2 Tak Sanggup Berdiri Tegak

Toronto, Canada

Semilir angin bertiup perlahan memecahkan gelungan rambut yang tertata rapi. Anak poninya berlari-lari dari dahi mulus Sandra. Sejenak dia termenung sembari merapikan penampilannya.

"Sandra? Benarkah itu kamu? Kita berjumpa kembali?" Suara bariton yang amat dia hafal memecahkan kesunyian.

"Soni?" lirihnya. Dia memangku hatinya untuk tidak berdegup melihat sosok pria yang tampak mempesona sore ini.

"Ah benar kamu datang." Soni tersenyum lebar. Dua lesung pipi di kanan-kiri bibirnya tercetak dalam. Pertanda si empunya sedang berbahagia.

"Kamu mau kemana?" Soni memicingkan mata melihat penampilan Sandra. Dilirik dari pakaian kasual yang dikenakan wanita tadi, Soni bisa menebak Sandra tengah jalan-jalan santai.

Bukannya menjawab, Sandra malah menundukkan wajahnya. Dia mengamati kakinya yang berbalut sepatu rata. Merasakan lelah diarea tungkainya.

"Kamu sudah sewa apartemen atau hotel?" tanya Soni lagi.

Sandra masih mengunci rapat bibirnya. Merasa tak nyaman dengan perkataan Soni.

"Baiklah, kamu mau kemana? Aku bisa antar." Senyum tulus Soni tersinggung dari bibir tebalnya. Mencoba merengkuh Sandra yang tampak kehilangan arah sore ini.

"Bisa bantu antar ke supermarket? Aku sudah tanya pihak penyewa unitku. Hanya saja aku tak cukup pintar mencari jalan." Sandra mengakhiri kalimatnya dengan kekehan ringan. Terasa renyah sekali di telinga Soni.

"Oh baiklah, ayo aku antar. Sekalian ada yang mau aku beli juga."

Mengakhiri senyumnya, Soni melangkah lebih dulu. Semata dilakukannya agar tak terlalu kentara raut senang di wajahnya. Tak bisa dielak lagi, kehadiran Sandra begitu ia nantikan.

"Kamu bisa belanja berbagai kebutuhan di sini."

Soni melangkahkan kakinya di FreshCo Sherbourne and Isabella. Tempat ini cukup mudah di jangkau. Segala barang kebutuhan pokok juga lengkap di sini.

"Terima kasih Soni." Sandra tersenyum kaku.

Soni membalas senyuman manis Sandra. Hatinya menghangat mendapati wanita itu yang kini berjalan sejajar dengan dirinya. Jika tak mengingat siapa Sandra, barang tentu Soni sudah menggenggam erat tangan putih tersebut.

Ruangan luas berisi beranekaragam kebutuhan pokok tersaji di depan mata. Dengan langkah perlahan, Sandra mengambil troli. Gerakannya tak luput dari perhatian pria yang fokus menatapnya. Ada yang aneh dari pergerakan Sandra. Soni hendak menanyakan, namun urung ia lakukan. Tanyanya tadi saja tak terjawab. Anggap saja Sandra masih lelah dengan perjalanannya kemari.

Sandra mengambil beberapa jenis buah-buahan, sayur, dua kilo daging sapi dan ayam. Banyak ikan, susu dan kebutuhan mandi. Tak lupa minuman dingin dan beberapa cemilan. Soni hanya membantu membawakan.

"Kamu bilang ada yang mau dibeli. Sudah ketemu?" tanya Sandra di sela antrian yang mengular. Mereka datang waktu jam kerja kantor berakhir. Jadilah banyak pengunjung orang kantor yang sekalian mampir belanja.

"Sudah, aku hanya ingin beli ini." Soni menunjukan segenggam minuman soda di tangannya.

Sandra mengambil kaleng tersebut dengan lembut, "biar aku yang bayar. Kamu sudah berbaik hati mengantar."

Seperti biasa Soni hanya mengangguk pelan. Tak mau mengecewakan Sandra dengan menolak pemberian kecil darinya.

"Kamu mau ikut ke apartemen? Aku akan memasak sesuatu untuk kita makan malam," tawar Sandra saat mereka sudah berjalan keluar.

Belum menjawab pertanyaan Sandra, Soni memilih menatap lekat wanita cantik di depannya.

Lantas mengangguk. Tak bagus menyia-nyiakan kesempatan bukan?

Sandra terkekeh geli. Paling tidak dia beruntung bisa bertemu Soni. Pria itu bisa menjadi temannya selama di sini. Sebelum benar-benar sibuk dengan dunia perkuliahan yang nanti akan dijalaninya. Apalagi Sandra akan berjuang bersama si buah hati. Kehadiran Soni cukup membantu kali ini.

***

"Jadi kamu harus kembali bulan depan?"

Mereka sudah tiba di apartemen yang Sandra sewa. Kedua tangannya sibuk memanggang daging untuk makan malam mereka. Sementara Soni menyesap kaleng sodanya di kursi bar.

"Iya, kamu keberatan?" tanya Soni ringan. Senyumnya tersungging melihat Sandra yang justru menghentikan gerakan tangannya membalik daging.

"Tidak. Aku hanya bertanya," jawab Sandra sekenanya. Pupus sudah harapan berteman dengan Soni selama di sini. Sekaligus juga menyadarkan Sandra, jika dia bukan siapa-siapa bagi Soni — si anak pengusaha sawit tersebut.

"Apa kamu kecewa?" selidik Soni.

Bukan menjawab, Sandra malah memegang mulutnya dengan ke dua tangannya. Lantas berlari kecil menuju toilet.

Bunyi hoek tak lama terdengar, beriringan dengan suara kran yang mengucur deras.

Hendak mengejar, tapi ia urungkan. Soni memilih melanjutkan memanggang. Tak lucu rasanya jika daging mereka sampai gosong. Daging dirasa sudah cukup matang, kompor dimatikan. Lalu dia menyajikannya di atas piring.

Saat mau melangkah menyusul Sandra yang belum juga kembali, langkah kaki lebih duku mendekat.

Wajah pucat, tatanan rambut yang sudah berantakan cukup mengabarkan jika Sandra sedang tak baik-baik saja.

"San ... kamu sakit? Mari ke dokter." Soni mendadak cemas sekali. Rupa wanita yang begitu ceria tadi seperti mayat hidup sekarang.

"Aku baik-baik saja. Efek penerbangan lama Son." Sandra tersenyum tipis. Lantas mengambil kursi dan duduk di depan Soni.

"Wah kamu melanjutkan memanggang. Thank yo. Maaf ya aku tak bertanggung jawab." Sandra nyengir mengatakannya. Sedikit menyesal akan apa yang terjadi padanya.

"Its oke San. Mari makan. Setelah ini istirahat. Jika besok pagi belum membaik. Aku akan membopongmu ke rumah sakit."

Kelakar Soni hanya ditanggapi senyuman Sandra. Padahal pria itu tidak sama sekali bercanda. Dia serius mengatakannya. Sedari awal memang Soni bisa menebak ada yang tidak beres dari wanita berambut panjang tersebut.

***

Jakarta, Indonesia

Tak terhitung berapa banyak botol minuman yang ia tenggak. Hingga tak sanggup lagi untuk berdiri tegak. Bara begitu kacau. Kancing kemejanya terlepas satu. Dasinya sudah miring ke segala arah.

Di tangannya masih memegang botol Vodka yang sulit terlepas. Beberapa pengawal kesulitan mengambil dari genggaman Bara. Hingga mereka mau tak mau merebut paksa darinya.

"San ... Sandra."

Sedari tadi, Bara terus menggumamkan nama istrinya. Wanita yang baru saja dia ceraikan. Kepergiannya benar-benar membawa akal sehat Bara.

"Aku mau kita menikah dengan rasa cinta. Kenapa malah pergi heh!" umpatnya lagi.

Pengawal yang membantunya hanya geleng-geleng kepala. Sampai di kamarnya. Semerbak harum Sandra masih mendominasi.

Wangi vanila yang begitu kental membuat Bara tak berkutik. Setetes air berhasil lolos dari pelupuk matanya. Bara menyesal kehilangan Sandra.

"Tuan mari saya bantu."

Uluran tangan pengawal disentak kasar oleh Bara. Dia membuka kancing kemejanya dengan kasar. Hingga terlepas dari sana. Terhuyung-hunyung dia mendekat ke arah ranjang.

"Pergi kalian. Dasar manusia tak berguna!" kesal Bara pada pengawalnya.

Mereka hanya mematung. Tapi pelototan Bara berhasil membubarkan semuanya.

"Jika ada apa-apa bisa panggil saya Tuan," ucap salah satu pengawal bernama Kris.

Bara tak menyahut, dia terus mendekati ujung ranjangnya.

Saat hendak naik ke ranjang, ekor matanya menangkap sesuatu. Benda pipih berwana biru-putih berhasil menarik perhatiannya.

"Ini garis dua?" Bara bergumam pelan.

Alkohol telah berhasil memegang kendali di otaknya. Belum ketemu apa nama benda ini dan juga kenapa ada di sini, Bara sudah lebih dulu ambruk. Lagi-lagi minuman berhasil merenggut kesadarannya.

---

avataravatar
Next chapter