur Erca. Kemudian Mayang duduk di kursi tepat di samping tempat tidur Erca.
Erca masih bersembunyi dibawah selimut. Tanpa suara apapun, akan tetapi tubuh Erca bergetar. Mayang tahu dengan pasti kalau Erca sedang menangis dibalik selimut. Mayang menarik nafas panjang sebelum mulai bicara.
"Oma boleh lihat wajah cucu Oma yang ganteng g'ak...?", Mayang bicara lembut, tetap berusaha untuk senatural mungkin.
Erca perlahan menurunkan selimut yang menutup wajahnya.
Mayang mengusap pucuk kepala Erca dengan sayangnya, Erca segera merubah posisi tidurnya menjadi duduk bersandar di punggung tempat tidur.
"Kamu kenapa ganteng...?", Mayang bertanya lembut.
Erca tidak menjawab, dia hanya menundukkan kepalanya dalam.
Mayang segera meraih jemari tangan Erca, kemudian mengusap lembut jemari tangan Erca yang ada diatas telapak tangan lainnya.
"Kalau ada apa-apa, Erca bisa bicara sama Oma. Gini-gini Oma dokter loh, seorang dokter paling jago menyimpan rahasia", Mayang bicara lembut.
"Erca lagi kesal saja sama papa dan mama", Erca bicara lirih.
"Memangnya kenapa...? Kamu dimarahin sama papa dan mama...?", Mayang bertanya asal.
Erca menggeleng pelan, "Papa sama mama selalu memperlakukan Erca seperti benda berharga yang mereka punya", Erca bicara penuh makna.
"Lalu apa masalahnya...?", Mayang semakin bingung.
"Karna Erca benda berharga mereka, jadi mereka memperlakukan Erca hanya seperti benda. Mereka lupa kalau Erca juga punya mata yang bisa melihat kalau mereka tidak sedang baik-baik saja, Erca juga punya telinga yang bisa mendengar setiap tangis tertahan mama, Erca juga punya hati yang tiba-tiba terasa kosong tanpa kehadiran mereka", Erca bicara panjang lebar.
"Seharian ini Erca bersama papa dan mama bukan...?", Mayang kembali bertanya bingung.
"Hanya replika tubuh mereka yang mematung disini Oma, tapi... Jiwa dan pikiran mereka entah melayang dimana", Erca bicara dengan makna yang dalam.
Mayang spontan menyerbu kepelukan Erca, tangisnya tidak terbentang lagi. Mendengar anak sekecil itu bicara dengan makna yang dalam. Bahkan orang dewasa sekalipun, masih banyak yang tidak sensitif dengan keadaan sekitar. Tapi... Erca yang baru berumur 10 tahun, mampu mengerti ada yang salah antara ibu dan ayahnya. Padahal masing-masing dari mereka sudah tutup mulut dengan rapat tentang masalah yang mereka hadapi.
***
Cakya memilih sholat isya berjamaah di masjid yang tepat berada di seberang jalan rumah sakit. Nanya dan Gama juga memutuskan mengikuti Cakya.
Setelah sholat, satu persatu jamaah meninggalkan posisinya.
Gama sengaja duduk di syaf paling terakhir sebelum pintu keluar. Saat Cakya mau keluar Gama segera memanggil Cakya.
"Cakya...", Gama bicara pelan, kemudian memukul pelan karpet di samping kanannya memberi isyarat agar Cakya duduk.
Cakya tidak bicara apa-apa, langsung duduk di samping Gama.
"Nanya...", Gama memanggil Nanya saat muncul di hadapannya, Gama memukul karpet di samping kirinya.
Nanyapun tidak protes, segera duduk tidak jauh dari Gama.
"Mumpung ada kalian berdua di sini. Gama langsung ke intinya saja. Kalian berdua maunya apa...?", Gama bertanya lembut.
Gama menatap wajah Cakya lekat, kemudian menatap Nanya sekilas menagih jawaban.
"Dari awal Cakya tidak pernah setuju dengan ide ini. Semua tidak akan berjalan lancar", Cakya kembali angkat bicara, nada suaranya dingin seperti biasanya.
"Lalu mau kamu apa...?", kali ini Gama balik menantang Cakya.
"Yang memulai perjanjian ini Nanya. Dia yang harusnya Om tanya maunya apa...?", Cakya kembali melemparkan argumen dinginnya, melemparkan bola panas sekarang kearah Nanya.
Gama menatap Nanya, "Kalian berdua sudah bukan anak kecil lagi yang harus di dikte. Kalian berdua sudah tahu mana yang baik dan buruk untuk kalian kedepannya.
Nanya udah dengar ucapan Cakya. Sekarang Gama bertanya bukan sebagai orang lain. Gama kali ini bertanya sebagai Omnya Cakya. Nanya maunya apa...?", Gama bertanya lirih, menatap lekat wajah Nanya.
Nanya menunduk dalam, tidak berani menatap wajah Cakya ataupun Gama.
"Keadaan akan menjadi semakin sulit, kalau kalian tetap memikirkan ego kalian masing-masing. Kalian berdua bukan hanya hidup untuk diri kalian saja, tapi... Ada Erca", Gama kembali mengingatkan.
"Nanya... Nanya... Ingin pisah", Nanya akhirnya angkat suara.
"Astagfirullah halazim... Kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan...?", Gama bertanya dengan makna yang jauh lebih dalam kepada Nanya.
"Lebih dari 11 tahun Nanya bertahan, berharap suatu saat Cakya akan membuka sedikit pintu hatinya untuk Nanya. Tapi... Semua yang Nanya lakukan seolah percuma saja, dianggap angin lalu saja.
Kalau mau jujur Nanya lelah. Nanya memilih untuk mundur", Nanya bicara lirih, kepalanya masih tertunduk tidak berani menatap wajah Cakya ataupun Gama.
"Bagaimana dengan kamu Cakya...?", Gama kali ini menatap Cakya yang masih duduk tenang.
"Setelah Cakya menginjak kaki keluar dari masjid. Maka jatuhlah talak satu. Mulai dari itu, Nanya bukan istri Cakya lagi", Cakya bicara pelan.
Cakya beranjak dari posisi duduknya, melangkah dengan pasti menuju pintu masjid. Gama segera menarik lengan tangan kanan Cakya kasar.
"Kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu ucapkan...?", Gama berteriak kesal kepada Cakya.
Cakya hanya diam membisu, tidak berniat menanggapi ucapan Gama.
"Cerai itu perbuatan yang dibolehkan oleh agama, tapi sangat dibenci oleh Allah...!", Gama memberi peringatan keras kepada Cakya.
"Justru ini jalan yang Cakya ambil, untuk mengejar ridho Allah...", Cakya bicara lirih penuh keyakinan.
Detik berikutnya Cakya melangkah dengan pasti keluar dari masjid, Nanya melirik langkah kaki Cakya yang semakin menjauh. Air matanya segera mengalir tanpa permisi, begitu kaki Cakya melangkah keluar dari pintu masjid.
***
Erca duduk menatap kosong ke tengah danau gunung tujuh. Suara air terjun membuat Erca merasa damai. Dengan rakus Erca menghirup oksigen di sekitar.
Cakya duduk di samping Erca, Cakya mengacak rambut Erca lembut.
"Papa kok bisa disini...?", Erca bertanya bingung.
"Memangnya kenapa...?", Cakya bertanya bingung.
"Kok papa tahu kalau Erca disini...?", Erca balik bertanya bingung.
Cakya tertawa remeh, "Sebelum kamu jadi penghuni Danau Gunung Tujuh. Papa udah duluan menjadikan ini rumah kedua papa", Cakya bicara pelan.
"Kenapa papa suka disini...?", Erca tiba-tiba bertanya diluar dugaan Cakya.
"Disini itu damai, alam itu adalah teman yang paling jujur", Cakya bicara dengan makna yang jauh lebih dalam.
"Kamu baik-baik saja...?", Cakya tiba-tiba bertanya lirih, menatap lekat wajah putra semata wayangnya.
"Hanya butuh waktu", Erca menjawab lirih.
"Papa... Minta maaf", Cakya bicara dengan suara paling pelan.
"Kenapa papa malah minta maaf...? Memangnya papa salah apa sama Erca...?", Erca bicara bingung. Keningnya berkerut seperti orang dewasa saja.
"Papa banyak salah sama kamu dan mama kamu. Gara-gara keegoisan papa, kalian semua...", Cakya tidak bisa menyelesaikan ucapannya karena Erca sudah kembali menyela.
"Papa juga berhak bahagia. Papa juga berhak mencari kebahagiaan papa sendiri", Erca bicara pelan.
"Kamu g'ak marah sama papa...?", Cakya bertanya dengan kebingungan yang amat dalam.
Kenapa Erca begitu tenang menghadapi perpisahan kedua orang tuanya.