webnovel

Bench in the Park

Tidak semua orang mendapat kesempatan kedua dalam hidup, namun tak sedikit pula yang justru menggunakan kesempatan yang diberikan itu hanya untuk memuaskan nafsu keduniawian saja. Begitupula yang terjadi pada Keisha. Mengkhianati orang yang justru berperan besar dalam mengangkat kehidupan, bahkan rasa percaya dirinya. Dan saat semua sudah terlanjur terjadi, kata maaf dan penyesalan tentu tidak lagi berguna, sebab karma itu menyakitkan.

Ando_Ajo · ファンタジー
レビュー数が足りません
402 Chs

Langkah Mudah?

"Jadi itu alasan sebenarnya, hemm…" Shifa tersenyum mengangguk-angguk kecil.

"Alasan apa?" tanya Keisha dengan kening mengernyit.

"Alasan Bang Keisha sering mengunjungi danau itu."

Keisha tertawa pelan sembari menggelengkan kepala.

"Pantas saja Bang Keisha sampai rela menggowes sepeda sejauh itu. Ternyata oh ternyata, ada bunga yang cantik rupanya di sana, hemm…"

"Ngaco kamu."

"Lho… bukan, ya?"

Kakak beradik itu pun sama-sama tertawa dalam kegembiraan. Terutama demi kegembiraan sang kakak.

"Nggak salah sepenuhnya juga, sih."

"Tuh, kan!" Shifa tersenyum lebar dengan alis matanya yang bergerak-gerak turun-naik.

"Baru dua tiga hari belakangan ini saja, kok."

"Apa itu benar?"

Keisha mengangguk, tapi Shifa justru tertawa tanpa suara menanggapi anggukan sang kakak.

"Kenapa kamu tidak percaya begitu?" tanya Keisha.

Dan sebelum wajahnya semakin panas karena jengah, Keisha pun kembali menatap bintang gemintang di langit sana.

"Tentu saja," sahut Shifa. "Baru kenal dalam tiga hari saja, Bang Keisha sudah mencium gadis itu? Yang benar saja. Jatuh cinta dalam waktu yang sekejap itu? Nggak, nggak… sepertinya Bang Keisha sudah mengenal Delima dalam waktu yang lama."

Keisha hanya tertawa menanggapi celoteh sang adik. Ya, ia merasa tidak perlu berdebat lebih jauh soal yang satu itu. Toh, ia sudah memberi tahu Shifa apa yang sesungguhnya sudah terjadi, tentang Delima, dan itu sudah cukup.

Kembali pandangan pemuda itu tertuju ke langit malam. Di dalam hatinya, ia menggantungkan harapan pada bintang-bintang di atas sana yang berkelap-kelip.

Delima… apa kau sekarang memikirkan tentang aku juga?

***

"Sayang sekali… kenapa kau tidak meminta dia menginap di sini saja?"

Delima tidak menjawab pertanyaan neneknya itu. Ia terus saja memberikan pijatan-pijatan lembut di bahu sang nenek.

Gadis itu duduk di atas sebuah kursi sementara sang nenek duduk di lantai memunggungi Delima, di ruang tengah.

"Hahh…" Delia mengembuskan napas panjang. "Dasar keras kepala."

Semenit berikutnya, Delisa muncul dari arah kamar satu-satunya itu. Sepertinya ia baru saja selesai mandi. Itu bisa terlihat dari rambutnya yang tergerai dan masih basah, serta Delisa hanya mengenakan baju panjang yang mirip kimono berbahan tipis untuk menutupi tubuhnya.

"Kau sudah menerima benihnya?"

"Nenek!" Delima tak kuasa menahan rasa jengah yang memerahkan pipinya itu. Sang gadis menepuk pelan bahu sang nenek.

"Aku hanya ingin memastikan saja," ujar Delia berkilah sembari menahan tawa. "Dia sudah menidurimu?"

Karena geram sekaligus malu-malu, Delima memeluk erat sang nenek dari belakang.

"Cucu Ibu terlalu malu untuk melakukan hal itu, Bu," ujar Delisa, lalu duduk di salah satu kursi. Dengan sebuah sisir dari tulang, Delisa pun menyisir rambutnya.

"Ibu!" Delima mendelik pada Delisa.

"Lhoo, nenek kamu benar, Delima. Kamu harus mengambil kesempatan itu selagi bisa."

Delima sedikit merajuk. Ia mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi, dua tangan dilipat ke dada. Sementara sang nenek tertawa-tawa nyaris tanpa suara.

"Tidak mau!" ujar Delima setengah mendengus.

"Keras kepala!" sahut sang nenek sembari merapikan rambutnya yang putih.

"Delima mau memastikan terlebih dahulu, Nek."

"Alasan!"

"Tapi itu benar, kok," Delima berpikir ia tidak mau kalah untuk kali ini. Jadi, ia akan menggunakan alasan apa pun untuk melawan ucapan sang nenek dan sang ibu. "Setelah semuanya jelas, dan Keisha benar-benar mencintaiku, setelah itu…"

"Setelah itu, apa?" ujar Delia mendesak Delima.

"Ya… itu."

"Itu, apa? Kau seperti anak sepuluh tahun saja, Delima. Jangan berpikir terlalu lama atau kau akan kehilangan kesempatanmu."

"Iya, iya…" Delima menghela napas dalam-dalam. "Delima tahu, kok."

Sang nenek lantas berdiri, merapikan rambut serta pakaian di tubuhnya.

"Kalau si Keisha itu datang lagi, besok," ujar Delisa sembari terus menyisir-nyisir rambutnya. "Lebih baik kamu ajak lagi ke rumah ini, Delima."

"Nah," Delia berbalik memandang Delima. "Biar aku sendiri nanti yang menanyakan langsung pada laki-laki itu."

"Nenek!"

"Apa?" Delia bertolak pinggang dan sengaja memperlihatkan wajah tegasnya kepada sang cucu.

Hanya saja, melihat wajah sang nenek justru membuat Delima malah tertawa cekikkan.

Delia meelirik pada Delisa, tapi Delisa hanya tersenyum sembari mengendikkan bahu.

"Hahh…" Delia mengeluh sambil menggelengkan kepala. "Aku seperti kehilangan harga diri di depan anak yang satu ini. Menyedihkan!"

"Karena Ibu terlalu memanjakan dia sedari kecil," sahut Delisa.

"Kau juga sama!" dengus Delia pada Delisa.

"Udah, dong…" ujar Delima sembari tersenyum-senyum. "Ibu dan anak kok malah jadi ribut sendiri, sih?"

Delia mendelik lagi pada Delima. "Gara-gara siapa, coba?"

"Iya, iya, iya… maap," Delima menekur dengan pipi menggelembung dan bibir yang sedikit maju.

"Sudahlah," ujar Delia, "sudah kuputuskan, kalau dia datang lagi besok ke danau itu, bawa saja ke sini. Kau dengar?"

Delima mengangguk saja sembari menahan tawanya.

"Sepertinya purnama di muka aku akan ikut Ibu saja," ucap Delisa.

Delia dan Delima sama memandang pada Delisa.

"Lho, berarti aku ditinggal sendiri dong, Bu?" sahut Delima dengan sedikit protes pada ibunya tersebut.

Delisa tersenyum, lalu melemparkan helaian-helaian rambutnya yang di dada ke belakang punggung. Ia menggenggam sisir tulang itu dengan dua tangan di pangkuannya.

"Ibu sama seperti nenekmu, Delima. Meskipun kamu cukup yakin menjalani apa yang kamu kehendaki, namun demikian, sebagai seorang ibu tentulah ada hal yang membuat kami khawatir."

"Itu benar, Delima," sahut Delia pula. "Purnama di muka hanya tersisa dua tiga hari lagi saja. Kau gunakan waktumu bersama laki-laki itu."

"Ta—tapi, Nek…"

"Aah, jangan pakai ragu-ragu, Delima. Aku dan ibumu akan memberikanmu waktu dua hari untuk mendapat benih dari laki-laki itu, kau dengar?"

Delima hanya mengangguk saja sembari menekur. Lagipula, ia tidak yakin akan berani meminta hal yang satu itu kepada Keisha. Terlalu malu, dan terlalu jengah.

"Aku mengatakan hal ini bukan tanpa alasan, Delima," ujar Delia, lagi. Ia mendekati sang cucu, mengelus kepalanya dengan penuh kasih sayang. "Katakanlah, ini sebuah solusi yang tidak akan merugikan dirimu, Delima. Tidak akan ada ruginya."

"Benarkah?" Delima memandang wajah sang nenek, lalu ke dalam bola matanya.

Delia mengangguk dalam senyuman. "Anggaplah kau sudah mendapatkan benih laki-laki itu, dan ternyata dia tidak mencintaimu—sebab, sekali lagi kukatakan padamu, Delima, tidak ada cinta yang suci di dunia ini. Cinta yang abadi? Yang benar saja, kecuali, cinta seorang ibu kepada anaknya."

"Terus?" tanya Delima.

"Kalau sudah begitu," ujar Delia melanjutkan ucapannya, "kau tidak perlu menikahi laki-laki itu, dan kembali ke lautan bersama kami."

"Bagaimana kalau ternyata Keisha benar-benar mencintaiku?"

"Nah, itu bagus," sahut Delisa pula. "Itu berarti keinginanmu untuk selamanya hidup di dunia manusia akan tercapai."

"Yaah," Delia mengangguk. "Hidup dan matimu akan bersama dengan manusia-manusia itu. Katakan padaku, Delima, apakah ini bukan sebuah rencana yang baik?"

TO BE CONTINUED ...