webnovel

12. Kepompong Ulat Bulu

Angin sepoi hangat menerpa wajah Yeona, mengajak rambut hitam lembutnya berdansa. Dia duduk di bangku panjang bersama nenek Gao.

"Tidak semua laki - laki berdosa padamu. Mungkin kelak kamu bertemu lelaki baik."

Yeona tersenyum kecil palsu. Hatinya hancur, tapi tidak ingin nenek ikut sedih. Baginya derita bukan untuk dibagi ke orang lain.

Walau baru mengenal nenek beberapa minggu, Yeona menganggap nenek spesial. Dia pemberi semangat, juga mencegahnya bunuh diri.

"Untuk move on kamu harus punya target."

"Move on, maksud Nenek bagaimana?"

"Gapai mimpimu." Nenek meremas keras paha Yeona. "Kamu ingin menjadi artis, kan? Lakukan lah. Jangan menoleh ke belakang. Jadilah wanita kuat."

"Seperti Nenek?"

Nenek mengangguk. "Ya, sepertiku. Wajah dan suara bagusmu adalah modal awal untuk sukses."

Yeona tertunduk malu lantaran puiian tadi. "Nenek jangan membuat kepalaku membesar."

"Pujian itu berasal dari lubuk hatiku paling dalam. Kamu seperti berlian belum diasah."

Yeona tersenyum kecut. "Bagaimana bisa aib menjadi berlian?"

"Aib?" Nenek tertawa serak. "Hanya orang bodoh yang bilang kamu aib. Jadilah artis, tunjukkan pada mereka siapa Yeona sebenarnya."

Yeona tertawa kecil. "Nek, aku tidak bisa berakting. Aku hanya gadis biasa."

"Aigo, kamu masih muda. Majulah, kepakkan sayapmu. Pergi ke Balai Pelatihan Changuk Boseong. Mereka akan mengajarimu semua yang kamu butuhkan."

"Balai Pelatihan? Untuk apa, Nek?" Yeona tidak mengerti, tapi dia tertarik dengan kalimat balai pelatihan.

"Berlatih opera. Jangan takut, jika kamu membawa giokku, kamu akan lolos dengan mudah ke Balai Pelatihan Changuk Boseong."

"Lolos?" Yeona bingung. Semua ini terlalu cepat untuknya, tapi nenek begitu semangat dan semangatnya menular ke Yeona.

Nenek berkata, "Akan diadaan tes penerimaan murid baru. Selama berada di sana kamu akan dilatih oleh keluarga Gao. Setelah lulus kamu bisa memilih mau menjadi pemain opera atau menjadi artis dunia hiburan perfilman."

Yeona terdiam sambil memandang angkasa. Nenek benar. Untuk move on dia harus punya tujuan baru. Menjadi artis adalah mimpinya dari kecil. Sekarang terbuka jalan untuk itu, jalan yang dulu dia buang demi membahagiakan ayah. Jalan yang nyaris dia lupakan ketika berkuliah di kampus kedokteran.

"Masuklah ke kepompong," ujar Nenek. "Setelah keluar dari sana, kamu akan punya sayap indah, bukan lagi ulat bulu jelek. Dunia akan mengenalmu sebagai Kang Yeona, Artis dari Korea Selatan, pentolan Balai Pelatihan Changuk Boseong."

Cahaya matahari sore menerpa wajah kusut Yeona. Dia memejam, tersenyum, meresapi semua rasa hangat keemasan.

Yeona ingin menjadi artis terkenal, namanya terpahat di Walk of Fame Hollywood Boulevard dan Vine Street. Dia ingin semua warga dunia mengenalnya sebagai artis nomor satu asal Korea Selatan.

Ini jalan baru Yeona, jalan yang akan dia tekuni. Mungkin tawaran nenek adalah takdir?

"Siapa tahu di sana kamu menemukan 'cinta' yang lebih pantas." Nenek menggoda dengan tawa ringkih penyihirnya.

Yeona mengangguk pelan. "Terima kasih, Nek. Aku akan bicara dengan Ara."

"Jangan, jangan bicarakan ini dengan dokter judes itu."

"Huh? Kenapa Nek? Ara keluarga terakhirku. Nanti dia marah kalau tidak diberitahu."

"Biar, biar dia marah. Dengar, Ara memang dokter baik, keluargamu, tapi dia gampang dipursuasi. Kalau Sujun mendesaknya, aku yakin Ara bakal buka mulut dan lelaki sialan itu akan mengganggumu lagi. Ingat, tujuanmu selain belajar adalah move on, self healing."

Yeona mengangguk kecil. Jiwanya perlu liburan. Dia harus merubah diri demi masa depan. Sujun masa lalu, masa depan masih rahasia Tuhan.

"Mana handphonemu, biar aku pegang. Sini sini, mana sini." Nenek memajaki Yeona.

"Loh, Nek, tapi nanti kalau Ara menelpon bagaimana?" Yeona enggan memberi handphonenya.

"Tenang, nanti aku beri dia penjelasan. Kamu fokus latihan di Balai Pelatihan, ya."

Yeona patuh pada nenek. Dia seperti disihir oleh nenek. Walaupun dia punya rasa tidak enak dan khawatir akan dijual nenek ke mucikari, tapi dia menaruh harapan pada wanita tua di sampingnya. Dia rela bertaruh untuk percaya pada si tua.

Perjalanan baru Yeona menuju dunia Showbiz baru dimulai.

Melihat reaksi Yeona, nenek menyeringai kecil. Wajahnya semakin gelap. Dia berhasil dalam rencana tahap pertama. Entah apa isi agendanya.

*

Keesokan hari, Nyonya Han turun dari sedan hitam, melangkah masuk ke rumah sakit. Syal tebal, kaca mata hitam, fedora putih, kemeja lengan panjang, nyaris tidak ada yang mengenali siapa dirinya. Bahkan dua sekuriti rumah sakit mengawasinya karena takut jika dia adalah teroris.

"Kalian bergerak jika aku beri isyarat," ucap Nyonya ketika melangkah menuju lift bersama dua pria gagah bersetelan jas hitam. "Pastikan senjata kalian tersimpan dengan baik. Jika tidak kuberi kode, kalian bisa langsung pergi."

"Baik Nyonya Han." Dua pria berjas berpencar meninggalkan Nyonya di depan pintu lift.

"Aku harap tidak perlu melakukan ini. Aku harap dia menuruti nasihatku."

Ara mengenali Nyonya. Beberapa kali dia melihat nyonya Han dalam acara Masak Bersama Han Ji Er. Selain itu dia juga mendengar obrolannya dengan dua pria berjas yang memanggilnya dengan Nyonya Han.

Ketika pintu lift terbuka, Ara menerobos masuk lalu langsung memencet tombol pintu supaya pintu menutup. Sekarang dia berhadapan dengan Nyonya Han, berdua dalam lift.

"Dokter, mau apa kamu?" Nyonya panik karena tidak mengenal Ara.

"Nama saya Kang Ara." Dia sedikit membungkuk, sopan memberi hormat. "Salah satu anak angkat Nyonya Kang Deokman."

Nyonya tersenyum lega, mengangguk kecil membuka kaca mata hitamnya.

"Anda mau membesuk Yeona?"

Nyonya mengangguk. "Ada hal penting yang harus kami diskusikan."

"Anda ibu yang baik."

Nyonya Han menggeleng. "Aku wanita jahat. Wanita perebut suami orang."

Ara tidak menyela ucapan itu. Sejarah memang berkata seperti apa yang nyonya katakan.

"Bagaimana keadaan Yeona?" tanya Nyonya Han.

"Dia baik-baik saja. Apa Anda ingin membawanya pulang?"

Nyonya menggeleng. "Aku ingin merawatnya di sini. Kasihan dia, menerima perlakuan tidak adil."

Ara heran kenapa nyonya bisa sebaik ini. Padahal dia dan Yeona tidak ada hubungan darah sama sekali.

Pintu lift terbuka. Ara dan nyonya melangkah bersama menuju ruang inap president suit. Tiada obrolan, tiada tegur lagi. Keduanya sengaja tidak membahas masalah apapun.

Mereka tiba di tujuan. Mereka mengintip dari jendela dan mendapati kasur kosong, keduanya panik masuk ke sana.

"Yeona?" Ara membuka pintu kamar mandi, memeriksa ruang kosong.

Nyonya memutar gagang pintu balkon, tapi terkunci. Dia hendak membuka jendela balkon, juga terkunci.

Ara membuka lemari pakaian, kosong. Bahkan mencari di bawah kolong tempat tidur juga tidak menemukan Yeona.

Suara tawa wanita tua terdengar dari arah pintu. Nenek Gao berdiri di lorong depan, sedikit tertunduk.

"Kalian mencari Yeona?"

Ara bangkit menghampiri nenek. "Iya, Nenek melihatnya?"

Nenek mengangguk. "Jangan khawatir. Ulat bulu telah masuk kepompong. Ketika dia keluar, dunia akan melihat Yeona yang baru."

"Apa maksudmu?" tanya Nyonya Han, menghampiri Nenek. "Katakan, di mana anakku!"

"Dia baik-baik saja. Jalani hidup kalian seperti biasa. Ketika dia kembali, kalian akan tahu betapa mengerikannya kupu-kupu. Uang lima puluh juta won milik kalian juga sudah dia kembalikan. Dia menutup semua buku tabungannya, jadi tidak perlu repot mengirim lagi."

"Katakan siapa kamu?" tanya Nyonya Han.

"Aku hanya orang tua yang suka melihat drama." Nenek tertawa, melangkah menjauh menebar misteri kemanapun dia pergi. "Suruh orang - orangmu lebih berhati - hati menggunakan pisau. Mereka ceroboh, menjatuhkannya tadi."

Nenek Gao lanjut melangkah, terkekeh ringkih.

****