webnovel

Beautiful Mate

Warning, 21+ mohon bijak dalam membaca. Avery Selena Dawn, seorang gadis yatim piatu 25 tahun yang baru saja lulus dari jurusan fashion design memutuskan untuk nekat mencoba melamar pekerjaan pada perusahaan fashion kulit dan bulu yang terkenal bernama Anima, karena kesulitan yang sedang melilit panti asuhan tempatnya tinggal dahulu yang menyebabkan anak-anak di sana kelaparan. Ia tentu saja sangat bersemangat ketika pada akhirnya diterima pada perusahaan itu. Perusahaan yang terkenal sangat ketat dan sulit menerima karyawan baru itu, bahkan memberinya kontrak khusus dan pendapatan yang terbilang tinggi untuk karyawan canggung yang tak berpengalaman sepertinya. Awalnya Avery mengira kontrak untuknya hanyalah sekadar kontrak kerja biasa sampai ia mengetahui bahwa kontrak itu adalah kontrak yang dibuat sendiri oleh Dominic Lucius Aiken, sang CEO sekaligus pemilik perusahaan itu ketika ia telah tinggal di mansion tua mewah yang sebelumnya ia kira adalah tempat khusus untuk para karyawan Anima. Tetapi dugaannya salah, ketika sang CEO sendiri ternyata juga bertempat tinggal di sana. Dominic, pria yang begitu tampan, gagah, misterius dan sangat mempesona itu, yang selalu terlihat dikelilingi oleh para wanita kemana pun ia pergi, membuat Avery sedikit muak. Pasalnya, ketika para wanita yang ternyata juga tinggal seatap dengannya, kerap memusuhinya dan selalu mencoba membuatnya tampak buruk ketika mereka mengira ia adalah 'mainan' baru sang Alpha! Tunggu, Alpha? Siapa? Dominic? Siapa ia sebenarnya hingga para wanita menyebutnya Alpha?!

Jasmine_JJ · ファンタジー
レビュー数が足りません
84 Chs

Sesuatu yang Tidak Beres

"Aku melihatnya lagi Nek hari ini, Mom dan Dad," ucap Avery pada Elena. Mereka sedang berada di taman bunga setelah Avery menyelesaikan latihannya siang itu.

Elena menutup mulutnya untuk menekan perasaannya. "Benarkah, apa yang kau lihat, Sayang?" tanya Elena.

"Masih sama, gunung kristal. Hanya saja kali ini terlihat lebih jelas, Nek. Wajah mereka yang terpejam tenang, aku dapat melihatnya dengan sangat jelas," jawab Avery.

"Oh, Serenity," gumam Elena lirih. Matanya kembali berkaca-kaca.

Avery merangkul lembut bahu neneknya. "Jika dugaan yang Nenek katakan benar, maka tak lama lagi rombongan Dom akan sampai pada perbatasan yang menghubungkan Gunung Kristal. Apakah menurut Nenek mereka akan baik-baik saja dengan beberapa tempat berbahaya yang mungkin akan mereka lalui di sana?" tanya Avery.

Elena mengangguk. "Kuharap begitu, Sayang. Tapi tenanglah, Dom adalah pria yang tangguh, bukan? Aku rasa, mereka akan baik-baik saja. Tetaplah berhubungan dengannya, Sayang. Dan dengan beberapa ramuan yang ia bawa, kurasa itu akan cukup mengalahkan sesuatu yang mungkin akan mereka temui. Tapi kau tahu, Sayang ... Dom begitu kuat dan mengintimidasi, tak akan ada sembarang makhluk yang mampu mengganggunya begitu saja."

"Ya, kau benar Nek. Tapi ... walau begitu, aku harus tetap menyelesaikan latihanku dan segera menyusulnya. Ada kemampuan yang harus cepat aku kuasai bukan jika aku menyusulnya?" tanya Avery.

Elena mengangguk sambil membelai kembut kepala cucunya. "Aku mengerti jika kau merasa tak tenang, Sayang. Aku sungguh tahu maksudmu. Untuk sementara ini haruskah aku mengutus beberapa penyihir pilihan untuk mengikuti Dom agar membuatmu tenang?" tanyanya. Sejurus kemudian Elena tampak ragu. "Tapi kurasa ... itu sedikit akan sulit karena ... Maltus ...," bisiknya tertahan karena ia merasakan sesuatu. Seseorang yang datang lebih tepatnya.

"Apakah ada yang menyebut namaku?" Maltus yang tiba-tiba berada di ambang jalan masuk ke area taman, begitu mengagetkan Elena dan Avery dengan kedatangannya. Mereka refleks terdiam, tetapi tetap memasang raut tenang.

"Kalian sedang berbincang rupanya. Dan kulihat, kau telah menyelesaikan latihanmu hari ini, Avery," ucap Maltus ramah sambil tersenyum. Walau begitu entah mengapa Avery tak merasakan keramahan itu. Ia menatap pria berambut panjang dan rapi dengan jubah marun-nya dengan raut yang tak dapat terbaca.

"Ya, kami hanya sedang berbincang, Paman," balasnya kemudian dengan sopan. "Sepertinya aku sedikit lelah dan ingin makan siang, bagaimana dengan Nenek, mari kita makan bersama," ucap Avery mengajak Elena agar ia memiliki alasan keluar dari taman dan menjauh dari Maltus.

Maktus yang semakin mendekat hanya tersenyum sebelum akhirnya menjawab Avery. "Maaf, Avery, sepertinya Elena tak dapat menemanimu makan siang kali ini. Ada sesuatu yang harus kubicarakan dan kubahas dengannya," balas Maltus. Ia kemudian memberi isyarat pada tangannya ke ambang jalan masuk, merujuk pada Maveric yang tengah berada di sana.

"Maveric, kemarilah. Tolong temanilah Avery makan siang hari ini. Kurasa ia akan sedikit kesepian semenjak partnernya pergi dari sini," ucap Maltus kemudian. Ia tersenyum penuh arti.

"A ... apa?" ucap Avery sedikit bingung dengan tingkah Maltus yang memutuskan sendiri keinginannya itu. "Apa maksudmu adalah Dom? Ia tidak pergi, ia hanya sementara kembali agar membuatku fokus dengan meluangkan waktu sepenuhnya untuk berlatih di sini. Ia tak ingin fokusku terganggu dengan kehadirannya," jelasnya.

"Ya ... ya, aku mengerti," ucap Maltus seolah tidak peduli.

Dengan sigap, Maveric yang sebelumnya telah dipanggil ayahnya, segera menghampiri Avery dan meraih lengannya untuk membimbingnya keluar. "Mari, Avery. Biarkan ayahku berbicara dengan nenekmu. Dengan senang hati aku akan menemanimu makan siang," ucapnya dengan senyum berbinar.

Avery menatap Elena dan Maltus sejenak. Elena kemudian mengangguk memberi isyarat padanya. Mau tak mau Avery akhirnya mengikuti Maveric.

Beberapa pelayan telah menyiapkan hidangan di ruang makan ketika Avery dan Maveric masuk ke dalamnya. Avery mengambil tempat duduk yang telah dipersilakan oleh Maveric dan berhadapan dengannya.

"Apa maksud ayahmu sebenarnya?" tanya Avery kemudian. Tanpa sadar ia menanyakan yang ia pikirkan.

"Maksud apa?" Maveric balik bertanya dengan raut kebingungan. "Maksudmu saat ini? Ayahku adalah wakil dari kakekmu. Dan nenekmu, sebagai pendamping pemimpin sorcerer juga berhak untuk mengetahui mengenai laporan atau apapun dari wakilnya disaat kondisi kakekmu sedang tak mampu lagi untuk menjalankan tugasnya," jelasnya.

"Tak mampu? Kondisi yang seperti apa? Apa sebenarnya maksudmu?" tanya Avery. Ia bertanya dengan sedikit nada tinggi karena keterkejutannya.

Maveric mengerjap sejenak. "Begini, kakekmu sekarang sedang dalam kondisi yang tak begitu sempurna untuk menjadi pemimpin. Sebenarnya kondisi itu perlahan semakin memburuk semenjak menghilangnya ibumu. Dan untuk saat ini ... katakanlah, kakekmu benar-benar sedang dalam kondisi yang tidak stabil. Ia sering meracau dan ...."

"Beraninya kau! Apa maksudmu?" potong Avery spontan. Ia refleks berdiri dan menatap Maveric dengan kesal.

Maveric yang tampak terkejut, mengikuti gerakan Avery. Ia beranjak dari tempatnya dan melangkah mendekati Avery. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya saja, Avery. Kau dapat melihatnya jika tak percaya. Karena itulah ayahku memberinya ramuan yang dapat menenangkannya agar ia dapat tenang dan rasional. Kau juga telah melihat sendiri bagaimana emosinya yang meledak-ledak itu bukan?" ucapnya sedikit gugup. Ia tak menyangka Avery akan memasang raut murka padanya.

Avery mengembuskan napasnya perlahan. "Aku rasa, aku sedang tak berselera makan sekarang," ucapnya setelah menahan emosinya. "Aku akan menemui kakekku. Terima kasih karena telah menemaniku, Maveric," ucapnya kemudian sambil berlalu dari Maveric.

"Ta ... tapi, Avery!" Panggilan dari Maveric tak menghentikan langkah Avery untuk menelusuri kediaman luas itu dan segera menuju ke arah kamar kakeknya.

Avery sedikit melirik Maltus yang masih berbincang dengan Elena sekilas saat ia melewati lorong yang menampakkan bagian sisi taman. Avery mengerutkan alisnya menatap Maltus dari kejauhan. Kini, setelah mendengar Maveric berbicara tentang kakeknya, tiba-tiba ia tahu bahwa instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Ia sangat yakin itu.

Avery merasa bahwa Maltus sedang merencanakan sesuatu. Entah, ia hanyabmerasa tatapan pria itu terkadang mencurigakan dan ganjil. Seperti saat ia menemuinya dengan neneknya tadi, ia merasa bahwa Maltus tidak hanya sekadar ingin berbicara dengan Elena.

Walau hanya sekejap, Avery dapat merasakan ketegangan neneknya itu. Terlebih, ketika ia tak melanjutkan pembicaraan dan lebih memilih diam. Bahkan, misi perjalanan rahasia Dom yang hanya diketahui oleh mereka sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.

"Apa yang sebenarnya kau sembunyikan, Paman Maltus," gumamnya perlahan.

Ia akhirnya berhenti pada salah satu pintu yang tertutup. Kamar milik kakek dan neneknya. Di ambang pintu itu, ia akan memulai menelusuri dan mencari tahu perlahan apapun itu yang sekiranya dapat membuktikan kecurigaannya. Ya, terutama kecurigaannya pada sesuatu sisa aroma samar yang berterbangan pada tangan dan jubah Maltus tadi.

Avery dapat melihat adanya sisa warna tak kasat mata yang tertangkap oleh indranya. Sisa-sisa warna samar yang pernah ia temui pada pie yang Ariana pernah coba berikan untuk Dom. Apakah itu sejenis tanaman sihir, Avery sendiri belum yakin. Tapi, walaupun aroma dan warna samar itu berbeda dari yang pernah ia lihat, ia tetap yakin bahwa memang benar ada sesuatu yang tidak beres dari Maltus.

____****____