webnovel

Battle of Heaven

“Bagaimana caranya aku melawan mereka? Mereka itu abadi!” Evan tak pernah menduga kalau dirinya berada di dunia paralel. Orang-orang masih menggunakan kuda sebagai alat transportasi, pedang dan panah sebagai senjata mereka. Sekilas ia seperti tengah melihat citraan jaman pertengahan secara langsung dan nyata. Dunia tersebut terbagi menjadi tiga, dunia manusia, hutan iblis, dan surga malaikat. Ketiga dunia saling bermusuhan satu sama lain dan ras manusia sebagai ras paling lemah di antara ras lainnya. Ketiga dunia terancam perang ketika pemimpin agung yang dihormati mangkat. Evan tahu ada sesuatu yang istimewa dengan dirinya, ia datang membawa kekuatan yang setara dengan para malaikat. Ia pun diminta memimpin pasukan manusia untuk perang dengan para malaikat dan iblis untuk merebut surga yang sejati. Apakah Evan mampu melakukannya? Apakah dia bisa memberikan surga yang manusia inginkan?

Rafaiir_ · ファンタジー
レビュー数が足りません
280 Chs

Pendeta Agung yang suci

"Aku ... entahlah, Jophiel memberikanku kekuatan tanpa memberitahu alasannya."

Pendeta Suci itu mulai berjalan mendekati Evan, tangannya tergoda untuk menyentuh lambang malaikat agung secara langsung. Namun, pikirannya masih sadar dan ia tetap memegang teguh prinsip yang ia anut.

"Apa kau merasakan sesuatu yang kuat bergejolak di dalam tubuhmu?" tanya Pendeta Suci.

Evan melirik ke arah atas, mengingat kembali apakah ia pernah merasakan hal yang ditanyakan wanita muda tersebut. Kekuatannya pertama kali muncul ketika menolong warga desa dari serbuan iblis, itu pun ia tidak tahu cara mengontrolnya.

"Jika dikatakan bergejolak, aku belum pernah mengalaminya. Namun, aku sempat menggunakan kekuatan malaikat itu ketika menyelamatkan warga desa di timur kerajaan," balas Evan.

"Kekuatanmu? Seperti apa itu bentuknya?"

"Kekuatan yang acak, seperti—"

"Menggerakkan tangan, membuat benda melayang, mengurai benda keras menjadi abu, dan membuat pusaran angin yang besar."

Perkataan Evan disela, pemuda itu berbalik badan dan melihat sosok wanita yang cukup ia khawatirkan. Ponrak berada di sisi pintu aula yang terbuka, ia mengenakan setelan yang berbeda dari sebelumnya. Kini, tampilan wanita itu layaknya seorang wanita ibukota, begitu elegan dan anggun.

Evan bangkit dari duduknya dan pergi berlari menghampiri Ponrak. Ia memeluk wanita itu dengan hangat hingga membuat ketiga wanita di dalam aula terkejut, termasuk Pendeta Suci itu sendiri.

"E-Evan? Apa yang kau lakukan?" tanya Ponrak, kaget.

"Aku begitu mengkhawatirkanmu. Kau baik-baik saja, kan? Dari mana kau mendapatkan pakaian ini?" tanya balik Evan, Ponrak tersenyum sambil kedua matanya menatap pakaiannya kembali.

"Seorang bangsawan memberikan ini kepadaku, ia memberikannya karena kasihan aku mengenakan pakaian yang buruk di ibukota."

"Wah, sepertinya dia pria yang baik," ucap Evan, bersyukur.

Ponrak mengangguk sembari tersenyum lebar, melihatnya membuat hati Evan tenang seketika. Ia mengajak Ponrak untuk ikut bertemu dengan Pendeta Suci, seseorang yang mengenal betul siapa Pendeta Agung.

"Senang bertemu denganmu."

"Aku juga. Boleh kutanya sesuatu?" tanya Pendeta Suci, ramah.

Ponrak mengangguk dengan tetap senyum, ia ingin menunjukan sikapnya yang baik dan hangat kepada orang sepenting Pendeta Suci.

"Siapa bangsawan yang memberimu pakaian itu?" tanya Pendeta Suci.

Ponrak membelalak, ia tidak menduga pertanyaan wanita di depannya akan begitu spesifik. Seraya memandang Evan, ia cukup kebingungan menjawab pertanyaan sederhana darinya.

"Apa kau tahu nama bangsawan tersebut?" tanya Evan ketika keduanya sempat beradu pandang.

Ponrak menggelengkan kepala. Ia tidak sempat bertanya nama dari bangsawan tersebut, sehingga Ponrak tidak bisa memberikan jawaban pasti atas pertanyaan dari Pendeta Suci. Wanita di depannya mengangguk pelan, tanda ia tidak akan bertanya hal tersebut lagi.

"Apa kau banyak melihat kekuatan Jophiel di dirinya selama ini?" tanya Pendeta Suci, Ponrak mengangguk tanpa bersuara.

"Kalau begitu aku ingin kalian berdua ikut bersamaku. Akan kupertemukan Evan dengan Pendeta Agung," jelas Pendeta Suci tersebut dengan keputusan mutlaknya.

Ponrak memegang tangan Evan dan menghentikan langkah pemuda tersebut, "Sebaiknya kita tidak boleh bertemu dengan Pendeta Agung."

Ucapan Ponrak mengejutkan semua orang yang mendengarnya, termasuk Evan sendiri. Pemuda itu tak begitu mengerti kenapa Ponrak mencegahnya untuk pergi, padahal sebelum mereka tertangkap, wanita itu adalah orang yang bersemangat untuk membantunya.

"Ada apa? Apa kau tahu sesuatu tentang Pendeta Agung?" tanya Evan, penasaran.

"Dia ... pria tua itu seorang pemberontak kerajaan!" tegas Ponrak, hal itu memicu kemarahan dari Pendeta Suci.

"Dari mana kau mendapatkan informasi tersebut?!" bentak Pendeta Suci, kesal.

"Pihak kerajaan memberitahuku. Mereka memintaku mencegah Evan untuk bertemu dengannya," balas Ponrak, membela argumennya.

Evan semakin kebingungan, siapa yang harus ia percayai di situasi seperti ini. Apakah Pendeta Suci yang akan mengantarkannya ke pria tua itu atau Ponrak yang sudah menemaninya selama sebulan lebih.

"Oh begitukah caramu mendapatkan pakaian mahal itu?"

"Sudah kubilang, ini berasal dari bangsawan ibukota. Tidak ada kaitannya dengan kerajaan!"

Mereka berdua terus berdebat tanpa akhir, tak memedulikan kalau Evan berada di tengah mereka, menyaksikan adu mulut yang sering ia lihat di dunianya dulu.

Terpaksa pemuda itu melerai kedua wanita yang bertikai tersebut dan memutuskan akan ikut bersama Pendeta Suci menemui Pendeta Agung, karena itulah tujuan awal Evan ke dunia ini.

Ponrak merasa kecewa, tetapi ia tidak menunjukan kekecewaannya tersebut. Ia memilih diam di sepanjang perjalanan dari Kastil Norman ke Bukit Apache, tempat Pendeta Agung diasingkan.

Tempat tersebut begitu dekat dengan daerah iblis dan malaikat, bisa dibilang tempat tersebut adalah perbatasan dari tiga dunia. Seseorang yang berhasil berdiri di atas bukit bisa melihat tiga dunia secara langsung dan jelas.

***

Perjalanan membutuhkan waktu sekitar enam jam perjalanan. Mereka bertiga akhirnya sampai di atas bukit dan melihat rumah tua yang terbuat dari kayu lapuk, dengan cerobong asap yang terus mengeluarkan asap hitam. Tampak seorang pria tua tengah duduk di atas kursi kayu memandang dua dunia di belakang halamannya.

"Dia adalah Pendeta Agung." Pendeta Suci menunjuk pria tua tersebut dengan tegas, ia cukup sedih melihat ayahnya terkurung di tempat tersebut layaknya seorang kriminal.

Di depan rumah pengasingan, setia menunggu dua pasukan istana yang bersenjatakan lengkap dengan zirah yang terbuat dari besi. Ketika Evan dan Pendeta Suci hendak bertemu dengan Pendeta Agung, mereka ditahan oleh dua pasukan itu untuk tidak pergi lebih jauh.

"Apa yang akan kau katakan padanya? Biar kusampaikan langsung," ucap salah satu pria di depan Evan, pemuda itu tersenyum seraya menggelengkan kepala, tidak mungkin ia akan menyampaikan pesan rahasia kepada kedua orang tersebut.

Mendengar keributan di depan rumahnya, membuat pria tua itu terusik ketenangannya. Ia berjalan dengan tegap seraya tangannya memegang tongkat berlapiskan emas yang hanya dimiliki oleh Pendeta Agung seorang.

Evan dan pria tua itu beradu pandang dalam beberapa menit sebelum perhatian Pendeta Agung teralihkan dengan kehadiran putrinya. Mereka saling berpelukan meski pagar rumah pengasingan menjadi penghalang keduanya.

Pendeta Suci berbisik pelan kepada ayahnya. Terlihat wajah Pendeta Agung membelalak tajam, mulutnya tak mampu menutup terus menganga tak percaya dengan perkataan putrinya.

"Biarkan pria itu masuk."

"Mohon maaf, Pendeta Agung, kami tidak bisa melakukannya," balas salah satu prajurit pasukan tersebut.

"Apakah kalian lupa kalau aku masih memegang tongkat sihirku? Apa kalian ingin mencoba sihirku yang terbaru?" ancam pria tua tersebut, mereka tahu betul bagaimana kemampuan sihir yang bisa diciptakan olehnya.

Tak lama, mereka membuka akses bagi Evan untuk masuk ke kediaman pria tua tersebut. Pemuda itu segera berlutut hormat kepada Pendeta Agung, pria yang akan menerima pesan dari Jophiel.

"Aku dengan kau utusan Malaikat Jophiel?" tanya Pendeta Agung.

"Iya. Aku memang orangnya," balas Evan.

"Tapi aku tidak melihat lambang malaikatmu di tangan kananmu, di mana sebenarnya lambang itu?" tanya kembali pria tua tersebut, penuh rasa penasaran.

Awalnya Evan menatap Pendeta Suci dalam beberapa detik, seolah meminta izin untuknya membuka pakaian bagian atasnya. Wanita itu tersenyum dan mengangguk, ia segera berbalik badan untuk tidak melihat apa yang dilakukan Evan.

Pemuda itu langsung membukakan pakaiannya dan menunjukan lambang yang pria tua itu cari-cari. Melihatnya berada di dada Evan semakin membuatnya penasaran, keistimewaan apa yang didapatkan oleh pemuda tersebut.

"Lalu apa yang kau ingin aku lakukan, Evan?" tanya Pendeta Agung, tersenyum lebar.

"Aku juga tidak tahu."

"Kau tidak tahu?" tanya Pendeta Suci, kaget.

"Iya. Maksudku, Jophiel hanya memberitahuku kalau aku harus bertemu dengan Pendeta Agung dan mengatakan kalau aku adalah utusannya," jelas Evan, lugu.

Pendeta Suci menghela napas seraya kedua tangannya berkacak pinggang, matanya memandang langit dan wajahnya tampak seperti tengah menahan rasa kesal.

"Jika begitu, aku bisa menyampaikannya sendiri dengan menggunakan telepatiku," keluh Pendeta Suci.

Ketika keduanya bertengkar, justru membuat Pendeta Agung tertawa lantang. Tidak pernah ia lihat putrinya begitu kesal dan marah seperti saat ini, ia cukup senang kalau wanita itu sudah kembali memiliki perasaan buruk di hatinya.

"Jangan terlalu menghakiminya, Sophie. Dia sama sekali tidak salah," balas Pendeta Agung, Sophie adalah nama dari Pendeta Suci tersebut.

Ia mengajak Evan untuk masuk ke dalam rumahnya, begitu juga dengan Sophie yang ikut di belakang ayahnya. Ponrak menunggu dengan kesal di luar rumah, ditemani dua prajurit pasukan yang setia berjaga.

"Duduklah, Evan."

Pendeta Agung mengeluarkan sebuah buku kitab yang berukuran sangat besar, lebih besar dari buku kitab milik Sophie. Ia mengambilnya dari sebuah peti besi berwarna hitam yang tampak begitu kuno dan berdebu.

"Buku apa itu, Ayah?" tanya Sophie.

"Kitab kuno mantra khusus untuk para malaikat. Hanya Pendeta tingkat tiga yang mampu merapalnya," balas Pendeta Agung tersebut.

Ia membuka lembar demi lembar, tulisan yang tak mampu dibaca oleh Evan memusingkannya karena begitu banyak. Gambar-gambar tertentu juga membuatnya cukup penasaran dengan sistem di dunia ini.

Pria tua itu menemukan apa yang ia cari. Dengan menggunakan merkuri untuk membuat lingkaran sihir, ia merapal mantra tersebut dengan khusyuk seraya memejamkan kedua matanya.

Tiba-tiba, dinding rumah kayu ini bergetar hebat, perabotan mulai berjatuhan akibat mantra tingkat tinggi yang dibacakan pria tua tersebut. Kedua pasukan yang berjaga menyadari keanehan yang terjadi di dalam rumah.

Mereka langsung masuk dan mendapai Pendeta Agung sedang melakukan ritual khusus yang tak mereka ketahui. Salah satu prajurit memerintahkan Pendeta Agung untuk menghentikan kegiatannya.

Akan tetapi usahanya terlambat, Pendeta Agung selesai merapal baris terakhir mantranya. Tiba-tiba cahaya putih terang memancar dari dalam ruangan, menyilaukan pandangan mereka semua. Cahaya itu keluar dari rumah kayu dengan menembusnya, sedangkan Evan tak sadarkan diri di atas sofa empuk.

Pendeta Agung, Sophie, dan kedua penjaga itu pergi untuk melihat apa bola cahaya tersebut. Mereka semua membelalakkan matanya, kedua penjaga kediaman Pendeta Agung berteriak dan pergi terbirit-birit tatkala melihat sosok yang mengerikan tersebut.

"Tidak mungkin."

"Senang bertemu denganmu, Pendeta Agung," balas Jophiel.

Malaikat Jophiel muncul dengan bentuk yang sebenarnya, seorang wanita yang berpakaian gaun panjang dengan selendang sutra berwarna biru tua yang ia kenakan di pundaknya. Tinggi Jophiel sama dengan tinggi malaikat lainnya, sekitar 20 meter.

"Terima kasih sudah mengeluarkanku dari tubuhnya."

Jophiel kembali ke bentuknya yang semula. Pendeta Agung dan Sophie melihat secara langsung kekuatan dari malaikat tersebut.

Simak terus kelanjutannya, yah. Jangan lupa vote dan comment. Selamat membaca

Rafaiir_creators' thoughts