Angkasa menarik nafas panjang, entah bagaimana dirinya harus menjelaskan pada mata lentik yang menantinya itu.
Angkasa hanya perlu waktu dan sekarang Angkasa belum siap. Tapi Angkasa tidak bisa biarkan tubuh mungil itu menjauh lagi darinya.
"Aku akui aku emang jauhin kamu Ly, cuma.. aku gak bisa kasih tahu kamu sekarang."
"Terus?"
"Aku juga gak bisa jelasin alasan kenapa aku pindah secara mendadak. Yang harus kamu tahu Ly, dulu waktu SMP ada perempuan yang dekat denganku." Angkasa mengusap wajahnya kasar, mengacak rambutnya frustasi dan tatapan Lily mengikuti setiap pergerakannya. Lily masih bersabar menunggunya untuk mendapatkan penjelasan.
"Dia.. ditemukan mati dan saat itu aku yang menemukannya, itu terjadi karena dia dekat sama aku dan aku cuma gak mau kamu ngalamin hal yang sama."
"Tunggu, apa cewek itu.. cewek yang ada difoto yang pernah aku lihat di dompet kamu?" Angkasa mengangguk pelan. Berharap jawabannya bisa memberi penjelasan yang cukup untuk Lily.
"Kamu gak perlu cemasin aku, aku kuat. Buktinya aku bisa hadapi semua insiden menyeramkan itu." Lanjut Lily yang diakhiri dengan kekehan. Lily hanya tidak ingin Angkasa berfikir lebih dan tiba-tiba menjauh lagi darinya.
"Kamu tahu susahnya melawan diri sendiri? Aku gak ingin jauh dari kamu, tapi aku gak ingin melihat kamu terluka juga." Lily tercenung mendengar penjelasan Angkasa. Lily memang belum pernah tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang teman, tapi melihat Angkasa yang menunjukkan raut sedih bisa membuatnya tahu bahwa Angkasa merasa sangat kehilangan.
"Maaf." Sepertinya ucapan Lily tadi membuat Angkasa marah. Angkasa terlihat menahan marah dan tangis secara bersamaan.
"Ssst, ya udah sini." Lily membawa tubuh tinggi itu masuk kedalam pelukannya. Lily merutuki dirinya yang tidak tahu ada masa lalu kelam dari Angkasa.
"Maafin aku baru cerita sekarang."
"Gak papa, maafin aku juga." Angkasa melepaskan pelukannya, menatap Lily dengan lekat.
Inilah Lily yang Angkasa suka. Jika merasa marah maka Lily akan mengamuk, menendang, atau berteriak dan jika sedih maka Lily akan menangis. Berbeda dengan dirinya yang sulit untuk mengeluarkan emosi.
"Kamu nangis?" Lily terkekeh melihat mata merah Angkasa.
"Ha? Enggak, mana ada aku nangis."
"Gak boleh bohong." Ini seperti Lily menjadi seorang lelaki yang menggoda Angkasa. Tapi lelakipun pasti memiliki kelemahan dan tidak dilarang menangis.
Lily tersenyum. "Wajah ganteng kamu ini gak bisa nutupin kemerahan yang ada di sekitar mata." Angkasa terkekeh saat Lily dengan usilnya mengusap-usap area bawah matanya yang memerah.
"Sekarang aku janji gak akan bohong lagi sama kamu Ly dan aku akan cerita semua hal ke kamu." Lily menggeleng.
"Cukup keluarin semua yang ada dihati kamu ke aku kalau kamu mau. Sama kayak kamu yang selalu denger semua cerita aku, aku juga akan gitu. Asal jangan tiba-tiba menjauh aja kayak kemaren." Angkasa dan Lily tersenyum, menatap bahagia satu sama lain.
Setiap orang yang melewati mereka otomatis menjauh. Menghindar dari sinyal kebucinan yang muncul.
*
"Gak nyangka ternyata Angkasa top model gini." Yuli terkekeh bangga, karena mengetahuinya lebih dahulu.
"Lo berdua telat taunya."
"Yang gue penasaran tuh, kenapa Angkasa nyembunyiin wajah gantengnya itu?" Tanya Rena yang membuat rasa penasaran Doni dan Yuli menyeruak.
"Iyasih, dulu juga awal masuk sekolah, dia itu pendiem banget. Susah diajak temenan. Gue kira dia cuma terlalu pinter aja, taunya model." Tambah Doni.
"Deketnya juga sama Lily aja, sampe-sampe sekarang gue mainnya sama lo berdua terus."
"Kita siap nemenin kamu kok Yul." Yuli memberi isyarat jari berbentuk hati khas Korea pada Rena.
"Temennya Angkasa itu cuma gue doang, kalau kalian mau tahu."
"Gue gak percaya tuh, kalau Angkasa anggep lo itu temennya. Soalnya lo pernah ada salahkan sama Lily?" Doni membulatkan matanya.
"Salah? Emang Doni pernah ngelakuin apa sama Lily?" Tanya Rena penasaran. Yuli menyeringai puas, melihat Doni gelagapan.
"Enggak kok Na. Jangan dengerin omongan nih nenek lampir." Yuli menghindar dari tabokan Doni saat mendapat panggilan telfon masuk.
"Gue terima telfon bentar ya?" Tak menunggu jawaban dari keduanya yang sedang berdebat. Yuli mencari tempat di area cafe yang tidak terlalu ramai.
"Halo?"
"..."
"Ha? Tante kemana?"
"..."
"Kakak lo juga gak tahu kemana, tadi dibawa kabur aja sama si Angkasa."
"..."
"Iya, gue cariin bentar. Siapa tahu masih disekitar sini."
"..."
Yuli membulatkan matanya, berani-beraninya temannya satu itu berpelukan ditempat umum seperti ini.
"..."
"..."
"Eh iya?"
"..."
"Kakak lo udah gak disini."
"..."
"Iya, gue aja yang kerumah."
"..."
"Iya, bawel."
Lily menutup paggilan itu sepihak. Dasar anak kecil, bisa-bisanya membuat jantungnya berpacu lebih kencang.
* Flashback *
Malam dengan angin kencang, menandakan kawanan awan hitam datang, membawa sekumpulan air yang siap pecah membasahi bumi.
Aster berlarian kesana-kemari mencari kakaknya yang sudah hampir tengah malam belum kembali, dengan kaki yang belum benar-benar bisa diajak berjalan dengan lancar. Mamanya terlalu keras pada kakaknya.
Siapapun pasti khawatir jika salah satu anggota keluarga pergi dalam keadaan yang kurang baik, sehabis bertengkar. Aster khawatir kakaknya berada diluar sendirian. Mengingat pernah ada kejadian buruk yang menimpa Lily, saat Lily sendirian di dalam rumah tengah malam.
Malam itu sungguh sangat kelam bagi kakaknya. Mamanya dan Papanya saat itu sibuk bekerja, sedangkan Aster sedang berada di asrama, di tengah-tengah perlombaan basket yang diadakan selama tiga hari.
Aster berfikir dengan keras kemana Lily akan pergi tanpa membawa apapun kecuali pakaian yang dikenakannya.
Yuli. Pasti Lily pergi kesana. Tak menunggu waktu lagi, Aster segera menstarter motornya yang terparkir dipinggir jalan menuju rumah Yuli.
*
Yuli turun menuju ruang tamu saat mendengar pintunya digedor-gedor dengan kencang. Nyalinya seketika ciut saat melihat ruang tamu yang gelap, papanya sedang ada dinas keluar kota dan mamanya pasti sudah tertidur.
Yuli memekik saat kilat menyambar dengan keras. Siapakah yang ada di depan sana? Perampok? Sungguh perampok yang sopan datang dengan mengetuk pintu.
Tangannya meraih tongkat pramuka yang berdiri didekatnya. Mendekat kearah pintu. Yuli memegang gagang pintunya dengan erat, mengkomat-kamitkan segala doa.
Satu
Dua
Tiga
Tongkat bambu yang berayun itu tertahan, membuat Yuli membulatkan matanya pada sosok adik dari temannya ini.
"Aster, ngapain kesini malem-malem? Gedor-gedor lagi, kalau di gruduk warga gimana?"
"Yul, kakak gue disini gak?"
"Salam dulu kek, atau gak panggil gue pake Kak, biar sopan, main tanya aja." Omelan Yuli berhenti menyadari wajah Aster yang memucat.
"Kakak gue disini gak?" Ulang Aster.
"Lily? Lily gak disini."
Aster kembali berjalan dengan cepat diikuti oleh Yuli.
"Ada apa? Lily kenapa?"
"Kakak belum pulang. Tadi bertengkar sama mama, disuruh pergi, sekarang mama khawatur banget dirumah."
"Terus lo gak tahu Lily dimana? Coba dihubungi."
"Gak Yul, dia gak bawa apa-apa keluar rumah."
"Ya udah, lo tunggu sini. Gue ikut cari Lily, gue kunci rumah sebentar."
Tak perlu waktu lama Yuli mengunci pintunya dari luar, kemudian segera membonceng pada motor besar milik Aster mulai menjelajahi tempat yang mungkin jadi tempat Lily berdiam diri.
Berkeliling hingga hujan turun membasahi mereka berdua. Mereka terus berputar mencari sosok Lily.
"Gimana disebelah sana?" Yuli menggeleng lemah. Tubuhnya sudah tidak bisa menoleransi suhu dingin akibat pakaian yang basah.
"Kaki kamu gimana Ter?"
"Ini gak sesakit mengingat kakak gue yang gak tahu ada dimana." Yuli terdiam.
"Ya udah yuk cari lagi." Langkah Yuli terhenti saat tangan besar milik Aster menahannya.
"Aku anter pulang. Aku lanjut cari sendiri."
"Tapi.." Perkataan Yuli terhenti saat Aster memakaikan jaket parasutnya pada Yuli dengan sedikit paksaan. Pipi Yuli menghangat, namun Yuli harus sadar bahwa lelaki didepannya ini lebih muda dua tahun darinya. Masih menggunakan seragam SMP.
Gue punya kak Sean. Mantra itu terus terucap pada mulut Yuli.