Yeona menaruh tas ransel hitam dan tas sachel ke bagasi indoor kereta api tua. Begitu trendy penampilannya. Kaos oblong berlapis tangtop, celana jeans panjang, sepatu kets, begitulah Yeona yang sesungguhnya ketika menjadi diri sendiri.
Baru juga hendak duduk, nenek menghampiri dari samping. Ramah dia menegur Yeona. "Nak, boleh tukar tempat duduk?" Nenek memberi Yeona karcis miliknya.
"Ada apa dengan kursi nenek?"
"Kursinya menghadap ke belakang. Nenek tidak kuat. Lagi pula suami nenek duduk di sini."
Di sebelah Yeona, kakek tersenyum ramah sambil mengangguk. Sama seperti nenek, pakaiannya sederhana, rambutnya penuh uban nyaris tidak ada yang hitam.
Yeona tersenyum ramah kepada mereka. Benar - benar pasangan awet. Dia tidak ingin menjadi pemisah nenek dan kakek. Yeona memeriksa bagasi nenek, penuh barang penumpang lain.
"Baik, Nek. Nenek tukar duduk ya, tapi aku nitip tas di bagasi atas, ya Nek."
"Terima kasih gadis cantik. Semoga kebaikanmu dibalas oleh Tuhan."
Yeona tersenyum lembut pada sepasang suami-istri tua itu. Mereka begitu bahagia duduk berdua seperti sepasang kekasih muda. Nenek tertawa bersandar lengan Kakek.
"Bertukar tempat duduk?" tanya pria gagah berambut cepak di depan tempat duduk baru Yeona.
"Hanya membantu Nenek yang ingin berduaan dengan Kakek."
Pria macho berwajah dingin dengan rahang kokoh tertawa ringan. Tawa manis menurut Yeona. Dia mengenakan kemeja lengan panjang motif kotak - kotak, tidak dikancing dan bagian lengannya dilipat. Kaos oblong putih menampakkan bentuk bantalan dada bidang yang sepertinya empuk. Mungkin dia tentara?
Yeona duduk berhadapan dengannya dan memilih mengamati pemandangan di luar ketika kereta api mulai meluncur pada jalurnya.
Gedung - gedung tinggi dan kepadatan jalanan Seoul berangsur berganti menjadi hutan rindang dan lahan pertanian. Mereka masuk kawasan perbukitan.
Semua keindahan alam memancing memori lama Yeona menyeruak ke permukaan. Dia teringat masa - masa indah di desa ….
[Suara kring kring bel sepeda kayuh menyapa telinga Yeona. Dia berada di jok keras sepeda kayuh membonceng So Sujun.
Jalanan berbatu membuat sepeda kayuh berdisko. Dengan satu tangan Yeona memeluk Sujun.
"Cepat sedikit!" Ara melambai dari depan. Dia dibonceng pria gagah bernama Daegu.
Seperti terpancing, Sujun mengkayuh lebih cepat sepedanya.
"Pelan - pelan saja, nanti jatuh." Yeona menyarankan, khawatir dengan sepeda ringkihnya.
Tetapi Sujun memacu kencabg sepeda kayuh di pematang sawah. "Dari pada terlambat nonton film, kan?"
Benar saja, sepeda mereka tersandung batu, oleng, dan mereka jatuh.
"Ouh kakiku." Yeona cemberut ketika kakinya lecet di bagian dengkul. "Lihat, kamu ngebut, sekarang jadi begini."
Sujun panik melihat stang sepeta patah, tapi dia lebih panik mendapati dengkul Yeona lecet. "Maaf, kamu bisa berdiri?"
"Bisa sih, cuma perih sekali."
Sujun mengambil dedaunan kering di sekitar pematang sawah, lalu menumbuknya. Hasil tunbukan basah dan dingin diolesi ke luka Yeona.
Yeona malu mengamati wajah tampan Sujun sambil meringis. Wajah tampan begitu serius dan perhatian mengolesi lukanya.
"Kata ibumu, obat ini manjur. Perih?"
Yeona mengangguk, menyingkirkan beberapa helai rambut halus Sujun di wajah yang terkena sinar matahari sore, begitu enak dilihat.
"Terima kasih, Sujun."
Sujun mengangguk pelan, membantu Yeona berdiri.]
Kenangan indah memebuat Yeona susah melupakan Sujun. Kebaikan, ketulusan, kelembutan, juga ketampanan si cinta pertama selalu membuat hangat dada.
Dahulu ketika pindah dari rumah lama di desa menuju kediaman keluarga Han, Sujun menemani Yeona naik kereta. Dia duduk di hadapannya memberi semangat.
"Hidup di sana tidak lah seburuk yang kamu kira. Ayolah, dia ayah kandungmu, kan? Han So Jong pengacara hebat! Dia terkenal sangat sayang pada keluarga. Lagi pula ada aku. Aku, cintamu, akan menjagamu selamanya."
Waktu berlalu begitu cepat. Dahulu kalimat cinta merupakan madu, sekarang berubah menjadi racun. Cinta memang payah.
Tiba - tiba kereta mengerem mendadak. Semua orang berteriak histeris. Yeona terdorong ke depan. Wajahnya mendarat tepat ke dada bidang pria cepak.
"Nona, kamu tidak apa - apa?"
"Tidak, maaf." Yeona berusaha duduk kembali, tapi tas di bagasi atasnya terjatuh lantaran goyangan kereta api.
Sigap pemuda tampan di depan menangkap tas dengan satu tangannya. Otot bicep terbentuk sempurna dihiasi urat - urat kecil meliuk bentuk petir. Sepertinya tas itu berat sekali.
"Terima kasih Tuan, sudah mau menolong."
"Bukan masalah." Dia menaruh tas ke kursi miliknya. "Rel di sekitar kota Boseong memang rel tua. Jadi kadang kereta mengalami guncangan."
Pemuda itu memberi sapu tangan pada Yeona. "Hapus air matamu, Nona." Suara pria begitu dalam, cocok dengan raut wajah tegasnya.
Pemuda itu pergi menenteng tas besar yang tadi nyaris menimpa Yeona.
Membersihkan pipi dari genangan air mata, Yeona merenung memandang saputangan putih bermotif singa. Dia mencium aroma parfum hutan pinus semerbak dari saputangan. Seketika sekelibat bayang menghantuinya. Bayang masa lalu, sebuah kejadian awal dari semua tragedi yang merubah segalanya. Aroma danau Ilsang, dlketika dia bercinta ....
[Stasiun Boseong. Pemberhentian selanjutnya Stasiun Boseong.]
Yeona tersadar dari lamunan. Perjalanan lima jam berlalu begitu saja. Dia bergegas hendak mengambil tas ransel dan sachel miliknya di atas kursi nenek dan kakek, tetapi hanya mendapati tas ransel.
Yeona hendak bertanya pada nenek dan kakek, tetapi mereka telah pergi.
[Pemberhentian selanjutnya stasiun Boseong. Kepada penumpang diharap mengecek barang bawaan.]
Yeona panik mencari tas sachel ke sekeliling, bahkan ke kolong kursi, tapi tas hilang. Uang dan giok pemberian nenek berada di tas itu!
"Mati aku, kalau tidak ada giok, bagaimana masuk Balai Pelatihan?"
Kondektur menghampirinya sambil mengangkat topi. "Selamat siang Nona, ada yang bisa saya bantu?"
"Tas saya hilang, Tuan. Tolong, tolong saya!" Panik Yeona menggoyang badan kondektur hibgga penumpang lain menoleh heran.
"Tenang, kita bisa ke kantor polisi di stasiun Boseong."
Yeona memeriksa jam tangan. Waktu sebelum tes dimulai kurang dari dua jam. Jika dia ke kantor polisi untuk membuat laporan kehilangan, apa bisa datang tepat waktu?
Mungkin Kakek dan Nenek yang mengambil? Ah tidak, mereka tidak mungkin mengambil tas. Dari wajah mereka, mereka bukan orang jahat.
Kereta berhenti di stasiun. Para penumpang teratur keluar gerbong. Beberapa penumpang lain masuk melalui pintu berbeda. Kondektur menyuruh petugas stasiun membantu Yeona menuju pos polisi.
Keramaian di stasiun membuat komunikasi mati. Baik Yeona dan petugas stasiun tidak bisa saling mendengar. Barulah ketika sampai ke kantor polisi, petugas stasiun membantu Yeona menjelaskan duduk perkara pada polisi yang bertugas.
Petugas stasiun tidak bisa berlama - lama menemani, karena harus kembali bekerja. Jadilah Yeona duduk sendiri berhadapan dengan polisi membuat laporan.
"Nona, bisa jelaskan kronologi kehilangan tasmu?" tanya polisi.
"Pak, bisa lebih cepat? Saya ada kepentingan lain–maksud saya, bisa langsung saja tulis tas saya hilang?"
Polisi mendesah panjang sambil mengetik sesuatu. "Apa saja isi tas Anda?"
"Uang, giok hijau, lipstik, bedak, sabun, sikat gigi, kartu pengenal, dan lain-lain. Ada foto ibuku di sana." Itu yang paling berharga.
Setelah satu jam membuat laporan, akhirnya dia dipersilahkan pergi. Yeona panik berlari keluar kantor polisi stasiun, naik taksi. Dia menuju lokasi tes.
Sekali lagi Yeona memeriksa jam tangan. Apa bisa tiba di lokasi tes tepat waktu?
****