Di tempat lain.
Abare yang sedang meronta tak dapat mengeluarkan suara yang sekeras biasanya. Mulutnya dilakban dan matanya ditutup dengan kain hitam. Abare hanya bisa mengerang dan meronta di kursi tempat ia terikat sekarang.
Abare diculik, dan sekarang ia disekap di sebuah tempat yang Abare tak tahu itu tempat apa.
Lakban yang membungkam mulut Abare dibuka paksa. Membuat Abare merasa perih pada bagian wajahnya yang dilakban tersebut.
"Kau!" seru Abare dengan wajah kesal. Rahangnya mengeras dan matanya menatap tajam orang yang ada di hadapannya itu.
"Jangan memanggil ibumu sendiri dengan sebutan seperti itu!" bentak seorang wanita yang bersurai blonde terang juga seperti Abare.
"Untuk apa kau menculik aku hah?! kau kira lucu menculik anakmu sendiri seperti itu?" tanya Abare.
"Itu karena kau yang sangat sulit diatur!" balas ibunya Abare dengan sengit. "Aku dan ayahmu mencari dirimu sampai seharian! kau sengaja kan kabur dari sekolah diam-diam agar kau bisa menghindar dari permasalahan itu?!"
"Ibu macam apa yang suka mencurigai anaknya hah?!" balas Abare tak kalah sengit. Dilihat dari cara bicaranya yang seperti itu, nampaknya interaksi kasar mereka berdua itu sudah sering terjadi atau menjadi kebiasaan bagi mereka berdua.
"Kalian berdua tolong tenang," ucap seorang pria paruh baya menginterupsi percakapan kedua orang bersurai blonde tersebut.
"Diam! aku harus mengajari anak ini cara sopan santun ketika berbicara dengan orang tua," ujar ibunya Abare saat menoleh ke arah pria itu yang rupanya merupakan ayah Abare.
"Mengajari sopan santun?!" tanya Abare tak terima. "Kau sendiri sangat tidak sopan dan kasar! kau selalu berteriak di depan anak dan suamimu dasar wanita tua!"
Pria berkacamata itu hanya bisa menggeleng pelan. Menghela nafas pasrah melihat interaksi kedua anggota keluarganya yang selalu begitu.
Abare setelah berusia 12 tahun selalu hidup sendiri. Ia tinggal hanya bersama pelayan yang setia bekerja kepada orangtuanya selama dua puluh tahun ini. Sedangkan kedua orang tua Abare jarang menetap di suatu negara karena banyaknya urusan bisnis yang membuat mereka harus pergi ke berbagai negara.
Abare dan ibunya selalu saja berseteru. Mereka sama-sama keras, tidak mau mengalah, sama-sama benar, namun juga sama-sama salah dalam waktu yang bersamaan. Mereka selalu punya argumen yang kuat, dan juga mereka kasar.
Ayahnya Abare heran, bagaimana bisa sepasang ibu dan anak di hadapannya ini berteriak seperti itu satu sama lain.
"Teruslah seperti ini sampai keluarga Hanami pulang dari rumah ini," ucap ayahnya Abare.
Hening.
Ibu dan anak itu sama-sama terdiam. Mereka kompak sekali. Walaupun dalam pemikiran yang berbeda.
'Astaga, aku sampai lupa. Jangan sampai Hirumi merasa dongkol karena terlalu lama menunggu,' batin ibunya Abare.
'Hanami? itukan keluarganya gadis gila itu. Apa lagi yang hendak dilakukan oleh wanita tua ini? pasti dia sudah merencanakan sesuatu bersama keluarga gadis gila itu,' batin Abare curiga.
Ibunya Abare lalu langsung memanggil anak buahnya. Dua orang berbadan besar langsung datang dan melepas ikatan yang mengekang tubuh Abare tersebut. Dan tak lupa mereka juga menahan Abare agar tidak kabur dari sana.
"Sial*n! apa mau kalian hah?! kenapa kalian menahan aku seperti ini?!" bentak Abare tak terima. Ia diseret keluar oleh dua orang itu karena Abare menolak ikut keluar bersama kedua orang tuanya.
'Keluarga macam apa ini?' batin ayahnya Abare. Beliau hanya bisa memijit pelipis pelan. Rasanya pening bila menghadapi keluarga seperti ini, tak ada rukunnya sama sekali.
Abare yang diseret turun menuju ruang tamu melihat ada beberapa orang yang sudah menunggu kedatangan dirinya di sana. Seorang wanita paruh baya berpakaian elegan dengan seorang pria seumurannya yang memakai setelan lengkap. Nampaknya mereka baru pulang dari acara bisnis mereka.
Dan juga tidak lupa ada seorang gadis bersurai hitam yang sudah menatap Abare sedari tadi. Itu adalah Momo, dia nampak berbinar sekali melihat kedatangan Abare. Namun Abare malah sebaliknya, ia ingin lari dari tempat itu.
Abare didudukkan paksa ke sofa putih di ruangan itu. Tepat di depan Momo, di samping ibunya yang sudah menatap tajam dirinya sedari tadi.
"Aku tandai wajah kalian berdua! awas saja nanti!" ancam Abare pada dua orang suruhan ibunya tersebut.
"Kami hanya menjalankan perintah Nyonya, Tuan muda," ucap salah satu dari mereka berdua. Lalu mundur beberapa langkah ke belakang. Mereka tetap berada di sana untuk mengawasi Abare agar tidak kabur.
"Maaf membuat kalian menunggu lama," ucap ibunya Abare dengan ramah kepada kedua orangtuanya Momo.
"Tidak apa-apa Miuri, kami juga baru saja menunggu. Tidak perlu terburu-buru," ucap wanita yang memakai terusan kantoran berwarna biru muda bermerk Hermes itu dengan ramah. Lebih lembut dari nada bicara ibunya Abare.
Terlihat sekali yang bicaranya lebih sering lemah lembut daripada yang lemah lembut pada waktu-waktu tertentu saja.
Abare tidak Sudi menatap ke arah Momo. Ia masih menatap ke arah lain, berwajah masam, dan diam seribu kata.
Padahal Abare bisa saja lari, karena ia jauh lebih lincah daripada seluruh orang yang ada di ruangan itu. Tapi Abare tahu ada orang suruhan ibunya yang tak kalah lihai dalam hal parkour dari dirinya di luar rumah besar ini.
Ya, Abare dibawa ke rumah orang tuanya yang lain. Ibunya Abare sengaja menculik anaknya ke situ agar dia dijauhkan dari sosok Leony. Ibunya sangat tidak menyukai Leony beserta keluarganya.
Dan ibunya Abare mengantisipasi Abare kabur bersama Leony.
"Kami sangat menyayangkan perbuatan anak kami ini. Kami tahu putri kalian hanyalah korban, para gadis memang mudah terhasut akan kata-kata manis lelaki," ucap ibunya Abare. Seketika ayahnya Abare dan Momo berdehem pelan.
Mereka tersinggung kah?
Entahlah, itu urusan pria dewasa.
'Mana ada begitu! di sini akulah korbannya!' batin Abare tidak terima. Wajahnya semakin terlihat masam.
"Tapi di satu sisi, ini juga merupakan kesalahan dari putri kami yang tidak bisa menjaga dirinya. Dia tidak bisa mencegah Abare melakukan itu kepadanya," ucap ibunya Momo.
"Hirumi. Momo hanyalah seorang gadis, dia takkan berdaya melawan kekuatan seorang lelaki bila lelaki itu memaksanya. Jadi jangan salahkan dia, ini adalah salah Abare," ujar ibunya Abare.
'Benarkan? di sini aku lagi yang disalahkan. Aku tidak boleh membiarkan ini terjadi,' batin Abare sembari menatap tajam ke arah ibunya.
"Itu semua tidak benar," ucap Abare menyela pembicaraan itu. "Saya dan Momo tidak melakukan apapun. Video itu hanyalah jebakan. Itu semua palsu dan tak ada kebenarannya. Pasti ada seseorang yang sengaja membuat-buat video itu untuk menjebak kami berdua."
"Hiks hiks, Abare...bukankah memang kita berdua yang melakukan itu? kenapa kau mengelak? hiks hiks...aku tahu aku menjijikan, aku sudah bukan gadis perawan lagi. Tapi...itu semua karena dirimu hiks hiks," ucap Momo sembari terisak. Tapi semua itu hanyalah tangisan palsu belaka.