"Lalu bagaimana dengan Evan?" ucap Ponrak, khawatir karena melihat Evan yang masih tak sadarkan diri.
"Dia baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir," balas Jophiel.
Tubuhnya yang tinggi seketika menjadi tontonan dari banyak orang di tiga benua yang terpisah, iblis, manusia, dan malaikat. Selama ratusan tahun lamanya, para malaikat tidak pernah melihat keberadaan Jophiel.
Hari ini untuk pertama kalinya, mereka melihat sosok malaikat wanita satu-satunya di antara tujuh malaikat agung. Ia sangat dirindukan oleh seisi benua malaikat karena keramahan dan kebaikan hatinya.
"Altair."
Panggil Jophiel seraya memandang Pendeta Agung tersebut. Pria tua yang sudah beruban itu menundukan kepala dan memejamkan mata mendengar sapaan dari Jophiel.
Ia tidak pernah bertemu malaikat agung seumur hidupnya dan Altair merasa tersanjung Jophiel memanggil namanya langsung. Jophiel berterima kasih kepada Pendeta Agung tersebut, berkat usahanya ia bisa kembali ke dunia ini setelah ratusan tahun terbuang di dunia lain.
"Aku akan memberimu hadiah sebagai usahamu karena sudah membantuku," ucap Jophiel.
Malaikat itu mengangkat tangannya ke langit seraya kedua mata yang terpejam. Seketika angin, bumi, api, dan air bersatu di tangan kanan Jophiel. Altair, Sophie, hingga Ponrak bergeming tak berkedip saat melihat pemandangan yang tidak pernah mereka saksikan.
Tongkat emas milik Altair terlepas dari genggaman pria tua itu, melayang terbang masuk ke pusaran kekuatan Jophiel dan menimbulkan bunyi bising mirip benturan antara besi dengan batu.
Cukup lama menyaksikan, akhirnya prosesi tersebut selesai dan Jophiel mengembalikan tongkat tadi kepada pria tua tersebut.
Sekilas tidak ada perubahan besar yang terjadi di tongkat Altair, tetapi ketika ia menyentuhnya, pandangannya terbuka luas, aliran kekuatan mulai mengalir ke sela-sela jari Altair membuat tubuh pria tua itu kembali muda dalam sekejap.
"A-Apa yang terjadi padanya?" tanya Sophie, kaget melihat penampilan ayahnya yang berusia 74 tahun mirip dengan pemuda berusia 25 tahun.
"Kekuatan sihir yang besar merekonstruksi kembali otot-otot yang telah lapuk. Kekuatan besar dariku cukup bagi Altair untuk kembali muda dan hidup cukup lama," balas Jophiel, Sophie dan Ponrak yang mendengar perkataan Jophiel menggelengkan kepala tanda tak mengerti.
"Aku terlalu banyak tinggal di Jakarta." Jophiel bergumam kesal, pemikiran dan bahasanya dipengaruhi dari budaya dan pendidikan yang ia terima.
Jophiel sebenarnya hendak pergi ke dunia malaikat dan membereskan kekacauan yang terjadi. Namun, sepertinya kekuatan yang ia miliki belum benar-benar pulih sehingga ia perlu wadah untuk mengisi sihirnya yang cukup.
Altair terjatuh dengan tetap memegangi tongkat emas miliknya. Ia tersenyum bahagia tatkala melihat keriput di tangan dan wajahnya menghilang begitu mendapatkan kekuatan dari Jophiel.
"Aku kembali muda? Haha! Ini sungguh terjadi," ucap Altair, bahagia.
"Terima kasih atas anugerah berlimpahmu." Altair bangkit dan berlutut seraya mengangkat tongkat sihir yang ia miliki tinggi-tinggi, Jophiel tersenyum melihat sikapnya yang rendah hati.
Dari dalam rumah pengasingan yang hampir ambruk, muncul seorang pria yang sangat berjasa membawanya ke dunia ini. Evan tersadar dan terkejutnya ia melihat keberadaan malaikat agung lainnya yang melayang tinggi di belakang rumah pengasingan Altair.
"Tunggu! Jophiel?" tanya Evan, memastikan.
"Apa tubuhmu baik-baik saja, Evan?" tanya Jophiel, khawatir.
Evan mengangguk pelan sembari memerhatikan tubuhnya dengan seksama, tidak ada yang terluka dan ia masih merasakan hal yang sama seperti sebelumnya. Jophiel begitu lega mendengarnya.
"Evan."
"Ada apa, Jophiel?" tanya Evan, datar.
"Julurkan tangan kananmu," pinta Jophiel.
Pemuda itu langsung melakukan perintah darinya tanpa curiga sama sekali. Jophiel memejamkan mata sambil menyatukan dua telapak tangannya di depan dada malaikat tersebut.
Dengan cepat, Jophiel berubah bentuk menjadi cahaya terang dan melesat dengan kencang mengenai tangan kanan pemuda tersebut, sehingga membuat Evan terjatuh karena kaget.
Evan mengerang kesakitan, tangan kirinya masih memegang pergelangan tangan kanannya, pemuda itu berguling-guling karena rasa sakit tersebut.
"Evan."
"Argh! Ini menyakitkan," ucap Evan memejamkan mata.
"Kau baik-baik saja Evan, ini tidak sama seperti pertama kali," balas Jophiel yang kini berada di tangan kanannya.
Karena mantra Altair membuat Jophiel bebas sesuka hati untuk pergi dan menetap. Namun, ia memilih untuk menetap di tubuh Evan. Di samping karena ia sudah mengenalnya, ia juga jatuh cinta pada pandangan pertam pada Evan ketika dirinya masih berwujud Rika.
"Oh benarkah?" tanya Evan, kaget sembari melihat lambang Jophiel yang kini tersemat di punggung tangan kanan Evan.
"Haha! Kau pemuda yang sangat lucu, Evan," ungkap Altair, Pendeta Agung itu berjalan menghampiri Evan dan merangkul pemuda itu seolah-olah keduanya bersaudara.
Evan masih terdiam ketika pria di sampingnya banyak berbicara tentang Jophiel dan kekuatan yang ia dapatkan. Pemuda itu sesekali melirik ke arah Sophie dan Ponrak, mengangkat alisnya berisyarat tentang siapa sebenarnya pria di samping Evan.
Evan mendorong Altair untuk tidak berdekatan dengannya, "Siapa kau?"
***
Ketika mereka semua tengah beristirahat di halaman rumah pengasingan, Evan melihat sejauh mata memandang, gumpalan asap berwarna abu membumbung tinggi. Pemuda itu memanggil Altair dan meminta pria itu untuk melihat mereka dengan menggunakan kekuatan sihirnya.
"Straight Vision!"
Terlihat brigade prajurit istana yang berjumlah 3000 orang berjalan beriringan dengan mengenakan seragam militer besi dan memegang pedang serta perisai. Mereka pasti datang dikarenakan kehadiran Jophiel di Bukit Apache.
"Ini buruk! Mereka pasti terhasut oleh dua pasukan itu," balas Evan, kaget.
Ketika kedua pria itu tengah memerhatikan pasukan manusia yang datang menghampiri, mereka dikejutkan oleh panggilan dari Sophie dan Ponrak, kedua wanita itu berjaga di sisi yang berbeda.
"Sepertinya tidak hanya manusia yang bersiap dengan pasukannya."
Sophie menunjuk segerombolan iblis bertubuh besar dan mengerikan tengah berjalan menuju bukit ini, Evan berjalan menghampiri Sophie dan melihat bentuk iblis-iblis tersebut, mulai dari yang terbesar seekor ogre, minotaur, cyclops, hingga dwarf dan elf yang tak Evan duga termasuk iblis di dunia ini.
Ponrak menunjuk di sisi seberang, yaitu benua malaikat. Ia melihat ribuan malaikat sudah bersiap dengan sayap putih mereka, memegang senjata yang berbeda-beda dan mengenakan pakaian panjang khas mereka.
"Apa ini dikarenakan kemunculanku yang tiba-tiba?" tanya Jophiel dari balik punggung tangan Evan.
"Tidak. Aku yakin itu sama sekali tidak berpengaruh," balas Evan, mendekatkan tangan kanannya ke mulut pemuda tersebut.
Mereka semua berhenti tepat di lembah bukit, salah seorang petinggi dari masing-masing benua datang bersama ajudan mereka. Manusia diwakilkan oleh Pangeran Mahkota Leon dan Putri Selena, iblis diwakilkan oleh Komandan Pasukan Utama Iblis, Azazel, sedangkan malaikat dipimpin langsung oleh Malaikat Gabriel.
Mereka semua bertemu di wilayah mereka semua, berbicara satu sama lain tanpa melanggar batas wilayah. Azazel bertemu dengan Gabriel, ia menyapa malaikat tersebut dengan begitu hangat seraya tersenyum menyeringai.
"Gabriel, senang bertemu denganmu. Apa kau masih mengingatku?" tanya Azazel, salah satu jajaran iblis paling tinggi di kerajan Iblis.
"Azazel! Melihatmu saja sudah membuatku muak," balas Gabriel, hina.
Gabriel melirik ke arah Leon dan Selena. Ia tak lagi bertemu dengan Alexandre karena waktu berjalan begitu cepat di dunia manusia. Ia terkesan, orang yang melanjutkan perjuangan manusia adalah seseorang yang memiliki tekad yang tinggi.
"Bagaimana kabar Alexandre?" tanya Gabriel ramah.
"Dia baik, bagaimana kau bisa tahu tentang ayahku?" tanya Leon, kaget.
"Haha!"
"Aku sudah mengenal ayahmu sejak peperangan pertama sebelum pemimpin agung terbentuk," ungkap Gabriel, tertawa lantang mendengar kepolosan Leon.
Gabriel melirik ke arah Evan, melalui mata Tuhan yang ia miliki, ia melihat kekuatan tak asing dari tubuh pemuda tersebut.
"Kau! Siapa namamu?" tanya Gabriel, menunjuk Evan dengan tegas.
"Namaku Evan," balas Evan, datar.
"Bagaimana kau memiliki hubungan dengan Jophiel?" tanya Gabriel, tanpa basa-basi.
"Bagaimana kau mengetahui hal itu?"
"Tidak ada sesuatu yang tak kuketahui di dunia ini."
Gabriel memejamkan kedua matanya seraya memegang gulungan kertas yang selalu ia genggam. Tiba-tiba waktu mulai terhenti ketika gulungan yang Gabriel pegang terbuka.
Semua waktu di dunia ini terhenti, hanya Gabriel yang bisa bergerak leluasa di ruang waktu tersebut. Ia mulai mengecilkan tubuhnya dan berjalan menghampiri Evan yang terdiam membeku karena waktu yang berhenti.
Gabriel menyentuh pundak Evan dan membebaskan pemuda itu dari kekangan waktu. Gabriel berubah bentuk menjadi seorang pemuda yang terlihat seumuran dengan Evan. Keduanya mengobrol dengan hangat satu sama lain.
"Jophiel, keluarlah," ucap Gabriel.
Jophiel keluar dari tubuh Evan dengan berubah bentuk menjadi cahaya yang bersinar terang. Ia berdiri dengan tinggi, berbeda dengan Gabriel yang berubah bentuk seperti layaknya manusia.
"Kekuatanmu masih belum terkumpul?" tanya Gabriel.
"Iya, perlu waktu untuk mengumpulkannya."
Gabriel menunjukan telapak tangannya ke arah Jophiel, ia memberikan sedikit kekuatannya kepada Jophiel agar wanita itu bisa mengecil dengan mudah.
Benar saja, Jophiel bisa mengecilkan tubuhnya, kini ketiganya memiliki tinggi badan yang serupa.
"Aku senang kau bisa kembali ke dunia ini, Jophiel," ucap Gabriel.
"Terima kasih. Aku akan berjuang untuk menciptakan kedamaian di dunia ini," balas Jophiel.
"Bersamanya?" tunjuk Gabriel kepada Evan.
Jophiel melirik pelan ke arah Evan dan tersenyum lebar ketika keduanya beradu pandang, "Iya, bersamanya."
Ketiga pemimpin pasukan bertemu, hal ini diakibatkan oleh pergerakan musuh yang jelas. Apa yang akan Evan lakukan di kondisi tersebut?
Simak terus kelanjutannya, yah. Jangan lupa vote dan comment. Selamat membaca