Belum pernah ada yang mengajaknya ke sini. Sekali pun ia gila seks, ia sendiri tidak pernah juga mengajak siapa pun. Di samping lupa akan tempat ini memang ada, di satu sisi juga ia tidak kepikiran.
Sekarang, malah istrinya yang mengajaknya ke sini. Sesuatu yang sangat spesial kemudian menggetarkan seluruh tubuhnya. Tak munafik juga bagian bawahnya merasa ketegangan yang luar biasa.
"Dari mana kamu nemuin restoran seperti ini?" tanya Zen masih tak percaya bahwa Daisy menemukan restoran bintang lima.
Sebuah restoran mewah, bahkan super mewah, kini menyajikan ruang khusus yang berkedap suara. Bagai sebuah kamar berisikan kasur king size yang empuk, yang di hadapannya terbentang meja dan kursi untuk menikmati jamuan makanan khas restoran tersebut. Belum lagi, tersedia kamar mandi untuk membersihkan diri.
Perfek dan antik.
"Itu rahasia. Jadi, apa kamu suka?" tanya Daisy lembut.
"Bagaimana mungkin aku nggak suka, Daisy?" Zen mendekatkan diri, menyetuhkan kulitnya pada kulit Daisy, lalu membenamkan wajahnya ke leher jenjang Daisy.
"Ayo, kita pesan makan dulu," kata Daisy dan beralih ke kursi untuk duduk.
Di lubuk hati Daisy yang paling dalam, ia sendiri merasa bodoh akan dirinya. Tidak, lebih tepatnya ia merasa malu karena Vino yang menemukan tempat ini dan juga tahu fungsi dari keseluruhan tempat ini. Daisy bahkan menahan rasa malu pada dirinya ketika Vino menjelaskan secara detil tempat ini.
Belum lagi bagian dari dirinya tidak sanggup menahan gejolak nafsu yang melihat Zen kini terlihat sangat tampan dengan balutan pakaian resmi. Kelewat tampan walau setiap terlihat sama saja. Gagah dan sangat tampan.
Paket bercinta sebagai menu makanan menjadi pilihan mereka. Sangat malu rasanya ketika tahu ada 'paket bercinta' yang menjadi menu utama dalam restoran tersebut.
Dua buah steak tendeloin setengah matang, dengan ice cokelat yang dikoco, meningkatkan gairah pada mereka. Tak lupa makanan penutup dan santai juga menjadi isinya. Dan masih banyak lagi menu yang tak disebutkan, sebagai pelengkapnya.
"Pipimu memerah," ujar Zen memandang Daisy.
Daisy menunduk malu. Tentu saja ia memerah. Bagaimana tidak? Pikiran nakalnya selalu terbayang sesuatu yang sangat terbuka, nikmat dan enak.
"Apa kamu malu? Atau kamu... membayangkan sesuatu?" tanya Zen.
"Dua-duanya," jawab Daisy tanpa ragu.
Zen mengangguk. Ia lalu mengatakan sesuatu yang sedari tadi ia perhatikan namun sempat tak yakin dan pada akhirnya ia paham. "Aku bertaruh kamu nggak pakai celana dalam, Daisy. Benar begitu?"
Tubuh Daisy memanas. Ia bisa saja menyerang Zen langsung. Namun ia harus menunggu pelayan datang dengan menu pesanan mereka dan setelah itu tidak akan ada yang mengganggunya.
"Ya... aku.nggak,pakai," jawab Daisy dengan penekanan yang menyiksa dirinya. Ia ingin Zen membenamkan dirinya pada tubuh Daisy.
Zen menelan ludahnya. Ia sama halnya, bersiap membuat Daisy lelah dan berteriak nikmat sekaligus meminta lebih. Tapi nanti, saat waktunya benar-benar tiba.
"Katakan apa yang kamu pikirkan dan lantas nggak memakai celana dalammu, Daisy," kata Zen.
"Aku ingin kamu... di dalam diriku, Zen."
***
Suara tawa Daisy dan Zen di lorong apartemen yang sepi menghentikan mereka saat tahu di depan pintu apartemennya berdiri Devan di sana.
Seolah sudah lama tidak bertemu dengannya, membuat Daisy sibuk dengan pikiran apa yang dilakukan Devan di sini.
"Gue mau ngomong sama Daisy. Berdua. Di kedai sebelah aja," kata Devan seolah meminta izin pada Zen.
"Daisy... apa kamu mau?" tanya Zen dingin.
Wajah Devan terlihat serius, saking seriusnya, membuat Daisy menyetujui keinginannya dan berjanji tidak akan lama diluar. Jadi, belum sempat Daisy masuk, ia dan Devan pergi meninggalkan Zen.
Sementara itu, Zen memperhatikan mereka sampai keduanya hilang di belokan lorong pertama.
"Aku nggak tahu kenapa kamu nggak bilang sama aku kalau kamu keguguran," kata Devan sebagai kalimat pembuka, membuat Daisy jadi teringat momen menyakitkan itu.
"Sedikit yang tahu lebih baik. Lagi pula, kamu bukan siapa-siapa aku, Devan."
"Apakah harus menjadi sesuatu untukmu jadi kamu bisa terbuka sama aku, Daisy?" tanya Devan.
Daisy menghela nafasnya. "Katakan aja, ada apa kamu ke sini," balas Daisy mengalihkan.
Dahi Devan berkerut. Ia merasa kecewa karena Daisy tidak menjawab pertanyaannya sebelumnya. Tapi bukan masalah baginya. Toh, dia memang dengan sebuah alasan yang khusus.
"Lusa aku harus kembali ke Amerika," ucap Devan.
"Lalu?"
"Apa kamu nggak ada sesuatu yang ingin kamu ucapkan padaku, Daisy?" tanya Devan seraya memejamkan matanya.
Daisy menggelengkan kepalanya. Sejujurnya ia memang tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak terpikirkan sekali pun, atau ide sesuatu. Tidak ada. Tapi mendengar Devan seakan meminta ia mengataka sesuatu, membuatnya seperti memang ada tapi ia tidak tahu.
"Hati-hati aja kalau gitu. Negara orang pasti udah nggak familiar buatmu. Tapi yah, tetap hati-hati saja," ucap Daisy kemudian.
"Hanya itu? Nasihat lama?" tanya Devan skeptis.
Kini gantian Daisy yang menaikkan satu alisnya. Pikirnya, memang Devan berharap apa? Pikirnya lagi, jika Devan pergi pun tanpa memberitahunya, pengaruh apa yang akan membuatnya berbeda? Daisy merasa tidak ada sesuatu di antara mereka.
"Stop, Devan! Berhenti seolah kita ada sesuatu dalam hubungan ini. Aku menikah dan aku bersama Zen. Memangnya apa yang kamu harapi dari aku yang bersuami? Hah?" kata Daisy sekaligus memperingati.
"Sekarang aku terluka. Aku... cukup tahu hati kamu buat siapa sekarang. Cuma dia, kan? Selalu untuk Zen, kan?"
"Ya. Selalu dan hanya untuk Zen."
"Well... kamulah yang harusnya baik-baik di sini. Aku nggak akan lelah bilang ke kamu, bagaimana pun, jika sesuatu buruk terjadi, hubungi aku. Selamat malam dan selamat tinggal, Daisy."
Devan beranjak berdiri usai mengatakan itu. Tidak ada sentuhan atau pelukan permintaan darinya. Ia hanya pergi begitu saja meninggalkan Daisy yang menghela nafasnya. Daisy tahu ia menyakiti Devan, berapa kali pun, dan Devan selalu menerimanya begitu saja.
Punggung Devan menghilang dan Daisy merenung sendiri. Menikmati kopinya yang masih dingin karena es, dan ditemani secangkir kopi pesanan Devan yang tak disentuhnya sedari tadi.
"Senggaknya kamu memang nggak ada di hadapanku, Devan," ujar Daisy lirih.
Tak sampai lama, Daisy kembali ke apartemennya. Ia tidak merasa sedih atau ingin menangis. Ia hanya merasa... kosong. Sampai pintu apartemen dibuka, Daisy melihat Zen sedang berdiri di balkon.
Dipeluknya tubuh Zen dari belakang, sangat erat. Begitu erat sampai Zen berbalik dan meraih kedua rahang Daisy. Ditatapnya wajah mungil Daisy, dan dikecupnya bibir Daisy hingga akhirnya berakhir dengan lumatan yang lembut dan hebat. Sejenak Daisy lupa akan hal yang baru saja terjadi, bertemu Devan. Ia memang membutuhkan ini, melupakan bahwa pikirannya tidak ada Devan.
Bercinta di restoran ternyata tak membuat keduanya merasa puas. Mereka pun bermain kembali di balkon yang terbuka. Dengan lampu kota menyinari, embusan angin yang menerpa kecil, lalu mereka bercinta.
Zen mengangkatnya hingga hanya menahan Daisy dengan pegangan di balkon dan bergerak cepat sesuai keinginannya.
halo, so far so good? part seperti ini yang selalu membuat degupan jantungku berdetak lebih cepat. i dont know why, but i like this. well, happy reading dear ^^ dont forget your vote/comment/gift, yaaaa :*
ig: @karendebor