webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · 若者
レビュー数が足りません
251 Chs

Dek... Kamu g'ak bisa melepas dendam kamu...?

Erfly duduk di taman bersama kursi rodanya. Kepalanya menyandar di pundak kiri Satia yang masih menatap kosong jauh kedepan.

Cakya menatap dari kejauhan, matanya nanar menahan sakit yang menyerang hatinya.

Gama memukul pelan pundak Cakya, "Udahlah... Jangan dilihat terus", Gama bicara lembut.

Cakya segera mengalihkan tatapannya.

"Katanya kamu mau merelakan Erfly...?", Gama kembali mengingatkan janji Cakya, sebelum Gama setuju untuk membawa Cakya ke Bali.

Cakya mengangguk pelan, "Tetap saja Om, g'ak semudah bicara. Berkali-kali Cakya meyakinkan kalau Erfly bukan untuk Cakya, tapi... Tetap saja hati ini selalu tertuju padanya. Berkali-kali Cakya sudah berusaha untuk menerima kalau Erfly sudah bahagia bersama pilihannya, tetap saja hati Cakya selalu berontak kenapa bukan Cakya orangnya...? ", Cakya bicara lirih.

Cakya merogoh kantong celananya, kemudian meraih rokok, dalam sekejap Cakya sudah menyelipkan rokok diantara bibirnya.

"Om tahu itu g'ak akan mudah, setidaknya kamu harus berusaha", Gama kembali menasehati.

"Kenapa harus mas Satia Om...? Kenapa orang itu bukan Cakya saja...?", Cakya kembali meradang.

"Sekarang coba kamu balik, kamu yang ada di posisi Erfly. Apa kamu bisa memaafkan Erfly...? Setelah apa yang ayahnya lakukan ke kamu...?", Gama bertanya sengit.

Cakya tertunduk tidak bisa menjawab pertanyaan Gama.

"Kamu jangan memaksakan orang lain untuk berbuat hal yang kamu sendiri belum tentu sanggup melakukannya.

Sudah bagus, Erfly tidak mengusir kita semua. Sudah bagus Erfly masih bisa ramah menerima kak Fira dan Wulan.

Kita g'ak berhak untuk meminta lebih dari itu Cakya...", Gama memberikan penekanan pada setiap kata yang keluar dari bibirnya.

Kalau mau jujur, Gama sama putus asanya dengan Cakya saat ini. Melihat Cakya yang terluka, Gama juga sama terlukanya. Walaupun jarak umur mereka hanya berbeda beberapa bulan saja, tetap saja, bagaimanapun Cakya adalah keponakannya. Keponakan yang selalu dia jaga sejak masih belia.

***

Candra masih duduk di kursi dengan berkas-berkas yang ada di tangannya.

"Papi...", suara Malika tiba-tiba membuyarkan konsentrasi Candra.

"Yah...", Candra segera melempar berkas-berkas yang ada di tangannya asal keatas meja. Kemudian menghampiri Malika. "Ada apa malaikat kecil papi...?", Candra bertanya lembut, sembari mengelus lembut pucuk kepala Malika.

"Kok papi masih disini...? Bukannya papi harusnya di kantor...?", Malika bertanya pelan.

"G'ak, papi mau disini saja menemani malaikat kecil papi", Candra berucap lembut, kemudian mengecup kening Malika penuh sayang.

"Malika g'ak mau nanti pekerjaan papi malah berantakan karena Malika", Malika sekali lagi protes.

"G'ak apa-apa, kan di kantor ada mami yang bantu papi. Kamu g'ak perlu khawatir cantik", Candra kembali mengusap lembut pucuk kepala Malika.

"Terima kasih papi", Malika meraih tangan kanan Candra, kemudian mengecupnya dengan lembut.

"Sama-sama sayang", Candra membalas mengecup kening Malika.

***

HP Satia tiba-tiba berdering. Begitu melihat nama yang muncul, Satia segera menerima telfon masuk. Satia hanya diam sejenak kemudian kembali mengantongi HPnya.

"Dek... Kamu ada jadwal pemeriksaan sekarang, ko Alfa sudah menunggu di ruang CT Scan", Satia bicara lembut.

"Hem...", Erfly bergumam malas.

Erfly segera bangkit dari pundak Satia, kemudian mengangguk pelan. Satia segera mendorong kursi roda Erfly dengan sangat hati-hati menuju ruang CT Scan.

1 jam berlalu setelah Erfly melakukan CT Scan ulang, selanjutnya giliran darah Erfly yang diambil untuk dilakukan pengecekan.

"Kita harus menunggu hasilnya dek, koko udah minta bagian lab untuk mempercepat hasil tesnya", Alfa bicara lembut setelah menyerahkan darah Erfly kepada suster.

"Terima kasih ko", Erfly bicara pelan.

Alfa mendorong kursi roda Erfly keluar ruangan, menyerahkan Erfly kembali ketangan Satia.

"Kalau tidak ada lagi, saya antar Erfly kembali ke ruangan, biar bisa istirahat", Satia berusaha mengakhiri pertemuan mereka.

"Silakan", Alfa mempersilakan Erfly dan Satia untuk pergi.

Satia kembali mendorong kursi roda Erfly dengan hati-hati kembali kedalam ruangannya. Begitu menuju lorong, Erfly dan Satia sudah ditunggu oleh Cakya yang berdiri di depan pintu ruang rawat inap Erfly.

"Satia... Kedalam dulu, merapikan tempat tidur", Satia sengaja meninggalkan Erfly dan Cakya.

Cakya duduk jongkok dihadapan Erfly, "Kalau ada kata yang lebih indah dari kata maaf, tidak akan pernah Cakya ucapkan kata yang tidak tahu diri itu", Cakya bicara lirih.

Erfly mendorong kursi rodanya sedikit menjauh dari Cakya, "Erfly udah g'ak mau bahas itu lagi. Sekarang Erfly sudah menemukan kebahagiaan Erfly disini bersama mas Satia. PR Cakya hanya satu, mencari kebahagiaan Cakya sendiri", Erfly bicara dingin.

"Tapi... Kebahagiaan aku ada bersama kamu...", Cakya kembali meradang.

"Tidak ada lagi yang bisa kita perbaiki. Bagi Erfly semua sudah selesai setelah hari itu, hari dimana Erfly memutuskan untuk meninggalkan Cakya", Erfly kembali menjawab sengit.

"Erfly...", Cakya meratap hiba.

"Sudah bagus Erfly tidak menuntut ayah kamu dengan pasal berlapis, setidaknya itu hal baik terakhir yang bisa Erfly lakukan. Terima kasih atas semua kenangan yang pernah Cakya dan keluarga lakukan", Erfly bicara dingin, kemudian segera berbalik dengan kursi rodanya.

Cakya meraih kursi roda Erfly asal, setelah berhasil menahan Erfly, Cakya berdiri dengan menyandarkan kedua telapak tangannya diatas pegangan kursi roda Erfly. Cakya menatap lekat ke wajah Erfly yang hanya berada beberapa cm dari wajahnya.

"Mulai hari ini, kamu jangan pernah menahan amarah kamu lagi. Lepaskan semuanya, agar kamu puas. Jangan lagi menahan diri", Cakya bicara lirih, sangat terlihat Cakya berusaha keras untuk tegar dan tidak menangis dihadapan Erfly, kemudian berlalu pergi dari hadapan Erfly begitu saja.

Pertahanan Erfly runtuh seketika. Tangisnya pecah dalam detik berikutnya. Satia membuka pintu perlahan, kemudian memeluk Erfly dari belakang, hingga tangis Erfly mereda menit berikutnya. Satia beranjak jongkok di hadapan Erfly, dengan lembut menghapus jejak air mata Erfly.

"Dek... Kamu g'ak bisa melepas dendam kamu...?", Satia bertanya lembut.

Erfly mengerutkan keningnya seketika. Tidak yakin kemana arah omongan Satia sebenarnya.

"Tadi... Waktu kamu lagi di cek, teh Nadhira menelfon", Satia bicara dengan keraguan yang teramat sangat.

Satia menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya.

"Kamu dapat surat panggilan dari pengadilan. Atas kasus penipuan dan percobaan pembunuhan. Tersangka atas nama Utama", Satia bicara lirih.

"Utama...? Siapa yang melapor...?!", Erfly bertanya bingung, karena dia tidak pernah melaporkan ayahnya Cakya ke polisi, dan bahkan Erfly tidak pernah merasa memberi perintah kepada Nadhira untuk melaporkan ayahnya Cakya ke polisi.

"Pelapor atas nama Cakya Utama...", Satia bicara dengan nada paling pelan.

"Kapan...?", Erfly bertanya dengan suara tercekat.

"Penyelidikan sedang berlangsung, laporan sudah masuk sekitar seminggu yang lalu", Satia kembali melanjutkan ucapannya.

"Astagfirullah halazim...", Erfly mengusap kasar mukanya.

"Dari Gama mas tahu, kalau ibunya Cakya sudah menggugat cerai suaminya, dihari yang sama saat Cakya melaporkan ayahnya. Wulan dan Tio sudah keluar dari rumah di hari yang sama...", Satia kembali menimpali.

"Astagfirullah halazim... Cakya... Apa kamu harus sejauh ini...?", Erfly kembali meradang, tangisnya pecah seketika.

Satia menarik Erfly kedalam pelukannya, menepuk pelan pundak Erfly agar lebih tenang.

Satia tahu jauh di sudut hati Erfly masih ada ruang terkunci atas nama Cakya.

Melihat Cakya yang demikian hancur, Erfly akan jauh lebih hancur dari siapapun.