webnovel

BOSSY BOSS

Daisy ... wanita penuh dengan pesona di mata para pria. Pernah menikah, hamil, keguguran hingga bercerai. Lalu hidupnya di pertemukan dengan beberapa pria yang membuatnya jatuh ke lubang yang nikmat, bahagia, dan menyakitkan. Kemudian ketika ia akan berubah menjadi yang lebih baik, Daisy di hadapkan dengan dua pria yang membuatnya dilema. Dicintai dan mencintai atau mengikuti nafsu yang membuatnya mabuk kepayang? Bagaimana pilihannya? Siapakah yang akan ia pilih dan bagaimana kehidupannya setelah akhirnya dengan pilihannya sendiri? [TAMAT]

KAREN_DN · 都市
レビュー数が足りません
243 Chs

Chapter 6 - Wanita Itu... Kanya.

"Trims untuk bantuannya semalam," ucap Zen yang baru pertama kalinya mengucapkan rasa syukurnya pada seseorang. Apalagi seseorang itu adalah calon istrinya sendiri.

Daisy mendekat. Ia hanya diam. Lalu mendadak ia mengutak atik dapur seperti mencari sesuatu. Setelah itu Daisy terlihat membuat sesuatu yang Zen tidak ketahui.

Hanya butuh tiga puluh menitan, sebuah minuman berwarna kecokelatan Daisy berikan pada Zen. "Minum, senggaknya bisa mengurangi rasa mualmu," kata Daisy. Zen memandangi gelas itu. Wajahnya menunjukkan ekspresi jijik karena ia sama sekali belum pernah merasakan aroma yang menguar dari minuman itu.

"Ini apa?" tanya Zen.

"Racun, biar kamu mati. Ayo, minum!"

Zen menatapnya serius. Lalu Daisy menghela nafas. "Ini jahe. Lebih tepatnya air rebusan jahe. Ada rempah-rempahnya juga. Ini sehat dan nggak beracun!" Setengah lantang mengucapkan akhir kalimat, Daisy lalu menyodorkan gelas itu pada Zen.

Zen masih tak memercayainya. Ia bahkan hanya memegang tanpa mencicip rasa air jahe itu. Alisnya berkedut dan pandangannya jadi aneh.

"Memang susah ya, membuat kamu percaya?" Tiba-tiba Daisy berkata demikian.

"Ya, kurang lebih begitu," balas Zen lalu menaruh gelas itu di meja. "Saya akan baik-baik saja. Dan sebaiknya kamu siap-siap, akan saya antar pulang. Saya juga harus bekerja." Zen beranjak berdiri.

Daisy berdiri tepat di depan Zen. Tanpa jarak melainkan kulit yang bersentuhan. Nafas yang kian membalas satu sama lain, lalu mata yang memandang begitu intim. "Apa?" tanya Zen.

"Saya mau membicarakan sesuatu. Kali ini saya harap kamu mengerti dan mengabulkannya," ujar Daisy.

"Tergantung." Zen menyilangkan kedua tangannya. Daisy mundur dua langkah dari tempatnya. Ia siap mendengar apa yang ingin dikatakan Daisy.

Daisy berdeham. Ia sedikit bingung memulainya hingga meraba tengkuknya yang sepertinya tak ada apa-apa. Sementara Zen menatapnya serius, berkedip selayaknya dan benar-benar konsentrasi.

"Kamu tahu saya ini mahasiswa semester terakhir, kan?" tanya Daisy mengingatkan.

Zen mengangguk paham.

"Saya punya keinginan dan permintaan."

Zen diam. Ia membiarkan Daisy melanjutkan ucapannya. "Apa kamu keberatan kalau kita menikah setelah saya selesai wisuda kelulusan?" tanya Daisy pada inti.

"Saya harus melihat keseriusan kamu, Daisy. Setelah apa yang kamu lakukan beberapa terakhir ini, agak sulit bagi saya melihat kesungguhan kamu," jelas Zen.

Daisy tahu akan hal itu. Ia setidaknya sudah terbiasa dengan Zen. Bahkan ia terkesan pasrah demi Ibunya. Tapi keinginannya benar-benar suatu hal yang ingin sekali ia capai.

"Saya mohon, saya janji sama kamu. Saya akan tetap menikah denganmu, Zen. Senggaknya saya bisa menikmati masa sarjana saya sebelum menjadi istri orang."

Sembari memikirkan permintaan Daisy. Zen berkonsentrasi penuh. Segala tindakan dan konsekuensi sudah pasti ia pikirkan. Kali ini jika Daisy mencoba lari darinya, Zen akan membayar berapa pun pembunuh bayaran untuk membunuh orang yang terlibat dalam pelarian Daisy.

"Oke. Kita lihat. Kalau kamu melarikan diri, kamu tahu risikonya. Uang saya bisa saya gunakan untuk membunuh orang terdekatmu atau yang terlibat dalam pelarianmu, Daisy," ancam Zen.

Daisy mengangguk patuh. Tapi ia juga merasa takut akan ancaman itu. Maka ia membiarkan Zen pergi ke kamarnya sementara ia bersiap-siap di kamarnya sendiri.

***

Zen hanya mengantar Daisy sampai depan rumah. Ia sudah mengatakan bahwa dirinya tak bisa mampir karena jam sudah menunjukkan telat baginya.

Sampai kantor, tiba-tiba media massa sudah ada di depan bangunan kantornya. Penjaga yang tahu kedatangan Zen pun pada akhirnya memandu dan melindungi Zen agar segera masuk ke dalam.

Zen lalu menghindar dari kamera dan mencoba berbicara pada seseorang.

"Apa semua ini?" tanya Zen pada beberapa karyawan yang sedang berkumpul.

"Semalam ada yang melihat Bos dengan wanita malam dan kemudian Bos dengan seorang wanita lain lagi," ujar Tino, anak buahnya.

"Apa mereka tahu wanita yang membawa saya itu?" tanya Zen.

"Nggak, Bos. Mereka belum bisa mengidentifikasi Nona Daisy." Zen mengembuskan nafas lega. Baginya sudah biasa jika ia dibicarakan dengan wanita malam. Itu sudah sering terjadi. Tapi jika media tahu mengenai Daisy, sudah pasti Daisy marah besar. Zen sendiri memang belum mau mempublikasikan hubungan mereka.

"Iyakan saja supaya mereka segera pergi, saya ada meeting, kamu urus semua, Tino," ujar Zen lalu pergi ke arah ruangan meeting berada.

Selesai meeting, Zen menuju ruangannya. Di sana sudah ada wanita berpakaian layaknya kantor dan formal tengah duduk di kursi tamunya. Zen terkejut, tapi ia segera menjadikan dirinya biasa.

Siapa lagi kalau bukan mantan pacarnya, Kanya.

Kanya tersenyum pada Zen. Zen lalu duduk di kursinya. "Ada apa, Kanya?"

"Bukan sapaan yang bagus, Zen. Kamu apa kabar?"

"Nggak usah basa-basi. Perlu apa kamu ke sini?" tanya Zen datar.

"Kamu nggak lupa kan, buat transfer uang untuk Vista, anak kita?"

***

Ruangan menjadi gelap. Sengaja ia matikan agar tidak ada pencahayaan yang masuk. Ponsel bahkan Zen matikan. Ia benar-benar frustrasi sejak kedatangan Kanya. Bagaimana mungkin ia datang begitu saja dan menagih sesuatu yang setidaknya bisa dikatakan hanya melalui ponsel?

Sesuatu akan terjadi, pikir Zen.

Zen terus memikirkan Daisy. Apa jadinya jika ia tahu bahwa ternyata Zen memiliki anak atas perbuatannya sendiri? Tidak menikahi wanita itu karena wanita itulah yang memilih pergi dari Zen, namun cukup menuntut Zen untuk mengirim uang demi anaknya.

Tak ingin memikirkannya Zen pun akhirnya menghabiskan kaleng demi kaleng bir yang ia punya. Lalu ia mencoba menelepon Dito dari telepon genggam apartemennya.

"Gue butuh lo, Dit," lirih Zen kemudian.

Kalau sudah seperti itu, Dito segera meluncur ke tempat Zen. Lalu ia segera masuk ke apartemen Zen dan bergabung bersamanya. Hanya pada Dito Zen bisa bercerita banyak.

"Kanya," kata Zen memberitahu.

Dito menggelengkan kepalanya. Ia cukup kenal Kanya. Dan saat ini Zen membutuhkan masukkan dari Dito.

"Lo ada kan, surat perjanjian bermaterai bahwa rahasia lo punya anak nggak akan terbongkar?" tanya Dito memastikan.

Zen mengangguk.

Lalu Dito memberikan gestur ke arah pelipisnya. "Otak lo dipakai! Masa gitu aja lo takut? Lo menang gimana pun juga, pengacara juga ada. Cukup lo kirimin aja uang ke dia biar nggak ganggu lo. Gue yakin, rahasia lo aman dari Daisy."

Lagi Zen hanya mengangguk penuh. Lalu ia menenggak bir terakhirnya dan kemudian menyalakan saklar lampu. Kini Zen merasa lega. Semua berkat Dito.

***

Hari ini Zen akan menjemput Daisy di kampus setelah pagi tadi ia mengantarnya. Waktunya sedang senggang, maka Zen berniat mengajak Daisy untuk fiting baju pertunangan yang akan di adakan dua bulan lagi.

Daisy masuk ke dalam mobil tanpa ekspresi. Zen sendiri tidak keluar mobil lantaran ia tak suka dengan para pasang mata yang memandangnya.

"Kita ke butik untuk fitting baju," kata Zen.

"Buat apa?"

"Dua bulan lagi pertunangan kita."

Belum sempat Daisy membalasnya, Zen sudah angkat bicara lagi. "Keluargamu sudah tahu. Dan malam ini keluarga saya akan datang ke rumahmu untuk melamarmu. Kan, kalau di hitung dari sekarang, empat bulan lagi kamu wisuda. Jadi saya ingin dua bulan lagi tunangan, lalu dua bulannya lagi pernikahan kita."

Daisy menganga. Ia hanya diam karena Zen begitu memikirkan semuanya secara matang dan masuk akal. Ia sendiri tak bisa membantah lantaran semua yang dikatakan Zen mengenai wisuda kelulusannya adalah benar.

"Fine, it's up to you," ujar Daisy kemudian. Zen tersenyum. "Senang rasanya melihat kamu menuruti apa yang saya katakan."

"Saya nggak punya pilihan lagi, Zen. Rasanya hidup saya memang sudah di tangan kamu."

"Saya menjamin semuanya, Daisy. Selagi kamu menjadi penurut."

"Hmm... saya ada permintaan lagi," kata Daisy.

"Apa?"

"Cara bicara kita... bisakah kita ganti 'aku-kamu' aja? Karena rasanya 'saya-kamu' itu terlalu formal."