Mendadak perasaan Daisy tak enak. Malam ini membuatnya gelisah. Karena ia seorang diri, akhirnya ia menyuruh temannya, Ama, untuk menginap di apartemennya. Ia juga sudah meminta izin Zen.
Perasaan yang tak enak itu membuat terus menerus tertuju pada Zen. Setelah acara pertemuan di ballroom, Zen tidak lagi memberinya kabar. Daisy juga tidak menuntutnya untuk selalu mengabarinya. Tapi perasaannya sendiri seakan memberi sebuah clue.
"Vino, apa kamu atau yang lain nggak bisa mencari tahu soal apa yang Zen lakuin sekarang? Dan jangan sampai Zen tahu saya bertanya," kata Daisy pada Vino.
"Akan saya usahakan ya, Nona."
Setelah Vino berlalu darinya, Daisy kembali menuju ruang tengah di mana Ama sudah datang dan membawa banyak makanan juga minuman untuk malam mereka.
"Wajah lo gelisah gitu, kenapa?" tanya Ama yang memang menyadari kegelisahan pada Daisy.
"Bukan apa-apa, Am."
"Lo nggak mau cerita sama gue? Percuma loh, kalau gue di sini nggak bisa buat lo cerita sama gue apa yang lagi lo pikiran," ujar Ama.
Daisy memikirkan kalimat Ama. Ada benarnya. Ia tidak mungkin tidak cerita padanya mengenai apa yang ia pikirkan. Lagi pula, lama juga tidak bersua dan berbicara dengan temannya itu. Akhirnya Daisy memutuskan untuk menceritakan apa yang sedang di benaknya.
Yang Daisy tahu, dan menurut beberapa artikel yang ia baca dan lihat, seorang wanita jika sudah memiliki sebuah insting, biasanya insting tersebut benar adanya. Daisy takut akan hal itu benar-benar terjadi.
"Apa yang bikin lo kayak selalu kepikiran kalau Zen di sana macam-macam?" tanya Ama setelah ia menceritakan semuanya secara detil. Termasuk tentang Dera dan skandal yang pernah terjadi.
"Karena saat gue tanya siapa aja yang ikut, Zen seperti sulit menjawab, walau pun dia tetap menjawab pertanyaan gue. Kayak ada yang dia sembunyiin, Ama."
"Oke. Sekarang gini, ada nggak orang kantor yang lo percayai banget?" tanya Ama.
Tiba-tiba Daisy memiliki sebuah harapan. Terlalu berlebihan memang, tapi kenapa juga ia tidak kepikiran mengenai Ita, sekretaris Zen yang begitu ia percayai dan sudah ia anggap jadi teman? Ia akan bertanya pada Ita secara langsung melalui telepon. Namun Daisy memutuskan untuk mengirim pesan saja, takut jika panggilannya nantinya membuat Ita terganggu.
Daisy lalu mengangguk cepat pada Ama dan memeluknya karena membuatnya teringat akan Ita.
"Ya, udah, gue tidur duluan ya, Daisy," ujar Ama berpamitan ketika waktu sudah menunjukkan sangat malam. Daisy membiarkan Ama tidur di kamarnya yang lama, sementara Daisy tetap di kamarnya Zen, kamar milik mereka berdua.
"Oke. Good night, Ama."
"Good night, Dai..."
Di kamar, Daisy baru menyentuh ponselnya setelah terakhir tadi ia mengirim pesan pada Ita. Ia belum tahu apakah Ita membalasanya atau belum, namun saat ia melihat layarnya ada notifikasi, buru-buru Daisy langsung membukanya.
Dari: Ita Kantor
Iya, Daisy... Dera ikut karena mewakili divisinya. Aku nggak akan bilang Pak Zen, tapi kamu juga jangan sampai ketahuan kalau aku yang lapor, ya...
Pesan Ita cukup jelas. Saking jelasnya, ia menggenggam ponselnya sangat erat sampai terasa menyakitkan tangannya. Daisy juga tidak mendapat kabar mengenai Zen.
Ia pun membalas pesan Ita dan bertanya mengenai keberadaan Dera dan Zen. Meminta Ita untuk menjadi mata-matanya di sana.
Daisy memutuskan untuk menelepon Zen. Setidaknya berpura-pura terbangun dan merindukan suara Zen.
Sambungan terdengar, lalu tak lama panggilan di jawab.
"Hmm... ha-lo, Daisy?" Suara serak Zen membuat degupan jantung Daisy berdetak lebih cepat. Ia membayangkan sesuatu hal buruk sedang terjadi.
***
Sial! Rutuk Zen saat ia melihat ponselnya bergetar menampilkan nama Daisy di layarnya. Ia melihat Dera masih di bagian bawahnya. Sedang melakukan tugasnya untuk membuatnya puas. Jantungnya berpacu cepat, namun Zen terpaksa mengangkatnya.
"Hmm... ha-lo, Daisy?"
"Zen... aku... kebangun. Aku rindu kamu," kata Daisy.
Zen menahan rasa nikmat yang Dera berikan, ia tidak ingin Daisy tahu. Tidak sama sekali.
"Aku juga rindu kamu, Daisy. Tunggu dua hari lagi, ya?"
Gerakan Dera semakin cepat. Zen juga memegang rambut Dera lebih keras agar bergerak lebih cepat. Rasa kenikmatan yang menjalar di setiap tubuhnya membuatnya ingin terus merasa diberi puas oleh Dera.
"Kamu lagi apa?" tanya Daisy.
"Aku... tidur. Dan kaget kamh telepon," jawab Zen sekenanya.
"O-oh, kalau begitu, lanjut tidur ya. Maaf mengganggu." Daisy langsung mematikan panggilannya dan Zen menaruh ponselnya tanpa memikirkan apa yang terjadi.
Setelah Dera memberinya rasa puas, Ia pun membawa Dera menuju pangkuannya. Membiarkan Dera bergoyang di atasnya. Lagi dan lagi, tanpa rasa lelah, seperti malam ini mereka melakukan kenikmatan berulang kali. Diisapnya bulatan nikmat milik Dera hingga membuat Dera bergetar dan berteriak, membuatnya lemas dan tak bisa bergerak.
"Waktu kita masih banyak, aku nggak akan lelah bercinta sama kamu, Bos!" erang Dera menarik rambut Zen agar lebih dalam mengisap miliknya.
"Hmm... kalau begitu, berikan aku kepuasan lagi!" perintah Zen saat ia begitu bernafsu Dera memanggil nama 'Bos' sebagai sebuah pancingan yang menggodanya.
***
Pagi sekali Daisy langsung melihat ponselnya. Pesan dari Ita membuatnya terbangun. Belum membukanya saja sudah membuat perasaannya tidak menentu.
Dari: Ita
Daisy... benar instingmu, Dera baru aja keluar dari kamar Zen.
Bagai disambar petir. Satu pesan singkat itu benar-benar membuatnya terkulai lemas. Ia lalu membanting ponselnya keras-keras, tidak peduli jika nanti Zen susah menghubunginya. Ia butuh pelampiasan agar tidak merasa begitu menyedihkan.
Ponsel yang ia banting, hancur berantakan. Ia hanya menatapnya, lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah Daisy mandi, ia memberi riasan yang cukup untuk dirinya. Lalu keluar kamar dan memberitahu pada Vino bahwa ponselnya tidak sengaja jatuh dan hancur, jadi Vino bisa mengatakan itu pada Zen.
"Wow, sarapan apa ini?" tanya Daisy mencoba ceria ketika melihat Ama sedang menyiapkan sarapan di meja makan.
"Nasi goreng padang! Enak, nih! Resepnya udah sering gue bikin. Yok, makan!"
Daisy mengangguk semangat demi melupakan pesan Ita yang mengenai laporan akan Zen. Walau rasanya sangat membuatnya kepikiran, tapi Daisy bisa mengatasi kegelisahannya.
"Lo kenapa? Lahap banget?" tanya Ama.
"Laper, Ama. Ini enak!" puji Daisy.
Ama berdecak dan menaruh kembali sendok garpunya. Ia merasakan ada yang beda pada Daisy. Lalu Ama memperhatikan Daisy yang saat ini tanpa perhiasan sama sekali, kecuali cincin pernikahannya. Bahkan kalung yang biasa Daisy kenakan juga tidak ia kenakan.
"Ayo, cerita. Morning talk?" ajak Ama.
Daisy memperlambat suapannya. Lalu ia mencoba mengolah kata yang akan ia sampaikan. Setidaknya jangan sampai membuatnya menangis.
"Daisy???" panggil Ama memastikan.
"Zen... gue rasa, dia beneran ada affair sama Dera," kata Daisy memberitahu dengan rasa gugupnya.