Mataku seakan tidak percaya apa yang aku lihat, terdapat pohon yang sangat besar menembus langit-langit yang tinggi itu. Terlebih, pohon besar itu seakan menghidupi ruangan ini. Aku menuruni tangga yang melingkar, saat aku turun cahaya-cahaya menyinari jalanku, seolah-olah mereka menyambut ku dengan baik.
Aku melihat nenek itu sedang memasak menyiapkan makanan, aroma dari masakan yang sedang di masak menjulur ke seluruh ruangan. Namun, kami bahkan tidak perlu khawatir dengan ventilasi udara bahkan oksigen. Ruangan ini benar-benar sempurna.
"Oh, kamu turun, Nak? Silakan duduk sebentar lagi masak" Nenek, yang sedang memasak, menyadari keberadaan ku. Aku segera duduk di kursi yang empuk ini.
Sepertinya ini terbuat dari busa yang mahal. Rasanya aku sedang duduk di kasur yang empuk, tapi terdapat sandaran yang tak kalah nyaman.
Nenek tua itu menaruh piring-piring penuh makanan, aku dapat melihat asap keluar dari makanan itu, menandakan jika makanannya baru selesai di masak. Nenek itu juga ikut duduk bersama ku. Lengang, aku tidak tahu apa yang mau ku bicarakan dengannya. Terlalu banyak pertanyaan di Kepalaku.
"Sepertinya kamu punya banyak pertanyaan, Nak. Selsaikan makan dahulu, mengobrolnya setelah makan." Suara nenek menggema di seluruh ruang, memecah keheningan.
Tepat sekali, nenek tua itu seakan dapat membaca apa yang sedang aku pikirkan. Aku penasaran siapa nenek tua itu, aku memutuskan untuk bertanya.
"I-iya, baiklah. Sebelumnya aku ingin mengucapkan Terima kasih untuk terakhir kalinya telah menolong ku saat itu. Namaku lutfi, aku sedang melakukan perjalanan menuju ke kota yang ada di barat, untuk mencari pekerjaan. Nenek, siapa?" Aku memperkenalkan diriku terlebih dahulu, lantas bertanya.
"Tidak perlu berterima kasih kepadaku, aku hanya kebetulan menemukan kamu yang tergeletak tak sadarkan diri. Namaku Lucia, kamu bisa memanggilku dengan nama itu." Nenek tua itu tersenyum, mengambilkan nasi untukku sembari menjelaskan. Dan menyerahkan piring yang telah penuh dengan nasi itu kepadaku.
Sejenak, aku memperhatikan makanan yang ada di atas meja yang terukir indah ini. Makanannya terlihat lezat, aku tidak sabar untuk memasukannya kedalam mulutku, sejak tadi aromanya telah menggodaku.
Aku tidak mengerti apa yang ada di atas meja, sangat berbeda dengan apa yang selama ini aku makan. Tetapi, semuanya terlihat lezat. Yang ku tahu makanan yang di hidangan berwarna sangat indah. Aku mengambil sendok yang ada di depanku, menyerok makanan kedalamnya, kemudian memasukan sendok penuh makanan itu kedalam mulutku.
Terasa agak asing bagiku, kepalaku tidak bisa merespon dengan baik. Apa yang kumakan berwarna coklat, dan terlihat seperti kaldu yang asin. Itulah yang kepalaku pikiran. Namun, di luar dugaan, makanannya terasa manis. Seperti berbagai Ekstrak buah-buahan, walaupun kepalaku salah menangkapnya, tapi itu sangat enak.
"Apa ini terasa sangat manis, namun sangat enak" Tanpa sengaja aku mengeluarkan suara karena penasaran apa yang sedang kumakan.
"Itu adalah ekstrak dari berbagai buah-buahan yang aku tanam di perkebunanku, syukurlah lutfi menyukainya" Nek lucia memberi tahu ku tentang makanan itu.
Dugaanku benar, ini terbuat dari ekstrak buah-buahan. Aku menikmati berbagai makanan yang ada. Tanpa sadar piring-piring yang penuh dengan makanan mulai habis, perutku juga penuh.
Aku meminum minuman berwarna oranye yang terlihat segar, aku mengambil minuman itu, gelasnya terliat seperti tabung besar seukuran dua kepalan tangan orang dewasa.
Gelas besar itu terbuat dari kayu, aku meminumnya. "Sial, aku selalu tertipu dengan penampilannya" Aku mengeluh kepada diri sendiri.
"Apakah ada sesuatu?" Nek lucia bertanya penasaran kepadaku.
"Ah, tidak ada apa-apa" Tetapi wajahku berkata lain, dengan sangat jelas. Aku berusaha memalingkan wajahku, namun lucia tertawa melihatku.
"Hahaha, aku lupa memberitahu mu, Nak. Air itu adalah jamu yang sangat baik untuk proses pemulihan diri. Tadinya aku fikir akan bagus untuk mu, tapi sepertinya kau tidak menyukainya karena rasanya terlalu pait" Lucia berkata seperti tidak bersalah setelah menjebak ku.
Sepulu menit telah berlalu, aku mulai mencoba bertanya kepada lucia tentang berbagai hal.
Saat ini Kami sedang duduk mengobrol di sofa hitam yang melingar, sofa-sofa itu sangat lembut, bahkan aku yang amatiran dalam menilai, langsung tahu jika ukiran-ukiran yang ada para sofa itu mahal. Di tengahnya terdapat meja hitam yang terlihat antik dan kokoh.
"Bagaimana Lucia dapat menemukan ku, dan mengapa memutuskan untuk menyelamatkanku?" Begitu banyak yang ku tanyakan kepadanya.
"Aku menemukanmu terkapar tak berdaya, Fi. Saat itu kami sedang mencari ikan dekat sungai, dan kebetulan kami menemukan Lutfi. Aku memutuskan untuk membawamu saat tahu bahwa saat itu kamu masih bernafas." Lucia menjawab pertanyaan ku satu persatu.
"Begitu ya, saat itu Lutfi di terkam oleh singa saat sedang tertidur. Lalu, sekarang kita berada di mana?" Aku bertanya karena sejak tadi sekelilingku tampak aneh.
"Kita berada di kota Eldridia, kota terbesar di wilayah barat. Aku sudah tinggal di rumah tua ini sejak dahulu." Lucia menjelaskan.
Fakta bahwa sekarang kami berada di wilayah barat sudah mengejutkanku, terlebih aku mendarat dengan selamat di kota Eldridia. Syukurlah, aku tidak menyangka sebelumnya.
Aku tidak tahu apa yang di ucapkan Lucia tentang Rumah tua, tentu saja rumah secanggih dan efisien ini adalah rumah masa depan bagiku, bahkan rumah impian yang tidak akan pernah aku bayangan, apalagi di rasakan.
"Rumah tua?" Aku bertanya tentang rumah tua ini.
"Iya, rumah tua. Rumah ini peninggalan dari leluhurku, jadi aku tahu persis perkembangan kota ini." Lucia yang sedang duduk di sofa, menjelaskan dengan nada yang serius.
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi saat aku di desa yang terperosok, tapi ini jelas aneh. Bukan hanya tentang kesenjangan teknologi, aku merasa seperti telah berpindah ke masa depan.
Sungguh, selalu terjadi peristiwa aneh sejak aku memutuskan untuk merantau. Terlebih itu semua terjadi setelah aku membuka buku aneh itu.
"Nek-magsud ku, Lucia. Sudah berapa hari sejak aku tinggal disini?" Untuk memastikan, aku bertanya kepada Lucia.
Tidak mungkin kan, jika aku koma selama bertahun-tahun. Aku menggelengkan kepalaku, berusaha untuk tetap tenang, dan menyingkirkan pikiran-pikiran semacam itu.
"Sudah satu minggu sejak aku menemukanmu, Nak" Lucia menjawab dengan heran pertanyaan ku.
Sudah kuduga bukan itu penyebabnya, tapi satu minggu bukanlah waktu yang sebentar. Apakah sudah banyak hal yang terjadi selama aku terkapar di hutan? Aku segera meraih ransel ku. Tidak ada! Tanpa jeda aku segera bertanya kepada Lucia, apakah dia membawa ransel ku.
Aku berdiri lantas menghantam meja bundar berwarna hitam yang ada di tengah kami. Lantas bertanya kepada Lucia "Ransel ku, apakah Nek Lucia menemukannya?" Dengan nafas yang tergesa-gesa, aku bertanya dengan panik.