webnovel

3. Hidup Berdua dengannya

Yeona tidak meminta hidup di keluarga Han, tetapi keluarga Han memungutnya.

Setelah Kang Deokman, ibu kandung Yeona tiada, ayah meminta Yeona hidup di sangkar emas. Sekarang ayah mengancam akan menendang Yeona keluar dari rumah? Lucu.

"Gugurkan kandunganmu. Nanti aku carikan suami yang baik untukmu," saran Ayah, lalu menunggu beberapa menit, hingga dia menghela nafas sambil mengepal tangan di atas meja.

Yeona terdiam lantaran tidak percaya dengan perkataan ayah. Menggugurkan kandungan? Apa dosa calon anaknya? Calon bayi tidak bisa memilih perut mana yang bakal ditinggali juga tidak bisa meminta orang tua seperti apa yang akan menjadi orang tuanya kelak, bagaimana bisa Yeona mengakhiri masa depan janin tidak berdosa?

Yeona bukan manusia egois yang menggugurkan kandungan kala tidak menginginkannya. "Aku memilih pilihan terakhir."

"Apa? Kau–" Ayah meremas dada, penyakit jantungnya kumat.

Yeona turut khawatir akan kondisi ayah, tapi dia enggan menolong kali ini. Dia memutuskan pergi dari rumah.

Untuk apa hidup dalam sangkar emas jika harus kehilangan kebahagiaan? Lebih baik terbang bebas bahagia di luar sana.

Sebelum keluar dari ruangan, dia membungkuk memberi hormat untuk terakhir kali pada ayah dan ibu. Mulai hari ini tiada ayah atau ibu, tetapi Tuan dan Nyonya Han.

"Yeona, jangan." Nyonya Han membantu ayah menuang air ke gelas. "Ayahmu sedang marah. Dia tidak bersungguh - sungguh. Sekarang masuk ke kamar, renungkan kesalahanmu."

"Tuan Han mungkin tidak bersungguh - sungguh, tapi aku serius." Yeona bangkit menuju kamar tanpa menoleh ke belakang. Tekatnya sudah bulat.

"Dasar anak tidak tahu diuntung!" Suara Tuan Han meninggi dan diakhiri oleh batuk serak

Yeona tidak peduli, toh ada Nyonya Han di sebelahnya. Nyonya bisa membantu Tuan.

Beberapa waktu kemudian Yeona selesai meringkasi barang bawaan, lalu turun membawa tas ransel berisi pakaian, juga cas handphone. Tidak lupa uang tabungan. Hanya itu barangnya di rumah mewah ini.

Di depan pintu rumah, Nyonya Han menghadang langkah anak tirinya. "Jangan Nak. Dunia di luar sana sangat kejam. Bagaimana kamu akan menghadapi dunia sendiri?"

Yeona tersenyum ramah. "Dunia luas. Pasti ada tempat untukku."

"Nak, aku mohon jangan pergi." Nyonya Han merangkul Yeona sambil menangis. "Aku berjanji pada mendiang ibumu untuk menjagamu. Bagaimana bisa aku menghadapnya kelak di akhirat?"

"Nyonya Han sudah menjagaku, tapi aku yang memutuskan pergi. Jadi, bukan salahmu." Yeona menyudahi pelukan beliau, lalu memakai tas ransel dan sweater tebal, dia keluar dari gerbang rumah.

"Nak, tunggu." Nyonya Han masuk ke rumah, tidak lama kemudian dia keluar membawa bento. "Buat bekalmu. Ingat, pintu rumah ini selalu terbuka untukmu. Setelah emosi ayah reda, nanti ibu hubungi."

Yeona menerima pemberian Nyonya Han, lalu membungkuk kecil. "Jaga kesehatanmu, Nyonya Han." Dia berpaling pergi meninggalkan rumah.

Yeona mengelus perut sambil menahan tangis, seakan bicara dengan janinnya. "Kamu yang kuat, ya/Nak."

Semoga pilihan mengakhiri hubungan dengan keluarga Han tepat. Dunia luas, pasti ada tempat untuk Yeona berteduh dan menyambung hidup.

Langkahnya terhenti dan dia mengangkat kepala, mendapati pohon gundul di seberang jalan. Pohon itu seperti keceriaan Yeona. Pasti daun hijau akan kembali bersemi, begitu pula keceriaan Yeona.

*

Kebaikan Yeona ketika berkuliah membuatnya dipandang sebagai Yeona, bukan wanita borjuis keluarga Han.

Walau dia putus kuliah setelah keluar dari rumah, tetapi banyak teman - teman membantunya. Mereka menawarkan tempat tinggal juga memberi info lowongan pekerjaan.

Yeona tinggal di toko roti dekat stasiun bersama keluarga sederhana, terdiri dari ayah, ibu, dan seorang gadis seumuran Yeona bernama Nara.

Di sana Yeona membantu dengan bekerja di toko roti. Dia tinggal bersama mereka hingga bayinya lahir dan tetap tinggal di sana, bekerja membantu mereka sebagai balas budi Yeona kepada keluarga itu.

"Yeona, tolong buatkan adonan roti daging, ya," ujar Nara, sembari menuang roti ke wadah roti.

"Siap!" Cekatan kepal tangan Yeona menumbuk adonan roti hingga mengembang. Setelah tugasnya selesai, dia gesit membanyu di garis depan, memasukkan roti ke wadah roti.

"Wah, kamu semangat sekali bekerja!" tegur Nara, berdecak kagum mengamati kinerja Yeona sambil mengusap telapak tangannya ke pakaian yang menutupi tubuh gempalnya.

"Iya dong, demi Yui." Yeona tersenyum ramah pada temannya.

"Aku suka etos kerja kerasmu, Nak." Nyonya Kue memuji. Wanita kurus itu adalah ibu Nara dan dulu juga seperti Yeona, ditinggal suami minggat. Dia membesarkan Nara seorang diri hingga bertemu suaminya yang sekarang dan menikah lagi.

"Aku pulang!" Paman membawa banyak kotak kosong masuk ke dapur. Dia sedikit kesulitan ketika badan besarnya mencoba menyusup ke bagian belakang toko kue. Dia menaruh kotak - kotak kosong ke wastafel. "Yeona, nanti setelah selesai bekerja di dapur, tolong cuci semua ini, ya."

"Siap Paman!"

Tiba - tiba suara tangis bayi di lantai dua menyusup ke telinga mereka, memberitahu jika bayi lapar.

"Nah, Yui menangis! Sudah waktunya minum susu," ujar Nara.

Yeona berpamitan kepada mereka, lalu buru - buru naik ke lantai dua guna memberi Yui ASI. Nara mengikutinya masuk ke kamar sederhana, tempat Nara, Yui, dan Yeona tidur.

Yeona menggendong Yui dari kasur tidurnya, membawanya duduk di tatami. Yui begitu imut, murah senyum, dan pipina tembem seperti mochi.

Seperti biasa Nara suka menoel pipi imut itu. "Aku ingin punya bayi juga, Yeona."

"Segera cari suami. Jangan sampai punya bayi sebelum menikah, nanti sepertiku."

"Iya, ibuku juga mengatakan seperti itu." Nara menyalakan TV dan muncul berita tentang keberhasilan Tuan Han.

Pengacara senior memenangkan sengketa jabatan menteri menjadi headline news dan karirnya melesat tajam. Sekarang dia mencoba untuk mencalonkan diri menjadi gubernur.

"Mau menjadi gubernur? Mengurus rumah tangga saja tidak becus, bagaimana mengurus daerah?" gumam Yeona.

"Beritanya jelek." Nara sekaan tahu perasaan Yeona, mengganti channel. "Mending menonton film kartun, ya kan Yeona?"

Tiba - tiba handphone Yeona bergetar. Nomor misterius menghias layar handphone. Yeona menyerahkan Yui ke Nara lalu pergi ke keluar kamar guna menjawab telepon.

"Yeona, ini aku Sujun."

Suara lembut yang dia kenal, sontak membuat dia geram.

"Dari mana kau tahu nomorku?"

"Maaf, aku bertanya pada teman - temanmu. Bagaimana keadaanmu?"

Setelah nyaris satu tahun, baru Sujun menghubungi Yeona? Bedebah!

"Apa maumu?" Dingin suara Yeona menjawab Sujun.

"Menepati janji merawat bayimu. Yuk, ketemuan."

"Tidak perlu. Aku dan Yui baik-baik saja."

"Yui? Nama anakmu? Ya Tuhan, terdengar manis. Aku ingin menemuinya. Boleh?"

Sujun membuat memori lama kembali menyeruak dengan suara yang dulu membangunkan Yeona ketika tertidur di perpustakaan. Suara penghibur kala putus asa, suara itu juga membuat hati Yeona luluh sekarang.

Yeona memejam, tersenyum kecil, dan senyumnya terus melebar. Dia berusaha menenangkan diri dari cinta yang semakin hangat. Sepertinya dia masih mencintai Sujun.

"Yeona, boleh ya?" pinta Sujun.

"Izin dulu dengan tunanganmu. Baru kita bertemu."

"Bagus! Kamu di mana? Biar aku jemput."

"Aku sedang bekerja, nanti saja."

"Bagaimana keadaanmu selama ini?"

Yeona terdiam. Hidupnya serba pas pasan. Andai tidak ada Yui, mungkin dia telah lama menyerah. Sekarang usahanya untuk bertahan membuahkan hasil. Ada peluang untuk kembali dengan Sujun.

"Apa kamu belum menemukan ayah yang tepat untuk bayimu?" lanjut Sujun.

Yeona terdiam sejenak, lalu menjawab dengan pertanyaan. "Kamu mau menjadi ayahnya Yui?"

"Maksudmu?"

Yeona menghapus air mata kebahagiaan Dia tidak boleh merusak kesempatan emas untuk mendapat Sujun kembali dengan terburu-buru minta balikan.

Yeona menjawab, "Jangan salah paham, maksudku menjadi ayah asuh Yui."

"Oh, tenang saja. Yui akan kuanggap seperti anakku sendiri."

Mereka mengobrol lama, lalu Sujun berusaha membuat janji bertemu dengannya di kafe langganan mereka, tempat mereka sering bertemu dulu.

"Aku ingin bertemu sekarang. Bagaimana kalau aku jemput?" kwjar Sujun.

"Baiklah, kita bertemu nanti sore di kafe tempat kita dulu sering bertemu, bagaimana?"

"Baiklah, kalau bisa bawa anakmu, aku ingin bertemu."

Perbincangan mereka berakhir setelah satu jam lamanya.

Setelah itu Yeona kembali membantu di toko hingga sore pun tiba. Yeona membawa Yui untuk menemui ayahnya. Dia berdiri di trotoar sambil menghubungi Sujun, tapi tidak diangkat. Sepertinya Sujun sibuk.

Selang beberapa menit, masuk pesan dari Sujun.

[Tunggu, sabar, aku meluncur ke sana.]

Payah, Sujun yang membuat janji, dia juga yang terlambat. Dasar orang sibuk. Tetapi tidak apa, semua demi berjumpa dengan Sujun.

Tidak lama kemudian, sebuah mobil berhenti di seberang jalan. Pengemudinya entah siapa, tapi dia melambai kepada Yeona. Mungkin itu Sujun?

Yeona pun patuh menyeberang menemuinya.

Tiba-tiba mobil sedan hitam melaju kencang dari arah samping, membuat beberapa pejalan kaki kabur menepi. Mobil itu nyaris naik ke trotoar dan Yeona yang panik, tidak sempat menyingkir.

****