webnovel

Ayo lah... Ini hanya Flores

Cakya menghapus pelan jejak air mata Putri. "Dasar cengeng", Cakya nyeletuk asal.

Putri segera mengalihkan tatapannya sembari tersenyum remeh.

Cakya meraih gitarnya kembali, kemudian memasukkan kembali kesarangnya.

"Udah mau gelap, kita lanjut lagi", Cakya bicara pelan.

Cakya segera melangkah kembali bersama Putri menuruni gunung.

***

Erfly masih mengumpulkan piring-piring kotor diatas meja.

"Ayo lah... Ini hanya Flores", Erfly kecil merengek, bergelantungan manja di lengan ibunya.

"Sayang... Kamu baru saja pulih, kruk kamu juga baru bisa lepas hitungan hari. Bunda g'ak mau ambil resiko", Erfly menjawab tenang dengan memberi penekanan pada setiap ucapannya.

"Yah...", Erfly kecil kali ini beralih kepada ayahnya.

"Kalau Bunda sudah mengambil keputusan, ayah bisa apa...?", Satia menjawab pasrah, menatap sedih kepada putrinya.

"Bunda...", Erfly bicara tidak berdaya, saat melihat tidak ada respon dari ibunya, Erfly kecil memilih mengurung diri di dalam kamarnya.

Erfly segera meletakkan piring yang dia bawa keatas meja, tangannya segera memijit pelan kepalanya yang terasa pening.

Satia memeluk Erfly dari belakang kursi rodanya.

"Kamu terlalu keras dek sama si bungsu", Satia berbisik lembut.

Air mata Erfly mengalir tanpa permisi.

"Mbak... Minta tolong di lanjutkan ya", Satia memberi instruksi kepada pembantunya yang telah ikut bertahun-tahun.

Satia mengangkat tubuh Erfly dengan mudahnya, Erfly merangkulkan lengan nya melingkari leher Satia, menyembunyikan air matanya yang mengalir begitu deras.

***

Hasan mengetuk pelan pintu kamar Erfly, kemudian membuka perlahan daun pintu kamar si bungsu. Hasan bisa langsung menangkap pemandangan Erfly yang sedang duduk di meja belajarnya, mencoret-coret diatas kertas asal.

Hasan memilih duduk diatas tempat tidur yang ada di samping Erfly. "Dek...", Hasan menggenggam jemari tangan kanan Erfly yang masih menulis, dan sangat berusaha keras untuk mengabaikan kehadiran Hasan di kamarnya.

"Dek...", Hasan kembali memanggil lembut.

Kali ini Hasan berhasil mengalihkan konsentrasi Erfly.

"Kenapa sih bang...? Erfly hanya ingin ikut naik gunung. Erfly suka hal itu, dan bunda juga sama waktu masih muda. Lalu apa yang salah bang...?", Erfly meluapkan semua kekesalannya.

Hasan menarik Erfly kedalam pelukannya. Erfly menangis sejadi-jadinya diperlukan Hasan.

"Lepasin semuanya dek", Hasan bicara lembut, mengusap pelan punggung Erfly agar Erfly segera tenang.

Hasan meninggalkan kamar adik bungsunya setelah Erfly terlelap tidur. Hasan menuju arah dapur mencari keberadaan ibunya.

"Mbak... Bunda kemana...?", Hasan bertanya pelan.

"Tadi ke arah taman belakang", pembantu mereka menjawab santun.

"Terima kasih mbak", Hasan bicara pelan sebelum meninggalkan dapur, setelah anggukan kepala perempuan lawan bicaranya.

Hasan mendekati ibunya dengan perlahan, kemudian duduk jongkok tepat dihadapan kursi roda ibunya. Hasan menggenggam jemari tangan kanan ibunya dengan lembut.

"Bunda... Hasan tahu bunda sayang sama Erfly", Hasan bicara dengan suara paling rendah, kemudian mengusap pelan punggung tangan Erfly.

"Hasan sama Husen akan ikut kesana bareng si bungsu. Kalau bunda mau, bunda bisa ikut kita juga kesana, bunda bisa menginap di dekat kaki gunung", Hasan memberikan solusi.

Erfly menatap Satia yang duduk tidak jauh dari mereka.

Satia menggeleng pelan dengan tangan bersilang di dada.

"Ayolah Yah... Kasian si bungsu", Hasan memasang muka memelas.

"G'ak ada yang boleh berangkat ke Flores", Satia bicara dengan tegas.

"Yah...", Hasan berusaha protes.

Satia melangkah menghampiri Erfly dan Hasan.

"Ayah belum selesai", Satia memotong ucapan Hasan tegas.

"Oke...", Hasan menundukkan kepala, patuh kepada ayahnya.

"G'ak ada yang boleh berangkat ke Flores bersama tim KPA. Karena kita semua akan berangkat menggunakan helikopter pasukan khusus", Satia bicara dengan satu nafas.

"Apa...?", Hasan bertanya bingung.

"Kasian Bunda kalau harus ikut jalur darat, Flores itu 26 jam dari sini jagoan", Satia bicara lembut.

Hasan dan Erfly mengerutkan keningnya masih belum mengerti kemana arah pembicaraan Satia.

"Ayah dapat tugas khusus ekspedisi di kaki gunung selama 1 bulan. Jadi... Kita sekeluarga akan ke Flores bersama pasukan khusus, Yah... Lebih kurang 1 pelton", Satia menjelaskan perlahan.

Hasan segera menyerbu kepelukan Satia. "Hei jagoan, bunda belum beri izin lho", Satia berbisik pelan.

Hasan segera melepaskan pelukannya dari Satia, kemudian memasang tatapan anjingnya kepada Erfly.

Erfly diam selama beberapa detik kemudian mengangguk pelan. Hasan segera memeluk Erfly erat.

"Terima kasih bunda", Hasan berteriak kegirangan.

"Sepertinya ada yang Husen lewatkan ini", Husen bersandar di daun pintu, kedua lengannya melingkar di depan dadanya sok cool.

"Kita akan ke Flores satu keluarga selama satu bulan", Husen menjawab dengan antusias.

"Oh... No, Sepertinya ada yang salah minum obat hari ini", Husen memulai candaannya.

Satia segera mengacak rambut Husen, tawa semua yang ada langsung segera pecah seketika.

***

Cakya segera pamit dari Putri dan teman-temannya, begitu sampai di kaki gunung tempat mereka berkemah.

Cakya melangkah perlahan menuju rumah pos penjagaan. Segera menaiki motornya.

"Ntek istirahat dulu jang...?", (tidak istirahat dulu nak?) suara kang Untung menyapa Cakya dari arah dalam rumah.

Cakya hanya tersenyum, "Langsung saja kang, udah mau gelap", Cakya menjawab pelan seperti biasanya, lebih terdengar seperti orang yang sedang berbisik.

"Mangga, ati-ati di jalan jang", (Silakan, hati-hati di jalan nak) kang Untung kembali menimpali.

Cakya hanya mengangguk pelan, sebelum berlalu bersama gitar kesayangannya menggunakan motornya.

Cakya sampai di rumah hampir azan magrib. Cakya membuka perlahan pintu rumah, terlihat Erca sedang berbaring di atas sofa ruang tengah dengan TV yang masih menyala.

Cakya memukul pelan kaki Erca berusaha membangunkan Erca.

"Papa udah pulang", Erca menggosok pelan matanya, kemudian menurunkan kakinya ke lantai segera memberikan tempat untuk ayahnya duduk.

Cakya segera duduk setelah meletakkan gitar kesayangannya dengan aman.

"Kamu sudah lama...?", Cakya bertanya pelan, setelah Erca salim.

"Pulang sekolah tadi Erca langsung kesini", Erca menjawab pelan.

"Hem...", Cakya bergumam pelan.

"Ayah piket...?", Erca bertanya lagi.

Cakya menggeleng pelan, kemudian merebahkan punggungnya ke punggung kursi dengan perlahan.

"Erca nginep ya", Erca bicara lirih.

Cakya menatap putra semata wayangnya dengan penuh tanya, "Ada apa jagoan...?", Cakya bertanya pelan.

"Erca di keluarkan dari peserta seleksi Porda", Erca bicara dengan kepala tertunduk.

"Kenapa...?", Cakya bertanya dengan ketenangan yang sama.

"Erca... Berantem sama teman yang sama-sama ikut seleksi", Erca bicara dengan suara yang semakin menghilang.

"Alasannya...?", Cakya bertanya lagi, kembali mengejar jawaban.

"Mereka bilang mama tante senang, memanfaatkan pekerjaannya sebagai dosen hanya untuk merayu mahasiswanya. Tiap minggu gonta-ganti pacar sudah kayak beli baju saja", Erca menjelaskan dengan susah payah karena menahan tangis yang akan menyerbu keluar.

"Teman kamu tahu dari mana...?", Cakya bertanya lembut.

"Katanya mama merebut pacar kakaknya. Dan dia sudah berkali-kali bertemu mama di Kafe makan dengan mahasiswa mama, selalu dengan orang yang berbeda setiap minggunya", Erca bicara panjang lebar dengan kepala yang tertunduk semakin dalam, tidak punya keberanian untuk menatap wajah ayahnya.

"Kamu sudah tanya sama mama kamu siapa mereka...?", Cakya bertanya lembut.