Keisha merasa jijik pada suara tawa teman-teman sekolahnya itu yang kian terdengar memenuhi ruangan yang telah dihias ini. Jijik pada setiap mulut yang menganga lebar itu. Dan lebih jijik lagi pada dirinya sendiri, sehingga ia memejamkan matanya seolah tak hendak melihat lagi warna-warni dunia.
Di saat mata orang-orang mampu melihat perbedaan dan keindahan lebih dari satu juta varian warna itu sendiri, dan ia hanya dapat menangkap hanya sepuluh ribu varian warna saja, di situlah hati menjadi sangat kecil, dengan pikiran yang kusut. Dan menyalahkan semua hal atas ketidakadilan yang ia alami.
Ingin rasanya berpindah saat itu juga ke dimensi berbeda, sehingga ia tidak perlu lagi bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan itu. Atau ke dimensi di mana dunia sama persis seperti yang ia lihat sehari-hari dengan kedua bola matanya itu.
Dan saat Keisha membuka matanya, ia terbangun dengan keringat membasahi wajah dan sekujur tubuhnya.
Keisha terengah-engah, mengusap wajah. Mimpi itu lagi, gumamnya di hati. Mimpi dari gambaran realita masa kecilnya dahulu.
Ia duduk menekur di tepi ranjang, meremas-remas rambut pendeknya yang sedikit ikal.
Jarum merah jam dinding berada di angka tiga yang berwarna merah kala Keisha memandangi benda penunjuk waktu tersebut—tapi di mata Keisha itu terlihat seperti warna hitam—dan jarum hitamnya berada di angka tujuh yang berwarna hitam.
Keisha menghela napas dalam-dalam, lalu memutuskan untuk bangkit dan keluar dari kamarnya menuju kamar mandi.
Dari kamar mandi—setelah membasuh muka—Keisha memutuskan untuk ke beranda depan saja. Duduk-duduk di pinggiran teras sembari memandang langit dini hari yang gelap, sesekali sesiuran angin menyapa tubuhnya yang hanya berlapis kaus singlet putih dan celana pendek selutut.
Tidak sedikit pun Keisha merasa kedinginan sebab tubuh telah lebih dahulu memanas akibat mimpi yang baru saaja dialami. Juga, karena hati yang terbakar amarah dan kekesalan, mimpi itu membangkitkan lagi kenangan yang sesungguh tidak ingin ia ingat selama-lamanya.
Semula, Keisha masih memikirkan soal mimpi yang sangat tidak menyenangkan bagi dirinya itu, tapi kemudian terlupakan begitu saja—mungkin juga karena terlalu seringnya mimpi itu datang mengunjungi alam bawah sadarnya selama ini, dan katakanlah ia sudah menjadi terbiasa karena itu, meski tak urung membuat amarah mendidih di dalam diri—berganti dengan seraut wajah manis.
Wajah gadis itu lagi… apa yang sebenarnya yang telah terjadi padaku?
Tapi Keisha tidak mampu menjawab suara hatinya itu sendiri. Sadar atau tidak, segaris lengkung yang tipis namun cukup manis terpatri di sudut bibirnya saat membayangkan wajah cantik dan terkesan sangat lugu itu.
"Jam tiga sore?" gumam Keisha seorang diri sembari mengusap-usap dagu yang sudah beberapa hari ini tidak mendapat perhatiannya, sehingga bulu-bulu kasar tumbuh riang di sana. "Baiklah cewek penguntit, kurasa… aku akan berada di sana lebih cepat dari itu."
Di sudut lain dari dalam rumah, sang ibu—yang ikut terbangun sebab dalam mimpinya tadi Keisha sempat berteriak-teriak—berdiri seolah bersembunyi di balik lemari hias besar ruang depan tersebut, sembari mengawasi punggung sang anak yang duduk membelakanginya di pinggiran teras depan.
Mutiya hanya bisa memandangi punggung sang buah hati dengan segala sesal yang membayangi diri. Setidaknya, Mutiya tahu pasti mimpi buruk seperti apa yang tadi dialami sang buah hatinya itu.
Yaa, karena cukup seringnya mengalami mimpi kenangan pahit di hari ulang tahun anaknya itulah Mutiya tidak melanjutkan untuk menghampiri Keisha. Sebab, Keisha pasti akan menjadi sangat marah. Dan lagi-lagi, ya… Keisha akan membebankan kesalahan itu pada orang tuanya.
Jadi, biarlah dari kejauhan ini saja mengawasi sang buah hati, daripada kekesalan dan kemarahan Keisha semakin menjadi-jadi jika ia memutuskan untuk menghampirinya. Seperti yang sudah-sudah yang sering terjadi.
Mutiya menghela napas begitu dalam begitu masygul sembari mengurut dadanya sendiri, dan seiring doa terbaik bagi sang anak yang tengah melamun sembari memandangi langit subuh di depan sana. Atau setidaknya, seperti itulah yang dipikirkan Mutiya terhadap Keisha saat sekarang.
Dan sebelum sang anak menyadari kehadiran dirinya yang sedang mengawasi itu, Mutiya pun akhirnya memutuskan untuk beranjak dari sana.
*
Pagi jam delapan Keisha sudah rapi dan bersiap-siap untuk melakukan sesuatu. Ia mengenakan kaus oblong lengan pendek berwarna gelap di bagian atas. Cukup ketat, sehingga mencetak bentuk tubuhnya yang maskulin itu. Serta celana parasut panjang senada di bagian bawah. Celana parasut itu memiliki masing-masing sebuah ritsleting pada sisi bagian dalam mata kaki seukuran sejengkal tangan, tapi dibiarkan menganga terbuka saja oleh Keisha. Dan sepatu kets yang juga berwarna gelap.
Saat melintasi ruang makan untuk menuju ruang belakang, Keisha melihat di atas meja makan itu ada sepiring makanan yang sejatinya telah dipersiapkan sang ibu untuk sarapan Keisha sendiri pagi itu, juga segelas teh manis hangat yang bagian mulut gelasnya ditutupi penutup gelas berwarna merah muda. Tapi, di mata Keisha warna itu terlihat seperti oranye.
Piring dan gelas di atas meja makan tersebut berada di dalam tudung saji. Tapi itu bukan satu kesulitan bagi siapa saja untuk dapat mengetahui apa yang ditutupi tudung saji tersebut. Sebab, tudung saji yang terbuat dari anyaman halus tali rotan itu jalinannya tidak terlalu rapat.
Keisha membuka tudung saji itu, hanya saja ia merasa tidak bernafsu untuk menyantap sarapan yang telah disediakan sang ibu tersebut. Keisha hanya mereguk teh manis hangat yang sudah hampir kehilangan kehangatannya itu sendiri. Itu pun tidak banyak, hanya setengah volume gelas itu saja, dan kemudian kembali ia menutup tudung saji itu. Meninggalkan sepiring makanan dan setengah sisa air teh manis begitu saja.
Ia teruskan langkah menuju ruang belakang, meraih sepeda gunungnya, dan membimbing sepeda itu ke arah ruang depan.
Sebenarnya, di rumah itu ada dua buah sepeda motor. Satu adalah jenis matik yang sering digunakan Mutiya untuk bepergian, dan satu lagi adalah jenis motor besar. Atau istilahnya, sepeda motornya para lelaki. Sepeda motor berwarna dominan merah itu sengaja dibelikan sang kepala keluarga di rumah tersebut untuk hadiah kepada Keisha dengan maksud untuk membuat mood anak sulung dalam keluarga itu bisa menjadi lebih baik.
Hanya saja, semenjak pertama dibeli hingga sekarang, sepeda motor itu sangat jarang digunakan. Paling-paling hanya sang ayah saja yang menggunakan motor tersebut. Itu pun karena tidak ingin kendaraan tersebut menjadi rusak terbiar berkarat begitu saja. Dan ya, itu hanya bisa dilakukan sang ayah jika ia pulang dari Jakarta tentunya.
Keisha sendiri tidak pernah menghiraukan kendaraan tersebut, tidak pula sepeda motor matik yang sering digunakan sang ibu. Pilihannya, selalu jatuh pada sepeda gunung yang sudah cukup tua itu saja untuk kemana-mana.