webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · 若者
レビュー数が足りません
251 Chs

Aku bukan orang yang pendendam, tapi... Seumur hidup aku akan ingat semua perbuatan Om

Setelah makan malam, Cakya ikut pulang ke rumah Alfa. Setelah merapikan meja makan, Erfly menuju ruang kerjanya dengan Nadhira mendorong kursi roda Erfly dengan perlahan dan sangat hati-hati.

Erfly duduk dibalik mejanya. Membuka asal laporan yang ada dihadapannya.

"Maaf teh, Erfly tadi kasar sama teteh", Erfly bicara pelan, tanpa melihat wajah Nadhira.

"G'ak apa-apa Len, teteh yang salah. Teteh terlalu panik, jadinya... G'ak nyadar kalau Cakya masih ada disana", Nadhira bicara dengan rasa bersalahnya.

"Jadi bagaimana hasilnya...?", Erfly bertanya pelan, setelah menandatangani berkas yang ada dihadapannya.

"Pak Edy sudah langsung berangkat ke TKP, kabar terakhir yang teteh dapat, ini murni kecelakaan", Nadhira bicara pelan, berusaha menenangkan Erfly.

"Kecelakaan...?", Erfly kembali meyakinkan kalau dia tidak salah dengar.

"Iya, kabarnya supir yang mengangkut alat bangunan baru bisa nyetir mobil", Nadhira kembali menjelaskan.

"Kita langganan sama toko bangunan itu bukan hitungan hari lho teh...", Erfly kembali mengajukan keberatannya.

"Iya, oleh karena itu... Mereka akan bertanggung jawab membiayai pengobatan para korban", Nadhira bicara dengan suara tercekat.

"Korban...?", Erfly langsung bertanya dingin.

"Ada... 3... Pekerja yang sedang berada dilokasi...", Nadhira menjawab pelan.

Erfly memijit pelipisnya, "Hubungi kepala cabang disana, minta mereka langsung menemui keluarga korban", Erfly memberikan perintah.

"Baik...", Nadhira langsung menjawab, kemudian berniat beranjak pergi dari hadapan Erfly.

"A... Satu lagi, selama korban masih belum bisa bekerja mencari nafkah, beri santunan kepada keluarga korban. Ilen g'ak mau dengar, selama tulang punggung mereka sakit, keluarganya terlantar begitu saja", Erfly kembali memberikan ultimatum.

"Baik...", Nadhira bicara pelan, kemudian beranjak pergi dari hadapan Erfly.

Entah kenapa, sejak pertama bertemu anak ingusan yang satu ini. Nadhira akan selalu gemetar ketakutan, setiap saat bocah yang satu ini memasang muka serius, bahkan tatapan dinginnya selalu berhasil membuat Nadhira bergindik ngeri dibuatnya.

***

Nanya masih menatap HPnya.

Dwi yang sedari tadi memperhatikan Nanya, berusaha memberanikan diri untuk menghampiri Nanya. Dwi menyerahkan secangkir coklat panas ketangan Nanya.

"Ngapo lah ayuk ni...? Diperatiin sejak tadi, kayak patung bae. Dak katek duit...? Ngomong bae. Akupun jugo... Samo lah kito beduo", Dwi tertawa renyah menertawakan dirinya sendiri. (Kenapa lah kakak ini...? Diperhatikan dari tadi, seperti patung saja. Tidak punya uang...? Bicara saja. Akupun juga... Samalah kita berdua)

Nanya hanya tersenyum kecut mendengar Dwi berkelakar.

"Dwi... Dak sengajo baco surat dari almarhum buat ayuk. Kalau dipikir, ado betulnyo jugo budak satu tu. Sekarang ni, kito ikhlasin bae dio, ayuk... Kejarlah kebahagian ayuk tu samo Cakya...", Dwi tiba-tiba mengeluarkan kata-kata bijaknya. (Dwi... Tidak sengaja membaca surat dari almarhum untuk kakak. Kalau dipikir, ada betulnya juga orang satu itu. Sekarang ini, kita ikhlaskan saja dia, kakak... Kejarlah kebahagiaan kakak itu sama Cakya)

Nanya tidak bisa berkomentar apa-apa mendengar ucapan Dwi. Air matanya mengalir tanpa permisi, kemudian Nanya menarik Dwi kedalam pelukannya.

***

Sesuai rencana keesokan harinya, Erfly menemani Cakya ke pabrik dodol. Setelah Cakya bertemu dengan pimpinan, Erfly langsung mohon diri.

Erfly sengaja meminta supir kantor untuk menunggu Cakya sampai selesai. Sedangkan Erfly bersama Nadhira menuju rumah sakit.

Nadhira mengetuk pintu salah satu ruang rawat inap.

Begitu pintu dibuka, Erfly langsung bisa melihat lelaki bertubuh ringkih terbaring diatas tempat tidur. Tidak ada siapa-siapa yang menemani lelaki itu, Erfly bergerak perlahan dengan kursi rodanya.

"Assalamu'alaikum...", Nadhira bicara pelan.

"Wa'alaikumsalam...", lelaki itu menatap perlahan kearah sumber suara.

Nadhira memberi isyarat dengan mata, agar lelaki itu menatap siapa yang sedang duduk di kursi roda yang dia dorong saat ini.

Lelaki itu mengalihkan tatapan sayunya kearah perempuan yang sedang duduk di kursi roda. Susah payah, lelaki itu berusaha untuk bangun. Kemudian langsung terduduk dilantai merangkul kaki Erfly.

"Om... Minta maaf... Om banyak dosa sama kamu...", lelaki itu menangis sejadi-jadinya.

Erfly spontan menggeser kursi rodanya kebelakang.

Lelaki itu kembali berusaha meraih kaki Erfly.

"Om... Udah hancur sekarang, Om udah g'ak punya siapa-siapa. Hanya kamu yang Om punya saat ini....", lelaki itu kembali menangis menghiba, meminta belas kasihan Erfly.

"Aku bukan orang yang pendendam, tapi... Seumur hidup aku akan ingat semua perbuatan Om", Erfly bicara dingin, ucapannya langsung membuat lelaki yang ada di hadapannya menggigil ketakutan.

Erfly tidak pernah menyangka akan kembali bertemu Bambang lagi, setelah insiden perusahaan beberapa tahun yang lalu, yang membuat ayah Erfly masuk rumah sakit. Erfly bertindak cepat membekukan tabungan perusahaan, setidaknya karena langkah cepat Erfly itu perusahaan jadi bisa diselamatkan sampai hari ini.

"Teh... Kita pergi", Erfly memberikan instruksi agar Nadhira segera mendorong kursi rodanya keluar dari ruangan.

Nadhira tidak berani membantah, kemudian mendorong kursi roda Erfly keluar dari ruangan Bambang. Setelah masuk kembali kedalam mobil, Erfly memberi perintah untuk langsung menuju rumah.

Sesampainya dirumah, Erfly sibuk didapur menyiapkan makan siang. Tepat saat azan berkumandang, Erfly telah menyelesaikan semua masakannya. Nadhira membantu Erfly menata makanan diatas meja.

"Ilen mau langsung makan...?", Nadhira bertanya lembut.

"Sholat dulu teh", Erfly menjawab pelan.

"Assalamu'alaikum...", Cakya bicara setengah berteriak saat memasuki rumah.

"Wa'alaikumsalam...", Erfly dan Nadhira menjawab hampir bersamaan.

"Makan besar nih...", Cakya nyeletuk asal.

"Cakya udah Zuhur...?', Erfly bertanya pelan.

"Belum...", Cakya menjawab jujur apa adanya.

"Wudhu dulu, kita jamaah", Erfly memberikan saran.

Cakya tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Kemudian menuju toilet terdekat, setelahnya Cakya memilih menunggu Erfly dan Nadhira di mushala yang sengaja dibangun Erfly disamping taman.

Setelah sholat Cakya mengambil alih tugas Nadhira mendorong kursi roda Erfly menuju meja makan. Tanpa banyak aba-aba mereka langsung makan, tidak banyak suara yang keluar dari mulut Cakya, Erfly ataupun Nadhira.

"Cakya... Pulang lusa", Cakya bicara lirih, saat memasukkan suapan terakhir kedalam mulutnya.

Erfly hanya mengangguk pelan, kemudian meraih gelas, segera mengosongkan isi gelas.

"Teteh tolong pesan tiket buat lusa, sama... Sekalian minta tolong supir kantor beliin oleh-oleh buat mama dan papa", Erfly memberi perintah kepada Nadhira.

"Iya...", Nadhira segera menjawab.

Nadhira segera mencuci piring, sedangkan Cakya mendorong kursi roda Erfly menuju arah bibir pantai.

"Mungkin... Setelah sampai di Sungai Penuh, Cakya akan sibuk. Karena Cakya kejar target akhir tahun ini wisuda. Jadi... Cakya ngambil beberapa SP, terus... Mau PKL juga. Sekalian... Cakya mau garap proposal buat Skripsi", Cakya menjelaskan panjang lebar.

Erfly hanya menyimak ucapan Cakya.

"Dan... Kayaknya... Cakya akan susah dihubungi nantinya", Cakya kembali melanjutkan ucapannya.

"G'ak apa-apa, Cakya fokus saja sama kuliahnya. InsyAllah Erfly baik-baik saja disini. Ada teh Nadhira yang akan nemenin Erfly. Mbak Salwa lusa juga udah balik lagi kesini", Erfly bicara pelan.

"Sebenarnya... Erfly itu sayang g'ak sih sama Cakya...?", Cakya tiba-tiba melontarkan pertanyaan.

Matanya menatap lurus tepat kebola mata Erfly. Diam, menunggu jawaban apa yang akan meluncur dari bibir dara manis yang ada dihadapannya saat ini.