webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Semakin banyak kita memberi, semakin banyak kita menerima

Nadhira menatap lelaki yang ada di sampingnya dengan tatapan lekat. Kemudian Nadhira menarik nafas dalam sebelum angkat bicara.

"Pasya... Itu pertanyaan yang sudah puluhan bahkan ratusan kali saya tanya kepada Ilen. Kamu dapat apa dari melakukan semua itu...?", Nadhira memberi jeda dari ucapannya, kembali menarik nafas panjang.

Lelaki yang di panggil Pasya oleh Nadhira memperbaiki posisi duduknya, tubuhnya menegang karena menunggu jawaban yang akan meluncur dari mulut Nadhira.

"Satu kalimat yang sama. Semakin banyak kita memberi, semakin banyak kita menerima", Nadhira menjawab santai di sela senyumnya.

"Cemon... Ini bukan dunia dongeng yang setiap akhir kisah berakhir harus happy ending", lelaki dengan potongan khas angkatan protes.

"Ilen dari kecil sudah sering di tinggal oleh orang tuanya. Ditambah lagi, dia anak tunggal. Makanya dia lebih sering merasa kesepian.

Awalnya... Ilen melakukan itu untuk membuat orang lain agar tetap berada di sisinya. Karena Ilen pikir, saat dia punya uang, maka akan selalu ada seorang teman disampingnya.

Sampai akhirnya dia sadar kalau dia itu salah. Ilen pernah di tipu habis-habisan oleh orang kepercayaannya. Ternyata uang g'ak kenal saudara ataupun teman", Nadhira bicara pelan.

"Astagfirullah halazim...", Pasya terkejut mendengar ucapan Nadhira.

"Sampai akhirnya Ilen mencapai titik terendah dalam hidupnya. Neneknya meninggal, dan minta dimakamkan di kampung halamannya Sungai Penuh.

Ilen akhirnya memutuskan untuk pindah ke Sungai Penuh, dan berniat menyelesaikan sekolahnya di Sungai Penuh", Nadhira diam sejenak.

"Lho... Bukannya bu Ilen menyelesaikan sekolahnya di Garut...?", Pasya bicara bingung.

"Iya, Ilen hanya hitungan minggu di Sungai Penuh. Ada insiden yang terjadi diluar dugaan Ilen, sampai akhirnya memutuskan untuk pindah ke Garut. Setelah menikah dengan Satia, Ilen memutuskan untuk pindah ke Lombok. Dan... G'ak tahu mau sampai kapan itu anak bertahan disini", Nadhira tidak yakin dengan ucapannya sendiri.

Belum juga Pasya angkat suara, HPnya berteriak nyaring minta diangkat. Pasya segera meraih HPnya, mukanya langsung tegang.

Nadhira sudah bisa menebak, tidak salah lagi itu panggilan dari Satia. Hanya Satia yang bisa membuat Pasya menunjukkan raut muka seperti itu. Pasya begitu mengagumi Satia, herannya dia tidak pernah berani melakukan kontak mata langsung dengan atasannya itu. Bahkan saat mengangkat telfon dari Satia, Pasya masih menundukkan tatapannya, seolah-olah Satia berada di hadapannya saat ini.

"Baik pak", Pasya bicara pelan setelah beberapa saat diam.

Setelah menutup hubungan telfon, Pasya kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Kamu itu Sya, nerima telfon dari Satia seperti menerima telfon dari malaikat maut saja", Nadhira tertawa renyah.

Pasya tidak bergeming sedikitpun, Nadhira merapikan semua kertas-kertas yang ada di atas meja.

Pasya segera beranjak dari posisi duduknya.

"Kamu mau kemana...?", Nadhira bertanya bingung.

"Ada yang harus Pasya kerjakan, nanti akan ada yang datang menggantikan Pasya disini", Pasya bicara pelan, kemudian berlalu begitu saja dari hadapan Nadhira.

***

Keadaan Erfly semakin membaik, Alfa memutuskan untuk Erfly dipindahkan ke ruang rawat inap. Alfa sengaja memilih kamar yang berada di samping taman, sehingga Erfly tidak merasa bosan.

Setelah meminum obatnya, Erfly mulai terlelap tidur.

Terdengar suara daun pintu dibuka, Satia menoleh menatap siapa yang datang.

"Bagaimana Erfly...?", Nazwa bertanya sangat pelan, setelah berada disamping Satia.

"Baru saja tidur", Satia bicara dengan suara paling pelan. "Saya... Bisa minta tolong jagain Ilen...?", Satia bertanya penuh keraguan.

"Kamu mau kemana...?", Nazwa bertanya bingung.

Sejak awal Satia selalu berada di sekitar Erfly, bahkan dia tidak melepaskan tatapannya dari Erfly satu detikpun.

"Ada yang harus saya kerjakan", Satia bicara pelan.

Nazwa tidak menjawab, hanya menatap Satia yang berlalu dari balik daun pintu.

Satia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, 30 menit kemudian Satia membelok tajam ke kiri. Mobil Satia berhenti tepat di sebuah rumah yang berada di tengah hutan pinus.

Satia turun dari mobil, mukanya memancarkan aura berbahaya. Pasya yang menyambut kedatangan Satia bergindik ngeri, tatapannya langsung tertunduk menembus lantai.

Pasya segera menuntun jalan Satia menuju arah belakang rumah, setelah membuka daun pintu, tangga yang menuju ruang bawah tanah.

Begitu pintu ruang bawah tanah di buka, pemandangan mengerikan langsung menyerbu bola mata siapa saja yang melihatnya.

Ada genangan darah dimana-mana, 5 orang lelaki berbadan kekar tergeletak di lantai, ada luka lebam di sekujur tubuh mereka.

Begitu melihat Satia masuk, beberapa lelaki yang sedari tadi mengawasi 5 lelaki itu segera menarik satu persatu lelaki kekar itu, mendudukkan mereka di kursi yang berbau amis darah.

Satia menghampiri salah satu lelaki yang sudah duduk terikat di atas kursi. Satia menaikkan dagu lelaki itu hingga bisa menatap wajahnya dengan jelas. Matanya terbuka sangat kecil, karena ada luka lebam di sekitar area matanya. Satia menarik kasar lakban yang menutup mulut lelaki muda tersebut.

"Siapa yang menyuruh kalian...?", Satia bertanya dingin, aura membunuh sangat kentara mengisi atmosfer ruangan yang hanya berukuran 5x5 meter.

"Mau kalian siksa sampai matipun, aku tidak akan bicara", lelaki itu menantang batas kesabaran Satia.

Satia melemparkan senyuman ke lelaki yang ada dihadapannya. Satia segera menarik meja yang tidak jauh dari tempatnya berada saat ini.

"Kita lihat berapa lama kamu bisa pegang ucapanmu nak", Satia tersenyum penuh arti seketika.

Satia mengeluarkan HPnya, kemudian mulai menghidupkan stopwatch, selanjutnya Satia meletakkan lembut HPnya diatas meja. Satia duduk diatas meja tepat disamping HPnya.

Satia mengeluarkan rokok dari saku celananya, kemudian menyelipkan sebatang rokok di sela jemari tangan kanannya.

"Saya dengar adik kamu sedang kemping acara sekolah", Satia bicara dengan lembut, menghisap dalam rokoknya.

Wajah lelaki yang diajak Satia bicara tiba-tiba mulai menegang.

"Oh... Iya saya lupa, ayah kamu sekarang sedang di kantor polisi, kasus penggelapan uang perusahaan", Satia sengaja memberi jeda pada ucapannya.

Satia memberi kode kepada Pasya, hanya dengan anggukan pelan, Pasya menunjukkan layar HPnya kepada lelaki yang berada di hadapan Satia. Terlihat foto perempuan setengah baya yang sedang tertidur dengan tangan diikat kebelakang, dan mata tertutup kain hitam.

"Jangan coba-coba sentuh mereka anjing...!!!", lelaki itu berteriak penuh amarah.

Satia kembali memberikan isyarat kepada Pasya, hanya dalam satu gerakan kecil Pasya menekan tombol di HPnya. Lelaki itu tidak percaya, ternyata Pasya melakukan panggilan Vidio.

Layar HP itu menunjukkan pemandangan seorang wanita yang sedang hamil besar, sedang duduk diatas kursi, tangannya diikat kebelakang dan matanya ditutup kain hitam. Ada seorang lelaki yang berdiri tepat disamping wanita itu, menyodorkan pistol tepat di kening sebelah kanannya.

"Jangan coba sentuh dia anjing...!!!", lelaki itu mulai berontak, berusaha melepaskan diri dari ikatan.

"Masih saja cerewet, dengan tutup mulut", Satia bicara dingin.

"Jangan sakiti mereka, bunuh saja aku...!!! Aku mohon, jangan sakiti mereka, mereka tidak tahu apa-apa", lelaki itu menangis sejadi-jadinya memohon ampun.

"Tarik pelatuknya...!", Satia memberi perintah eksekusi.

Mukanya dingin, keras. Ucapannya tegas tidak terbantahkan. Tidak ada rasa takut yang muncul sedikitpun dari wajah Satia, ini pertama kalinya Pasya melihat atasannya sangat ingin membunuh orang.

Perintah Satia meluncur begitu saja. Agar orang yang ada di seberang telfon segera menembakkan peluru tepat di kepala perempuan hamil besar itu.