Hujan deras terdengar di luar, suara petir terdengar sangat keras susul menyusul. Suhu udara mulai menurun, menjadi sangat lembap dan basah. Namun pendiangan menghangatkan ruangan yang kami tempati.
Suasana di ruangan ini tidak berubah, aku terlalu terbawa emosi tidak sengaja menghantam meja yang ada di depanku. Lenggang, hanya terdengar suara hujan yang semakin deras, disusul oleh suara petir yang mampu menggetarkan tanah.
Aku melihat ke arah Lucia, dia menatapku sejenak, lalu bangkit dari kursinya. Tanpa mengatakan apapun, dia berjalan ke arah tangga yang menuju lantai atas.
Namun, sepertinya Lucia tidak sirap hati karenanya, seakan mengerti apa yang kurasakan. Di hanya tersenyum kepadaku. Lantas pergi menuju tangga besar yang melingar di samping ruangan ini.
Lucia kembali, dia telah kembali dari kamarku? Tapi yang mengejutkan adalah dia membawa apa yang ku ku cari. Itu adalah ransel ku! Syukurlah itu tidak hilang.
"Apakah ini ransel yang kamu maksud, Nak?" Lucia menyerahkan tas itu kepadaku.
"Itu ransel ku! Syukurlah dia tidak hilang." Aku bangkit dari duduk, lantas mengambilnya.
Aku segera membuka ransel itu, memeriksa apakah barang-barangku masih lengkap. Semuanya seperti sedia kala, termasuk buku aneh itu.
Sebenarnya aku ingin menanyakan tentang buku ini kepada Lucia, tapi siapa yang mau percaya dengan ceritaku. Orang lain pasti hanya akan menertawakanku.
"Kau sepertinya memiliki buku yang menarik, Nak" Lucia berkata demikian sembari menjatuhkan dirinya di sofa.
Mengejutkan, Lucia tahu buku itu. Bagaimana dia bisa tahu, apakah dia mengetahui sesuatu tentang buku aneh itu.
"Bagaimana Nek-Lucia tau tentang buku itu?" Aku bertanya menyelidik.
"Tentu saja aku tahu, saat kau terkapar tak berdaya, aku menemukan ransel itu jauh dari mu, Lutfi." Lucia menjelaskan bagaimana dia menemukan ransel itu.
"Begitu, ya. Apakah Nek-Lucia mengetahui sesuatu tentang buku aneh yang terlihat sangat kuno itu?" Dengan rasa penasaran yang tinggi, aku berusaha bertanya kepada Lucia, memastikan.
Sebelum menjawab, Lucia membenarkan posisi duduknya. Lalu menyeruput minuman hangat yang ada di depannya. Minuman itu seperti kopi hitam yang sangat pekat, aromanya menenangkan, tercium ke seluruh ruangan.
Setelah menghabiskan minuman itu, Lucia mulai menjelaskan informasi yang sangat penting.
"Aku pernah melihat buku yang serupa semacam ini, tapi itu dulu sekali, beberapa puluh tahun yang lalu. Aku tidak mengetahui apapun tentangnya, yang ku tahu hanya warna dan tulisan pada buku itu yang berbeda. Saat itu, kalau tidak salah BUKU TAKDIR, aku sempat membacanya. Lalu buku itu lenyap, Sebelum aku menyadarinya." Sembari menjelaskan, Lucia menyelidiki buku aneh itu. Membalik-balikan bukunya, sesekali membuka halaman demi halaman.
Itu adalah informasi yang ku butuhkan, aku mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Lucia.
Apakah ada keberadaan lain yang serupa? Terpencar di seluruh dunia. Saat aku memikirkannya punggung merinding, tulang tengkuk ku seperti membeku
"Nihil, aku bahkan tidak bisa membacanya. puluhan tahun sudah, aku mempelajari tentang tulisan kuno. Tapi tulisan itu terlalu kuno, sangat sulit untuk di baca. Butuh waktu yang lama untuk mempelajarinya" Lucia terlihat pasrah, meletakan buku itu di atas meja.
Sepertinya, Lucia seorang profesor arkeolog. Pantas saja, sejak tadi aku menemukan tulisan-tulisan yang tidak ku kenali. Terpajang di dinding-dinding seluruh ruangan.
"Entah mengapa, aku bisa memahami buku itu. Sebelumnya aku sempat membaca walau hanya satu kalimat, belum ku selesai membacanya. Tiba-tiba buku itu melayang, ukiran-ukiran pada buku itu bersinar hijau sangat indah. Namun seketika terjadi gempa yang sangat dasyat. Aku hanya dapat memastikan bahwa buku itu adalah BUKU KEHIDUPAN." Aku memberi tahu Lucia tentang peristiwa-peristiwa aneh yang aku alami dengan buku itu.
Aku tidak tahu apa maksud dari tulisan yang terukir dari sampul buku itu, BUKU KEHIDUPAN, atau BUKU TAKDIR yang Lucia katakan. Tapi sepertinya itu memiliki arti lain.
"Apa?! Kau bisa membacanya, sungguh?" Terdengar suara gebrakan meja, Lucia terkejut mengetahui jika aku bisa membacanya.
Tentu saja Lucia terkejut, dia telah puluhan tahun mempelajari tengang epigrafi saja tidak mengenal tulisan itu. Tiba-tiba, aku yang bahkan tidak tahu bahasa lain yang dipakai di luar negeri, memahami tulisan yang terlalu kuno.
Jangankan Lucia, aku sendiri sangat terkejut mengetahui fakta bahwa tulisan buku itu kuno.
"I-iya, sungguh." Aku meyakinkan Lucia.
Sejenak, aku melihat buku itu. Tergeletak di atas meja hitam bundar yang besar. Aku yang penasaran, mengambil buku itu. Sebenarnya aku tidak yakin, namun, muncul rasa penasaran yang sangat besar. Seakan buku itu memancarkan sesuatu.
Aku berusaha untuk meyakinkan diriku untuk membuka buku aneh yang ada di genggamanku. Tetap saja, aku takut sesuatu buruk terjadi.
Bangkit dari duduk, aku mengangkat buku aneh itu. Sejak tadi, Lucia memperhatikan setiap sesuatu yang terjadi, tidak membiarkan satu hal pun yang terlewat.
Aku menarik nafas, memejamkan mataku. Lalu membuka halaman pertama dari buku itu. Lembar kertasnya sangat lembut, seperti terbuat dari sutra. Aku mulai membacanya, melanjutkan apa yang telah aku baca sebelumnya.
Tiba-tiba ukiran-ukiran buku itu memancarkan cahaya hijau yang memukau, sehingga seluruh ruangan menjadi gelap dan hanya buku itu yang menjadi sumber cahaya. Cahayanya menyebar dengan cepat dan terasa sangat hangat saat menerpa wajahku.
Lucia yang memperhatikan, melihatku di belakang tanpa berkedip saat buku itu memancarkan cahaya yang memukau. Buku itu tidak lagi melayang, namun terbang dengan indah, sehingga aku mampu membacanya dengan mudah
Wahai kamu yang membaca buku ini,
ketahuilah bahwa kami telah melakukan apa yang leluhur kami lakukan.
Dan kamu akan melakukan apa yang telah kami lakukan.
Selamatkanlah penerus kalian dari buku jahat yang terkutuk itu.
Dimana pun buku itu bersembunyi pasti ada buku BUKU KEHIDUPAN yang menghantuinya.
Kalian akan dituntun oleh buku ini. Masa depan, Masa Lalu, Masa Kini, Bahkan Dunia lain pun tidak akan lepas.
Ketika aku masih membacanya, secara tiba-tiba buku itu tertutup dan terlempar ke atas, memancarkan cahaya hijau yang semakin terang. Lucia yang sedang memperhatikan, bangkit dari duduknya dan bersiap-siap jika terjadi sesuatu. Sunyi yang tercipta hanya terganggu oleh suara rintikan air hujan yang memecahkan keheningan. Namun, hal itu tidak merubah keadaan di ruangan yang semakin tegang.
Kami siaga, aku mundur mensejajarkan diri dengan Lucia. Menatap buku itu semakin terang, tanpa berkata-kata.
Aku memberikan isyarat kepada Lucia, Lucia yang melihatku mengangguk. Seakan paham apa yang aku maksud.
Kami mulai melangkah mendekat, Lucia menelan ludah. Berjalan memimpin di depan, aku mengikutinya di belakang.
Aku berkeringat, sebelumnya terjadi gempa besar. Aku tidak bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku hanya bisa menelan ludah, menyesal telah membaca buku aneh, misterius itu.