Dengan semangat 45 Ramona bergegas menuju jln. sidoarjo untuk mendaftarkan dirinya di SMP Negeri 2 yang menjadi sekolah favoritnya dengan tidak lupa berpamitan pada ayah dan ibunya.
"Mama, papa, aku pamit dulu ya. jangan khawatir aku baik-baik saja, doakan agar aku diterima ya ?" Ramona mencium tangan mama dan papanya.
"Hati-hati di jalan nak, kamu naik apa ? ini mama sisihkan uang untukmu". Ujar Ibunya sambil menyisipkan uang 10 ribu di tangan anak bungsunya.
"Jangan terlalu memaksakan diri nak, Ingat kamu itu perempuan, sampai dimanapun sekolahmu tetap akhirnya nanti masuk dapur juga" Ayahnya turut menimpali. sambil mengelus dadanya karena tak tahu harus dengan cara apa mencegah tekad anak bungsunya itu.
Ramona sambil benyanyi kecil menyusuri jalanan, waktu masih menunjukan pukul 6.30 pagi. Dia memilih berjalan kaki sampai sekolah favoritnya yang berjarak sekitar 5 km dari desanya, uang 10 ribuan yg disisihkan ibunya akan dikumpulkan untuk keperluan lainnya. Peluhnya bercucuran begitu dia sampai di tempat pendaftaran. lumayan dia masuk antrian ke 25.
"Ramona Handrinata".
Terdengar namanya dipanggil dari ruang pendaftaran. Ramona segera bergegas, tetapi tak disangka seseorang mengait kakinya dan dia terjerembab di lantai tak sadarkan diri.
"Dimana aku ?" Tanya Ramona kebingungan saat dia membuka matanya pertama kali. dilihatnya ke 3 kakaknya mengelilinginya dengan rawut wajah penuh dengan kekhawatiran.
"Kamu itu sudah dibilangin tidak usah sekolah, masih juga maksa. mau sampai dimana usahamu, kita itu hanya perempuan apalagi tak punya uang, ujung-ujungnya menikah dan ngurus anak !" Kakak Tertuanya berkata dengan Gusar
" Coba tadi kalo Yusran tidak sekolah disitu dan mengetahui yang tidak sadarkan diri dibawa ke ruang UKS itu adalah dirimu, entahlah jadi bagaimana akhirnya. lihat jidatmu benjol kayak buah tomat !" Nuriman kakak keduaku menatapku kesal.
Kualihkan pandanganku ke kakak ketigaku yang menganggukkan kepalanya seakan membenarkan kondisi sebenarnya.
Aku ingin bertanya banyak hal, terkait proses pendaftaran tetapi aku mengurungkannya karena melihat ibu masuk tergopoh-gopoh ke kamarku dengan wajah sembabnya.
"Mama kan sudah bilang hati-hati, lihat kondisimu nak, coba saja kau terima lamaran Hamzah pasti tidak akan terjadi hal seperti ini". Ibuku mengusap kepalaku sambil menangis. Aku tidak tega melihatnya.
Karena kurangnya biaya aku hanya dirawat di rumah dengan perawatan seadanya, Aku tiba-tiba demam, sudah 3 hari panasku tidak kunjung turun, aku sering mengigau. yang keluar dari mulutku hanyalah sekolah dan sekolah. Masih sempat terdengar olehku pembicaraan keluargaku.
"Begini saja, dia bisa melanjutkan sekolahnya biar papa yg akan mencari uang agar Mona bisa sekolah, yang penting dia sembuh". Ujar ayahku pelan
"Kita lihat kedepannya kalo dia tak kunjung sembuh, bisa nganggur setahun. dalam setahun kita bisa sisihkan uang yang penting dia bisa sekolah, Kasihan juga kalo dia nikah muda kaya Rasmi anak tetangga kita itu" ujar Ibu samar-samar di telingaku yang membuatku ingin bangun dan memeluk mereka.
Tetapi pupus sudah harapan Ramona, sakitnya tak kunjung sembuh, rambutnya mulai rontok semua, tubuhnya kurus kering wajah imutnya pudar. Orang tuanya tak sanggup membawanya ke Rumah Sakit karena tak sanggup membayar pengobatan. Tiga bulan sudah Ramona terbaring sakit di rumah, namun tekadnya untuk sekolah tak pernah hilang. "Biarlah ini menjadi harapan yang tertunda baginya, Aku harus sembuh !" Tekadnya dalam hati.
Namun semua berjalan tak sesuai harapan, mungkin efek dari sakit yang di deritanya Ramona malah sering melihat banyak binatang bergelantungan di pohon yang berada di halaman rumahnya. Alhasil yang dipanggil untuk datang mengobatinya hanyalah dukun kampung, maklum desa terpencil masih percaya dengan hal mistik.