Satia menatap lembut wajah Erfly, kemudian mengecup pelan pucuk kepala Erfly yang di tutupi jelbab.
"Mereka sudah pulang", Satia menjawab lirih, setelah kembali duduk di kursi tepat disamping tempat tidur Erfly.
"Pulang...? Kapan...? Dengan apa...?", Erfly menghujani Satia dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.
"Ba'da magrib, mereka pulang dengan helikopter pasukan khusus", Satia berusaha keras menghindari tatapan mata Erfly, takut Erfly akan menyadari ada yang sedang di sembunyikan.
"Alhamdulillah...", Erfly bicara lega. "Kantor...", Erfly tidak bisa menyelesaikan ucapannya, karena Satia sudah meletakkan jempol tangan kanannya di atas bibir Erfly.
Jemari tangan kanan Satia yang panjang segera berhasil menutup setengah pipi Erfly, bahkan jempol tangan kanan Satia sudah berada tepat diatas bibir Erfly.
"Sehari saja, jangan pikir apa-apa. Kamu baru saja selesai di operasi dek, peluru itu hampir saja berhasil merenggut nyawa kamu. Sekarang waktunya istirahat", Satia mengucapkan kata perkata dengan penuh penekanan.
Erfly tersenyum mengiakan perintah Satia, "Maaf...", Erfly bicara disela senyum terbaiknya.
Satia segera menempelkan keningnya di bantal Erfly, masih dalam posisi duduk. Erfly meraih jemari tangan kanan Satia yang masih berada di pipinya, kemudian menciumi telapak tangan Satia lembut.
Satia memutar pergelangan tangan kanannya yang ada di jemari Erfly, hingga menggenggam lembut jemari tangan kanan Erfly.
***
Nadhira membuka matanya lebar-lebar begitu membaca laporan yang ada di hadapannya saat ini. Detik berikutnya Nadhira menggeleng pelan.
"Ada apa teh...?", seorang lelaki yang sedari tadi setia menjaga si kembar duduk di kursi kosong yang ada di samping Nadhira.
Nadhira menyerahkan laporan yang ada di tangannya ke tangan lelaki yang ada dihadapannya.
Hanya butuh beberapa menit untuk lelaki itu membaca laporan yang di serahkan oleh Nadhira.
"Ini keuntungan bersih selama satu tahun teh...?", lelaki itu tidak percaya dengan angka yang tertulis diatas kertas.
"Sebulan", Nadhira memperbaiki.
"Sebulan...? Bosnya teteh itu manusia atau bukan sih...?", lelaki itu bertanya bingung, masih tidak percaya dengan informasi yang baru saja dia terima.
"Kamu beruntung saya tidak sempat merekam ucapan mu barusan. Kalau tidak, saya yakin kamu akan langsung di bebas tugaskan begitu Satia mendengar rekamannya", Nadhira tertawa renyah.
"Bu... Bukan seperti itu maksud saya...", lelaki itu mulai salah tingkah karena baru menyadari kalau dia salah bicara.
"Butterfly...! Pertama kali saya mendengar nama itu di sebut oleh almarhum ayahnya, beliau berkata 'itu putri jenius saya satu-satunya'.
Bahkan suatu hari, almarhum ayahnya pernah mengatakan kepada saya, suatu saat saya yakin Ilen akan jadi manusia luar biasa, dia akan terus naik menuju puncak kejayaannya. Akan datang hari dimana semua orang akan bergantung kepadanya, ribuan karyawan akan bekerja dibawahnya.
Ilen tidak perlu takut akan kekurangan materi. Dan... Saya harap saat hari itu tiba, kamu ada di sampingnya, mendampingi Ilen dipuncak kejayaannya", Nadhira tersenyum membayangkan wajah mantan bosnya, bahkan tanpa disadari sebutir air mata mengalir dipipinya.
"Bu Ilen bahkan bisa membeli sebuah pulau dalam waktu kurang dari 6 bulan, dengan keuntungan perusahaan yang dia peroleh", lelaki itu nyeletuk asal, berusaha mencairkan suasana.
"Ilen tidak pernah mengambil keuntungan dari perusahaan satu rupiahpun", Nadhira kembali menyela.
"Hah... Maksudnya...?", lelaki itu mengerutkan keningnya tidak mengerti.
"Ilen digaji. Statusnya hanya seorang pegawai di perusahaan", Nadhira kembali menjelaskan.
"Kok bisa...? Dia putri tunggal pemilik perusahaan. Mau di gaji berapa dia oleh perusahaan...?", lelaki itu tertawa remeh, menanggapi ucapan Nadhira.
"Ilen di gaji sama dengan gaji saya sebagai sekretarisnya", Nadhira kembali melemparkan bom lain kepada lelaki yang ada di sampingnya.
"Ini gila, dia anak pemilik perusahaan. Dan berhak untuk menikmati keuntungan perusahaan. Lalu kemana keuntungan perusahaan selama ini...?", lelaki itu bertanya bingung.
"Ilen tidak pernah mau menerima keuntungan perusahaan. Semua keuntungan perusahaan langsung di transfer ke rekening khusus perusahaan.
Selanjutnya keuntungan itu dibagi 3, dan saya yang mengelola semuanya, sepertiga ditransfer ke beberapa rumah singgah dan panti asuhan yang didirikan oleh Ilen. Sepertiga lagi di sisihkan untuk membangun perusahaan, membeli lahan sebagai investasi perusahaan, membangun rumah untuk pegawai demi kemajuan perusahaan, sebagian di simpan sebagai uang cadangan perusahaan. Dan.... Sepertiga lagi di belikan emas, kata Ilen untuk berjaga-jaga untuk menghadapi kemungkinan terburuk dimasa datang", Nadhira menjelaskan panjang lebar dengan santai.
"Dan... Selama ini bu Ilen sama sekali tidak menyentuh uang keuntungan perusahaan...?", lelaki itu kembali bertanya.
"Sama sekali tidak pernah sekalipun. Selama ini Ilen hidup dari gajinya sendiri. Setelah menikah dengan Satia, Ilen menggunakan gaji Satia, sedangkan gaji Ilen utuh ditabungan", Nadhira kembali menambahkan.
"Wanita yang mengerikan", lelaki itu bicara pelan.
"Yang kamu lihat itu hanya keuntungan perusahaan", Nadhira kembali melemparkan bom lainnya.
"Maksudnya...?", lelaki itu bertanya bingung.
"Ilen punya bisnis sendiri. Kafe dan Vila di berbagai kota wisata, plus... Puluhan kos-kosan di lokasi strategis dipenjuru kota", Nadhira memberi penekanan pada setiap kata-katanya.
"Orang gila", lelaki itu menggeleng tidak percaya.
"Dia bahkan sejak SMP sudah membiayai sekolah plus hidupnya sendiri, karena protes dengan orang tuanya yang terlalu sibuk kerja", Nadhira kembali menambahkan.
"Wow...!!!", lelaki itu berteriak diluar kebiasaannya.
"Kamu mau tahu yang jauh lebih gila...?", Nadhira mulai memancing rasa ingin tahu lelaki yang ada di sampingnya.
"Apa lagi yang lebih gila...?", lelaki itu bertanya antusias.
"Saat almarhum ayahnya terkena serangan jantung karena tahu di tipu oleh rekan kerjanya, plus... Uang kantor di bawa kabur oleh bendahara perusahaan.
Saat itu masa sulit untuk perusahaan, gaji karyawan 3 bulan lenyap tanpa jejak. Perusahaan terancam gulung tikar, sedangkan almarhum ayahnya Ilen terbaring koma.
Dan... Kamu tahu siapa yang menyelesaikan hutang yang hampir miliaran...?", Nadhira memancing jawaban lelaki yang ada di hadapannya.
"Jangan bilang itu bu Ilen...", lelaki itu bicara penuh keraguan.
"Yup, Ilen yang menyelesaikan semuanya. Saat itu umur Ilen bahkan belum menginjak 17 tahun. Anak ingusan, yang dianggap tidak bisa apa-apa. Dia menyelesaikan semuanya, masalah gaji karyawan, pesanan pelanggan, plus... Menyelamatkan perusahaan dan ribuan karyawan dari ancaman PHK", Nadhira bicara dengan antusias.
"Bagaimana bisa...? Anak sekecil itu dapat uang dari mana...?", lelaki itu protes keras dengan ucapan Nadhira.
"Dia menjual Villa di Bali yang dibelinya dengan uangnya sendiri, kepada bule yang sudah lama mengincar Villa miliknya", Nadhira menjawab santai.
"Anak sekecil itu sudah punya Villa seharga ratusan juta...?", lelaki yang berada di samping Nadhira terperangah dengan penjelasan Nadhira.
"Ilen bahkan membuatkan kos-kosan untuk kakak pendonor jantungnya, bukan satu akan tetapi 2 sekaligus, diberikan secara cuma-cuma sebagai ucapan terima kasih.
Hem... Satu lagi, Ilen bahkan pernah menyelamatkan teman sekelasnya dari rentenir. Dan kamu tahu apa...? Ilen malah memberikan mereka modal untuk membuka ketring. Sampai akhirnya teman sekelasnya itu sekarang jadi dokter sekaligus pskiater", Nadhira menjelaskan panjang lebar.
"Bu Ilen dapat apa dari semua itu...?", lelaki itu mulai protes.
Lelaki itu tidak percaya Erfly akan melakukan semuanya tanpa pamrih, "di dunia ini tidak ada makan siang gratis" . Itu pepatah yang sangat dia percaya selama ini.