webnovel

Back To The Marriage

Sandra merasakan pukulan bertubi-tubi saat Bara meletakan map berisi surat perceraian mereka. Tidak disangka secepat ini kenangan manis mereka harus berakhir. Kendati sudah menyiapkan jauh-jauh hari, Sandra masih saja belum rela. Cukup ia akui, jika bersama Bara-lah kebahagiaan itu ia kecap. Apalagi saat mengetahui ada sesosok mungil yang sedang tumbuh dalam rahimnya. Bara tak pernah menyangka, jika perceraian yang ia ajukan adalah awal dari penyesalan terdalamnya. Sandra lepas dari genggamannya. Saat menyadari kehadiran Sandra segalanya, ia malah melakukan hal konyol yang tak termaafkan. Sandra pergi dari hidupnya. Memilih mengakhiri penderitaan selama di sisi Bara. Sandranya telah lari. Tujuh tahun berselang. Dalam satu pesta yang cukup besar telah mempertemukan mereka kembali. Akankah mereka memilih mengikat pernikahan kembali? Atau justru telah bahagia dengan pasangan masing-masing? *** Baca karya yang lain : My Ex Billionaire Please, Back To Marriage With Me Persuit of My Ex-Lover IG : @ayakalibrary

Hayuayaka · 都市
レビュー数が足りません
296 Chs

Belum Terbiasa

"Dua garis?"

Bara memegang kepalanya yang seakan mau pecah. Di luar sana, mentari sudah hangat menyapa. Tak lupa desiran angin menggoyangkan tirai jendela yang terbuka.

"Sudah pagi. Astaga ... kepalaku!"

Kaki yang sudah telanjur menapak di lantai bergoyang. Tangan satunya sibuk mencari pegangan demi keseimbangan tubuhnya. Sementara tangan yang satu memegangi kepala. Seperti takut jika tengkoraknya bergelinding.

"Agh sial sekali!" umpatnya. "Kemana pelayan, kenapa tidak ada yang membangunkanku hah!"

Kekesalan Bara bertambah saat melirik jam di atas nakas. Sudah pukul sembilan pagi. Waktu yang teramat siang untuknya bangun.

Bara kembali melirik nakas. Netranya ditajamkan demi melihat sebuah benda yang terakhir kali dia lihat sebelum tumbang semalam. Tak puas hanya menatap, tangannya kini bergerak.

"Di mana benda itu? Aku yakin dia ada di sini semalam!"

Desahan dan umpatan beradu perlahan. Benda pipih yang ia yakini berada di sana, lenyap entah kemana. Tak mungkin jika dia salah lihat.

"Sudahlah. Aku hanya mabuk semalam."

Bara memilih berdamai. Tak mungkin juga ada benda itu di dalam kamarnya.

Demi mendinginkan hatinya, dia memilih menyeret kaki ke dalam bak mandi. Berendam sepuasnya di dalam sana. Memilih menikmati sisa waktunya berada dalam apartemen ini. Biar bagaimanapun dia sudah berkata jika apartemen ini diberikan untuk Sandra.

Bara tak punya hak lagi di sini. Lagipula bau Sandra masih menancap kuat dalam setiap sudut ruangan. Pria itu tak akan sanggup menghirup wangi mantan istrinya.

Menghabiskan sisa waktu hanya untuk menghidu masa lalu, bukanlah keahlian Bara.

Tak berselang lama, Bara memutuskan keluar dari bak besarnya. Mengeringkan tubuhnya dengan handuk.

"San, bajuku sudah kau siapkan?" tanyanya sedikit berteriak.

"San? Apa kamu masih tidur? Ayolah jika kamu terus bersemayan di selimut, aku akan menghampirimu lagi. Kita akan melakukannya kembali. Apa kamu masih belum cukup?" Bara terkekeh di kalimat terakhirnya. Sudah menjadi kebiasaannya menggoda istrinya.

Akan tetapi, sepi. Itulah yang sebenarnya terjadi. Tak ada sahutan seperti biasa. Sandra yang selalu gesit menyiapkan segala kebutuhannya. Senyumnya yang selalu hadir, kini tak terlihat.

Bara tersadar. Ada rasa kosong dalam rongga dadanya. Sebisa mungkin memegang erat jantungnya yang terus berdetak meneriaki kebodohannya.

"Agh ... Kamu benar-benar pergi San? Kenapa tak menemuiku dahulu sebelum pergi?"

Rambut basahnya dia tarik kuat. Bara merasa hancur. Keahliannya mengikat wanita musnah. Selebar apapun matanya terbuka, Sandra tak akan kembali lagi. Semua tak akan pernah sama.

***

Soni menatap wanita pucat di depannya. Selera makannya sirna saat tahu kenyataan yang baru saja dia dengar. Baru beberapa jam yang lalu dia bersemangat akan adanya harapan itu. Kini, waktu begitu cepat mengikis semuanya.

"Tak enak ya masakkanku?" ucap Sandra yang berhenti memotong daging. Diliriknya Soni yang tampak tak acuh akan pertanyaannya.

Tenggorokan Sandra merasa kering seketika. Ia menyambar air minum di sampingnya. Suara 'glek' terdengar tak ramah beberapa kali.

"Masakkanmu adalah salah satu karya seni terhebat yang pernah kucicipi," sahut Bara.

"Uhuk ...." Sandra menyemburkan air yang ia tenggak.

"Eit bisa pelan-pelan gak? Sopan sekali kamu nih!" ujar Bara. Untung saja dia sempat menghindar dari semburan Sandra.

"Habisnya perkataanmu barusan bagaikan mata pisau. Bisa menusuk dan buat terbelah dada ini. Sembarangan kalau bicara emang," gumam Sandra. Bibirnya mengerucut membuat gemas yang melihat.

"Haha aku sedang tidak membual San. Nyatanya begitu," jawab Soni tak acuh. Bulu matanya berkedip bolak-balik ke arah Sandra. Mencoba menggoda wanita yang masih saja kesal.

"Kalau enak kenapa tak dimakan?"

"Karena ...." Soni menggantung kalimatnya.

"Karena apa?" Sandra penasaran akan kata-kata selanjutnya. "Cepat bilang. Kamu mau kusiram minyak panas ya?"

"Ouw ngeri!" Soni bergidik membayangkan tindakan anarkis Sandra.

"Kamu resek!"

Sandra seketika menelan bulat-bulat daging yang hampir dingin. Memilih mempercepat makannya.

"Pelan-pelan San. Ya ampun!" Soni memperingati. Sayangnya ucapannya hanya angin lalu. Daging-daging tersebut sudah masuk ke mulut Sandra. Pipinya kini mengembang, terlihat lucu.

Soni terkekeh melihat aksi Sandra. Wanita ini benar-benar spesial. Tingkah lakunya unik. Tidak ada duanya.

Memilih mengalah, Soni melanjutkan kembali makannya. Meski perutnya terasa penuh akibat pernyataan Sandra, tapi hatinya meminta dirinya untuk menghargai usaha Sandra.

Selepas makan, keduanya berdiam diri dalam sudut balkon apartemen. Menikmati semilir angin musim semi yang menyapa lembut kulit mereka.

"Suhunya sudah mulai panas. Summer is coming," ujar Soni memecah kesunyian.

Sandra hanya diam. Tak berminat menanggapi pernyataan Soni. Memilih berpikir hal apa yang harus dia lakukan ke depannya.

Telapak tangannya perlahan mengelus perutnya yang masih rata. Ada satu calon nyawa yang sangat butuh perhatiannya. Sandra menggeleng cepat. Dia harus kuat demi dirinya dan buah hatinya.

"San, apa ada hal yang sedang kamu cemaskan?" tanya Soni. Netranya memandang pilu ke arah Sandra yang bergeming sedari tadi.

"Oke. Apa kamu ingin menginap di sini? Ayolah ini sudah malam. Aku ingin istirahat."

Soni terkekeh. "Kamu mengusirku ya?" Bibirnya lantas mengerucut. "Tega sekali," sahutnya kembali sembari memegang dadanya memelas.

"Soni aku baru saja tiba. Butuh istirahat. Kita bisa berjumpa lain waktu."

"Aku hanya khawatir terhadapmu. Apalagi tadi kamu muntah cukup parah. Apa sebaiknya kita ke dokter dulu?"

Begitu lucu hidupnya. Sosok ayah si bayi saja tak mungkin berkata begitu. Apalagi kata dokter. Ada perasaan teriris dalam jantung Sandra. Harusnya memang ia pergi ke dokter untuk membuktikan kehamilannya bukan? Tapi entah apa yang ada di benaknya kini. Mendengar profesi dokter, menjadi begitu menakutkan untuk diri Sandra.

"Itu besok aku akan pergi menemuinya sebelum ke kampus. Tak usah menghawatirkan aku berlebihan Soni." Sandra tersenyum miring.

"Baiklah aku tak berhak memaksa. Jika ada apa-apa hubungi aku saja ya. Kamu masih asing di sini." Soni tersenyum tulus. Kekecewaannya masih tercetak jelas. Tapi dia tak berhak kecewa bukan?

Sandra hanya mengangguk. Ditemaninya Soni hingga depan pintu unitnya.

***

Seketika suasana kembali hening. Apartemen dua kamar itu tampak sepi seperti pertama kali dia huni. Sandra memeluk tubuhnya sendiri. Perlu dia akui, saat ini sosok Bara begitu dia rindukan.

Belum genap dua hari dia tak berjumpa. Rindu itu begitu menghimpit rongga dadanya. Bagaimana nasibnya nanti? Dalam beberapa jam saja dia sudah sekacau ini.

"Bara ... biasanya kamu akan pulang tengah malam saat rapat menumpuk sepanjang hari. Lalu aku akan menyambutmu dengan piyama tipis agar kau tergoda. Lantas kami ... ah!" Sandra menggeleng kepalanya. Dia tak sanggup melanjutkan perkataannya. Amat berat rindunya. Dia belum terbiasa.

Kenangan tiga tahunnya berputar kembali. Rasa itu nyata. Dia begitu mencintai mantan suaminya.

"Bara aku berjanji akan merawat anak kita dengan baik. Meskipun aku tak pernah tahu apa kamu akan bahagia jika tahu akan kehadirannya."

Bulir bening yang menetes, ia tepis. Sandra harus bisa melangkah. Membuang rasanya dan fokus akan study dan kehamilannya. Dengan begitu hidupnya akan jauh lebih baik.

----